Awal Februari lalu, Aun Rahman dan Randy Aprialdi di Youtube Ligalaga, memprediksi Juventus untuk menjuarai Serie A musim 2019/2020. Prediksi keduanya tepat.
Keduanya juga memprediksi Juventus, Inter Milan, dan Lazio, bisa lolos ke Liga Champions. Prediksi keduanya tepat.
Satu tempat lagi masih diperebutkan dua kesebelasan: AS Roma dan Atalanta. Namun, kedunya tetap satu suara: Atalanta yang akan lolos. Prediksi keduanya tepat.
“AS Roma akan sulit untuk memastikan diri lolos ke Liga Champions. Peluangnya memang ada, tapi untuk memastikannya tidak. Kalau Atalanta saya yakin (lolos),” kata Randy.
Bom Biologis dari Bergamo
Musim 2019/2020 bisa dibilang sebagai musim terbaik Atalanta; bukan cuma di Serie A, tapi juga di Liga Champions UEFA.
Menjelang tahun baru 2020, publik Bergamo bersorak. Mereka seperti tak percaya karena Atalanta lolos ke fase gugur. Bagaimana tidak? Rafael Toloi dan kolega babak belur di tiga laga pertama. Gawang Pierluigi Gollini bahkan diberondong lima gol ketika tandang ke Etihad Stadium di pertandingan ketiga.
Untungnya, di sisa tiga pertandingan, Atalanta kembali ke jalur yang benar. Ditambah lagi Shakhtar Donetsk dan Dinamo Zagreb juga meraih hasil yang kurang memuaskan. Hanya mengumpulkan tujuh poin, Atalanta pun lolos ke fase gugur.
Di fase gugur, Atalanta seperti tidak kesulitan. Mereka menghajar 4-1 Valencia di San Siro, serta menang 4-3 di Mestalla. Namun, bukan itu yang kemudian menjadi sorotan, melainkan sebuah “bom biologis” yang dibawa oleh Luis Muriel dan kawan-kawan.
Pertandingan Atalanta menghadapi Valencia terpaksa digelar di San Siro. Pasalnya, Stadion Atleti Azzurri d’Italia, masih direnovasi. Sebanyak 44 ribu suporter Atalanta berangkat dari Bergamo menuju Milan. Walikota Bergamo, Giorgio Gori, menyebut pertandingan ini sebagai “bom biologis”.
Tiga pekan kemudian, Atalanta terbang ke Valencia. Ketika itu, virus corona sudah menyebar masih ke seluruh dunia, termasuk Eropa. Ini membuat pertandingan yang digelar di Mestalla tersebut tak disaksikan para penggemar. Berita buruknya, beberapa hari kemudian, Pelatih Atalanta, Gian Piero Gasperini, dinyatakan positif Covid-19.
Tak lama dari pertandingan itu, Serie A dihentikan. Kondisi di Italia amat mengkhawatirkan, juga mengerikan. Mantan pemain Atalanta, Daniele Filisetti, menggambarkan situasi di Bergamo layaknya tempat kejadian pembantaian.
Kepada Copa90, ia menjelaskan bahwa sirine ambulans menyala setiap menit. Ia sadar bahwa ada sesuatu yang terjadi, tapi ia tak segera paham kalau situasi ini amatlah buruk.
“Anda tahu ada sesuatu di luar sana, tapi ukuran hal ini, butuh waktu lama bagi kami untuk menyadarinya,” kata pemain yang harus menggunakan tabung oksigen selama 15 hari setelah positif Covid-19 ini.
Tiga bulan kemudian, Serie A kembali dimulai. Gasperini bilang pada penggemar kalau klub ingin kembali membawa senyum bahagia di wajah kota yang sudah begitu rusak karena virus corona.
Prestasi yang Stabil Bersama Gasperini
Sejak musim 2016/2017, Atalanta selalu lolos ke Kompetisi Eropa. Padahal, semusim sebelumnya, Atalanta hanya menempati peringkat ke-13. Lima tahun lalu, Atalanta bahkan hampir terdegradasi setelah hanya menempati peringkat ke-17, berjarak tiga poin dari Cagliari yang terdegradasi.
Salah satu faktor keberhasilannya adalah arahan tangan dingin sang pelatih, Gian Piero Gasperini.
Musim lalu, Atalanta menunjukkan pesonanya. Kesebelasan yang berdiri sejak 17 Oktober 1907 ini, menjadi kesebelasan paling subur di Serie A dengan mencetak 77 gol. Sempat inkonsisten di awal musim, Atalanta justru tak pernah kalah sejak Maret 2019 hingga akhir musim. Capaian bagus ini membuat mereka mendapatkan satu slot di Liga Champions untuk musim 2019/2020.
Penampilan Atalanta musim ini terbilang konsisten. Alejandro Gomez dan kolega tak jarang menang besar atas lawan-lawannya. Sebut saja menang 4-1 atas Sassuolo di Mapei Stadium, menang 7-1 atas Udinese, serta 5-0 atas AC Milan dan Parma di Bergamo.
Banyanya gol yang dicetak ke gawang lawan tersebut kembali menjadikan Atalanta tim paling produktif di Serie A. Selisihnya amat jauh. Atalanta mencetak 98 gol, sementara saingan terdekatnya, Inter Milan, hanya mencetak 81 gol. Banyaknya jumlah gol yang dicetak ini sejatinya untuk menutupi jumlah gol yang menggetarkan gawang mereka. Pasalnya, Atalanta adalah tim yang paling sering kebobolan di empat besar.
Secara permainan, Atalanta tampil atraktif dengan bermain terbuka dan menyerang. Ini yang jadi alasan mengapa mereka banyak mencetak gol, dan juga sering kebobolan. Atalanta berbeda dari tim underdog biasanya yang seringkali main defensif dan mengandalkan serangan balik.
Dalam komposisi pemain, Atalanta merekrut pemain yang sesuai dengan visi mereka dan bisa berkomitmen pada gagasan yang diusung pelatih. Cara Atalanta memaksimalkan potensi para pemainnya adalah dengan bekerja keras di tempat latihan. Ini yang membuat mereka terasa lebih santai saat bertanding. Bahkan 15 dari 98 gol mereka cetak di 10 menit terakhir, ketika konsentrasi lawan sudah menurun.
Sementara itu, Kolumnis Ligalaga.id, Teguh R. Sutasman, menyebut kunci keberhasilan Atalanta adalah akademinya. Mereka tidak cuma memberikan kemampuan teknikal dan taktikal yang bagus, tapi juga memupuk mental kemenangan.
Ironi Liga Champions
Seharusnya, seperti namanya, Liga Champions adalah “liga para juara”. Kenyataannya, peringkat keempat Liga Inggris, Serie A, Liga Spanyol, dan Bundesliga, justru masih bisa berkompetisi. Apa alasannya? Tentu saja uang.
Namun, tak ada yang mengeluh, karena semua senang. UEFA, stasiun televisi, dan para penggemar. Fans Real Madrid mungkin lebih senang menghadapi Manchester United ketimbang Leicester City; pun dengan fans Juventus yang tetap senang menghadapi Barcelona meski mereka tak juara liga musim ini.
Tapi tetap saja, tak semua yang lolos ke fase gugur, atau bahkan pertandingan final, adalah tim bernama besar dengan finansial yang kuat. Musim lalu, Ajax Amsterdam hampir lolos ke final sebelum dikandaskan Tottenham Hotspur. Musim 2013/2014 Atletico Madrid sukses ke final. Semusim sebelumnya, Borussia Dortmund yang mematahkan prediksi semua orang dengan lolos ke final.
Namun, semuanya jadi tak menarik karena pertandingan mudah diprediksi. Tim yang lebih kuat secara finansial yang keluar sebagai pemenang.
Liga Champions bagai jadi tempat eksklusif buat tim besar. Mereka mendapatkan banyak uang yang ditransformasi untuk membeli pemain bagus serta semua fasilitas yang dibutuhkan. Sementara nasib tim kecil selalu sama: mereka akan selalu pulang lebih cepat.
Musim ini, Atalanta merasakan hal yang sama ketika bertanding dengan Paris Saint-Germain. Jurang perbedaan antara keduanya terpampang jelas. Contohnya secara finansial.
Rekrutan termahal Atalanta adalah Luis Muriel yang dibeli senilai 16 juta USD. Sementara PSG merekrut Neymar senilai 12,5 kali lebih mahal ketimbang Muriel. Secara kekayaan, Pemilik Atalanta, Antonio Percassi, kekayaannya diperkirakan mencapai 1,1 miliar USD, sementara Pemilik PSG, Qatar Sports Investments, bernilai 320 miliar USD!
Tentu kalau memperhitungkan di atas kertas, PSG akan menang mudah dari Atalanta. Dengan segala hal, utamanya uang, yang mereka miliki, kecil risiko PSG untuk kalah.
Klub besar bikin Liga Champions jadi mudah diprediksi, termasuk kekalahan Atalanta ini. Apalagi klub macam Juventus dan PSG rasanya mereka sudah terlalu bosan menjuarai kompetisi domestik, hingga fokusnya bisa dibagi ke Liga Champions. Pemikiran ini tentu beda dengan Atalanta yang harus juga fokus di kompetisi domestik karena tentu mereka tak ingin terpeleset ke papan bawah sampai terdegradasi.
Menikmati Keberhasilan Atalanta
Ketika ditanya siapa yang ia jagokan di perempatfinal Liga Champions, Aun Rahman menjawab tanpa berpikir: “Atalanta”.
“Mereka ‘people’s champion’. Apa yang mereka lakukan di lapangan itu representasi perjuangan warga kota Bergamo yang mencoba keluar dari situasi sulit. Terutama selama pandemi,” tutur Aun.
Salah satu alasan yang mendasari pemilihan Aun adalah soal tim kuda hitam yang menarik untuk dibahas. Apalagi kalau mereka juara. Ia mencontohkan Denmark di Piala Eropa 1992 dan Yunani di Piala Eropa 2004.
“(Mereka itu) Beating the odds, melawan kemustahilan,” ucap Aun.
Pada 2015, Vox pernah bikin tulisan berjudul “The Science of Why We Love to Root for Underdogs”. Intinya, kita kerap mendukung tim yang tidak diunggulkan, dan secepat itu pula bisa mengubah dukungan.
Vox merujuk pada sebuah studi di mana subjek diberikan dua tim basket fiksi lengkap dengan deskripsinya, yang akan bertanding dalam tujuh pertandingan. Sebanyak 88 persen mendukung tim yang digambarkan sebagai underdog.
Setelah itu, mereka diberitahu kalau tim favorit juara justru kalah di tiga pertandingan awal, yang membuat tim favorit juara ini hampir tereliminasi. Hal ini justru menjadikan tim favorit itu sebagai underdog yang baru. Dan setengah dari 88 persen subjek mengubah dukungan mereka.
Sementara itu, peneliti dari UC San Diego, Nadav Goldschmied, menyatakan bahwa kita mendukung tim underdog karena sebuah ekspresi dari “Schadenfreude”; sebuah perasaan senang yang kita rasakan ketika melihat orang lain susah. Dalam kasus olahraga, kita membenci tim kuat yang selalu menang setiap tahun, jadi kita mendukung mereka untuk kalah.
Dalam kasus Atalanta, alasan ekspresi schadenfreude agaknya kurang tepat, kecuali bila lawan mereka adalah Paris Saint-Germain atau Manchester City; dua tim yang banyak tak disukai karena prestasi instannya.
Akan tetapi, Joseph Vandello dari University of South Florida, punya jawaban yang bisa mewakili: kita ingin terciptanya dunia yang adil.
Dalam penelitian Vandello, responden diberikan dua tim yang mana satu tim hampir menang, sementara satu tim lainnya sebaliknya. Awalnya, responden akan memilih tim yang hampir kalah. Akan tetapi, ketika diberitahu bahwa tim yang hampir kalah ini menghambur-hamburkan uang, maka status underdog-nya menghilang, pun dengan dukungan dari responden.
“Kalau Anda punya uang lebih banyak dan punya kesempatan menang yang lebih kecil, pemikirannya adalah, itu adalah kesalahnmu sendiri,” tulis Vox.
Hal senada juga diungkapkan karakter Professor dari Money Heist untuk menjadikan anak buahnya–para perampok–didukung oleh masyarakat. Ia menggambarkan pertandingan Brasil menghadapi Kamerun di Piala Dunia.
“Ketika Brasil menghadapi Kamerun di Piala Dunia, sebagian besar suporter di seluruh dunia akan mendukung Kamerun karena Brasil adalah tim besar, dan adalah sifat manusia untuk berpihak pada underdog,” kata Professor.
Maka menjadi wajar ketika Atalanta kalah, banyak pihak yang bersimpati pada mereka. Karena kekalahan mereka, merujuk pada penelitian Vandello, gagal menjadikan dunia sebagai tempat yang adil untuk semua.
Untuk membaca artikel tentang sepakbola lainnya kunjungi Ligalaga.id