Jumat, Maret 29, 2024

Menanti Pembuktian Jenderal Tito

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
tito-haiti
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian (kiri) berjabat tangan dengan Kapolri sebelumnya Jenderal Polisi Badrodin Haiti (kanan) seusai dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/7). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Presiden Joko Widodo kemarin melantik Jenderal Tito Karnavian sebagai Kepala Polri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang memasuki masa purna bakti. Itu artinya tongkat komando beserta ornamen-ornamennya di tubuh korps baju coklat berpindah dari Badrodin ke Tito.

Bila ditarik ke belakang, Tito Karnavian memang sejak awal disiapkan oleh Jokowi untuk memimpin Polri setelah Badrodin pensiun. Hal ini terkofirmasi setelah Jokowi mengirim surat ke Komisi III DPR yang hanya memasukkan nama Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri. Dengan demikian, DPR tidak punya pilihan lain selain menyetujui keputusan Presiden.

Langkah mulus Tito terbukti setelah melewati proses fit and proper test yang boleh dikatakan berjalan sesuai skenario dan tanpa hambatan-hambatan berarti. Komisi III DPR akhirnya menyatakan bahwa Tito lolos fit and proper test sehingga tinggal menunggu pelantikan oleh Presiden.

Penujukan Tito sebagai Kapolri sebelumnya sempat menimbulkan pro dan kontra di tengah khalayak. Pendapat publik terbagi dua, yakni setuju dan tidak setuju. Pihak yang tidak setuju berdalih bahwa Tito masih terlalu muda dan melewati beberapa seniornya di tubuh Tribrata. Penunjukan ini dikhawatirkan akan memicu instabilitas di tubuh Polri atau setidak-tidaknya akan muncul matahari kembar. Ini akan berdampak pada kinerja Polri secara umum karena terkait dengan kepemimpinan.

Sedangkan yang setuju secara heroik membela keputusan Presiden berdalih, meskipun masih muda, Tito berbekal pengalaman dengan rekam jejak yang cemerlang, dan sosok yang tepat menggantikan Badrodin. Pertanyaan kemudian adalah mengapa Presiden Jokowi menunjuk Tito sebagai Kapolri?

Presiden Jokowi menyadari sepenuhnya bahwa di institusi kepolisian saat ini terdapat banyak perwira tinggi yang berpotensi menjadi Kapolri. Tetapi keyakinan dan ketegasan Jokowi menyiapkan Tito sebagai Kapolri memupuskan harapan para perwira itu. Bila dilihat dari rekam jejak Tito, pilihan Jokowi pada Tito bukan tanpa alasan. Tito dianggap mampu menjalankan amanah Presiden sejak ditunjuk sebagai Kapolda Papua, Kapolda Metro Jaya hingga menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tito juga menjadi simbol polisi bersih, meski ada sedikit “cacat” saat dia menjadi Kepala BNPT. Ketika itu pasukan Tito (Densus 88) mengamankan seseorang yang bernama Siyono tetapi berakhir tragis; Siyono tewas di tangan Densus. Ini tentu mempengaruhi citra Tito di mata publik dan ia berkewajiban untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan elementer itu. Kita membutuhkan polisi yang tegas tetapi kita tidak membutuhkan polisi yang sewenang-wenang.

Bayangan saya, di mata Jokowi, Tito adalah sosok polisi yang merupakan kombinasi antara ketegasan, berintegritas, dan cakap atau mampu memahami perintah Presiden. Hal ini penting bagi Jokowi. Sebab, untuk memuluskan program Nawa Cita-nya, ketertiban dan keamanan negara amat dibutuhkan dan itu menjadi tanggung jawab Kapolri. Dengan kata lain, Jokowi membutuhkan Kapolri yang mampu memberi jaminan bahwa program pemerintah akan berjalan tanpa hambatan.

Selain itu, Tito dianggap mampu mengendalikan senior-seniornya di tubuh Tribrata sehingga aroma perpecahan dapat dihindari. Tito akan menunjukkan pada publik bahwa Polri tetap solid, meski Kapolrinya dianggap masih terlampau muda. Karena itu, menunjuk Tito sebagai Kapolri adalah pilihan rasional dan logis bagi Jokowi.

Reformasi Polri
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dengan setengah bercanda pernah berkata, hanya ada tiga polisi yang dapat dipercaya, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Meskipun ini hanya guyonan, ada pesan mendalam yang hendak disampaikan Gus Dur bahwa masyarakat tengah mengalami krisis kepercayaan pada Polri, paling tidak hingga awal reformasi bergulir. Hal ini diperkuat dengan penyebutan nama Hoegeng (mantan Kapolri) yang mana sosoknya dianggap sebagai polisi bersih, berintegritas, anti-suap, dan berdedikasi pada pekerjaannya.

Dalam bayangan saya, hingga saat ini belum ada lagi Kapolri yang mendekati karakter Hoegeng tersebut. Semoga Tito Karnavian mampu mengikuti jejak seniornya itu dan mengubah pesimisme publik terhadap polisi menjadi optimisme.

Ketika reformasi bergulir pada tahun 1998, salah satu isu yang mengemuka adalah reformasi penegakan hukum, khususnya di tubuh kepolisian. Hal ini tidak terlepas dari problem kronis di institusi kepolisian yang memungkinkan terjadinya praktik-praktik korup sejak zaman Orde Baru yang kemudian terus diwarisi hingga saat ini.

Reformasi bahkan dianggap masih gagal mereformasi Polri. Masih ditemukan oknum-oknum kepolisian yang terjerembab dalam kubangan korupsi, permainan perkara, bahkan ada yang terlibat dalam kejahatan narkotika. Hal ini tentu menjadi alarm bagi masyarakat dan tak terkecuali Presiden Jokowi bahwa mereformasi Polri membutuhkan komitmen dan konsistensi kepemipinan.

Paling tidak ada tiga hal yang disematkan Jokowi pada pundak Tito Karnavian sebagai Kapolri: mereformasi menyeluruh di tubuh Tribrata, memerangi kejahatan-kejahatan serius seperti terorisme dan narkotika, dan memberantas korupsi yang dimulai dari dalam. Berbicara tentang reformasi Polri pada intinya bisa dimulai dari rekrutmen, mutasi, dan promosi hingga reward and punishment.

Memulai perbaikan di tubuh Polri hal pertama yang mesti menjadi perhatian Tito adalah memperbaiki rekrutmen anggota Polri. Rekrutemen harus dilakukan secara terbuka oleh tim independen, terukur, dan dapat diakses oleh publik sehingga publik bisa memberi kritik dan masukan yang ujungnya menjadi bahan evaluasi. Selama ini proses rekrutmen dianggap masih belum transparan dan belum terukur; panitia seleksi dianggap masih terlalu loyo sehingga mudah diintervensi.

Kondisi tersebut tanpa sadar ikut berkontribusi melahirkan oknum “polisi nakal” di institusi kepolisian. Demikian pula mutasi dan promosi harus tetap diperbaiki sehingga anggota Polri yang berdedikasi, berintegritas, dan memiliki komitmen dipastikan memiliki karir yang cemerlang. Sebaliknya, oknum “polisi nakal” harus dihukum dengan tegas, termasuk memperkecil peluangnya untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Jadi, ada semacam reward and punishment yang menjadi standar penilaian. Pada titik ini Presiden Jokowi tampaknya melihat sosok Tito sebagai jenderal yang mampu melaksanakan misi reformasi Polri tersebut. Tentu saja ini semua harus dibuktikan Tito dengan sungguh-sungguh. Selamat bertugas, Jenderal Tito!

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.