Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden bersama pasangannya Kamala Harris dipastikan memenangi Pemilihan Presiden Amerika mengalahkan pasangan petahana dari Partai Republik, Donald Trump-Mike Pence. Merujuk sejumlah data, Biden yang pernah menjadi wakil presiden Barack Obama itu berhasil meraih 290 electoral votes, sementara Trump hanya merebut 214 suara elektoral. Jumlah itu telah melampaui ambang batas 270 electoral votes dari total 538 suara elektoral untuk bisa memenangkan Pilpres di Amerika.
Kemenangan Biden ini langsung disambut euforia oleh pemimpin dan media internasional. Perdana Menteri Australia Scott Morrison, misalnya, menyatakan bahwa hubungan Australia dengan Amerika akan semakin kuat di bawah kepemimpinan Biden. Media corong pemerintah China, Global Times, dalam tajuknya juga mengungkapkan bahwa Biden bisa memulihkan hubungan Amerika-China ke keadaan yang lebih dapat diprediksi dan memulainya dengan perdagangan yang konstruktif.
Sambutan-sambutan positif tersebut tentu tidak mengherankan mengingat selama kepemimpinan Trump, Amerika lebih banyak berperan sebagai aktor antagonis. Peran itu yang membawa Amerika menciptakan gelembung konflik dengan China, membawa Amerika keluar dari Trans-Pacific Partnership, dan menarik diri dari kesepakatan dan badan kerja sama internasional, seperti Dewan Hak Asasi Manusia PBB, kesepakatan iklim Paris 2015, dan banyak lagi.
Menurut pakar kebijakan luar negeri Amerika G. John Ikenberry (2019) sikap antagonisme Trump terhadap multilateralisme itu telah merusak 75 tahun kepemimpinan Amerika di dunia dan terjebak pada isolationist ideology tanpa berhasil membendung China dan pesaing lainnya dalam kompetisi kekuasaan global.
Karena itu, banyak negara yang berharap Biden melakukan perubahan kebijakan yang lebih baik dari Trump. Tapi pertanyaannya adalah akan seperti apa kebijakan luar negeri Amerika di era kepemimpinan Biden? Pertanyaan itu penting dijawab untuk menentukan sikap Indonesia terhadap kebijakan luar negeri Biden.
Kebijakan Luar Negeri Biden
Untuk menjawab pertanyaan itu, Biden sebetulnya telah memberikan bocoran soal kebijakan luar negerinya sebelum dia terpilih menjadi presiden Amerika yang ke-46. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Why America Must Lead Again: Rescuing U.S. Foreign Policy After Trump” (Foreign Affairs, March/April 2020), Biden merinci kesalahan kebijakan yang dirancang oleh Trump dan kebijakan seperti apa yang akan dia perbaiki.
Biden menakar bahwa dihampir setiap ukuran, kredibilitas dan pengaruh Amerika di dunia telah berkurang sejak Presiden Barack Obama dan dirinya meninggalkan jabatannya pada 20 Januari 2017 silam. Ini terjadi karena Presiden Trump telah meremehkan, merongrong, dan dalam beberapa kasus meninggalkan sekutu dan mitra dekat Amerika. Dia telah menyerang para profesional intelijen, diplomat, dan pasukan Amerika sendiri.
Trump membuat musuh Amerika menjadi lebih berani dan menyia-nyiakan pengaruh Amerika dalam menghadapi tantangan keamanan nasional dari Korea Utara hingga Iran, dari Suriah hingga Afghanistan, dan Venezuela. Dia telah melancarkan perang perdagangan yang keliru, melawan teman dan musuh yang merugikan kelas menengah Amerika. Dia telah melepaskan kepemimpinan Amerika yang selama ini berhasil memobilisasi aksi kolektif dalam menghadapi setiap ancaman. Yang paling krusial, dia telah berpaling dari nilai-nilai demokrasi yang telah memberi kekuatan pada bangsa Amerika dan mempersatukan masyarakatnya sebagai bangsa.
Biden juga menyinggung bahwa tantangan global yang dihadapi Amerika — dari perubahan iklim dan migrasi massal hingga gangguan teknologi dan penyakit menular — telah tumbuh semakin kompleks dan mendesak, sementara kemajuan pesat otoritarianisme, nasionalisme, dan iliberalisme telah melemahkan kemampuan Amerika untuk menghadapinya. Demokrasi di dunia — yang dilumpuhkan oleh korupsi dan banyak masalah lainnya— semakin sulit memberikan pelayanan bagi rakyat. Akibatnya kepercayaan pada institusi demokrasi pun menurun. Sistem internasional yang telah dibangun Amerika dengan sangat hati-hati dirusak oleh Trump. Trump dan para demagog di seluruh dunia telah mengandalkan cara yang tidak demokratis itu untuk keuntungan pribadi dan politiknya sendiri.
Oleh karena itu, jika menjadi presiden, Biden berniat merenovasi kerusakan kebijakan luar negeri Amerika yang dirancang oleh Trump. Dia berjanji akan menyelamatkan reputasi Amerika, membangun kembali kepercayaan internasional terhadap Amerika. Sebagai solusinya, Biden akan mengambil langkah cepat dengan memperbaiki dan menghidupkan kembali demokrasi Amerika.
Setelah demokrasi berhasil dibangun, Biden lalu akan merancang kebijakan luar negeri untuk kelas menengah. Ini dilakukan Biden untuk memenangkan persaingan di masa depan melawan China. Biden akan mendorong penelitian dan pengembangan sebagai agenda kerjanya, sehingga Amerika bisa unggul dalam inovasi. Biden yang pernah menghabiskan banyak waktu dengan para pemimpin Cina, sangat mengerti apa yang sedang dihadapi Amerika. China menurutnya telah memperluas jangkauan globalnya, mempromosikan model politiknya sendiri, dan berinvestasi dalam teknologi masa depan.
Untuk itu, Biden akan membangun kembali kedekatan dengan sekutu Amerika demi menghadapi Beijing dan juga Moscow dalam masalah-masalah global, seperti perdagangan internasional, perubahan iklim, nonproliferasi nuklir, dan keamanan kesehatan global. Dengan Amerika mewakili sekitar seperempat dari PDB global, dan ketika kekuatan ini digabung bersama dengan sesama negara demokrasi, kekuatannya akan menjadi berlipat ganda. China dan Rusia dengan demikian tidak dapat begitu saja mengabaikan kekuatan komunitas demokratik yang memiliki lebih dari setengah ekonomi global.
Dalam kata lain, Biden ingin mengulangi keberhasilan Amerika dalam dua perang dunia dan dalam meruntuhkan Tirai Besi; mengulangi sejarah di mana demokrasi dan liberalisme berhasil mengalahkan fasisme dan komunisme. Mengulangi kesuksesan seperti itu, kata Biden, akan menciptakan dunia yang aman bagi demokrasi dan membuat Amerika kembali menjadi pemimpin dunia.
Sikap Kita
Sesungguhnya apa yang dirinci oleh Biden dalam kebijakan luar negerinya itu adalah upaya dia dalam membangkitkan kembali mitos lama, yang oleh Samuel Huntington (1989) disebut sebagai paradigma endisme. Paradigma yang sudah terbantahkan secara empirik ini (Christopher Layne, 1994; Sebastian Rosato, 2003) menjelaskan bahwa perang di antara negara-negara bangsa jenis tertentu, telah berakhir. Banyak ilmuwan Hubungan Internasional (HI) yang merujuk pada gagasan mengenai tidak adanya perang di antara negara-negara demokratis (perdamaian demokratis).
Melalui mitos itu, Biden ingin merancang ulang tatanan dunia yang berisikan negara-negara demokratik dan yang bersejalan dengan Amerika. Namun, sarjana HI yang jeli memahami maksud dari penggunaan mitos itu akan mengetahui bahwa Biden bukannya ingin membangun upaya kolektif multilateral, dalam arti demi kepentingan bersama (negara-negara demokratis). Ia hanya ingin menjaring sebanyak mungkin pendukung demokratik Amerika demi membendung China dan Rusia.
Dalam konteks itulah, Indonesia perlu menyikapi kebijakan luar negeri Biden dengan sangat hati-hati. Sebab mengikuti alur kebijakan Biden hanya akan menggiring Indonesia masuk ke dalam jebakan konflik Amerika dalam melawan China dan Rusia. Disinilah prinsip politik luar negeri bebas aktif menjadi sangat relevan. Prinsip warisan Mohammad Hatta ini akan menuntun kita dalam menyikapi kebijakan Biden yang penuh dengan mitos itu.