Jumat, Maret 29, 2024

Menanti Negara Kurdi di Timur Tengah

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah

int-1452224412Selahattin Demirtas, salah satu pemimpin Partai Rakyat Demokratik pro-Kurdi, menyapa pendukungnya saat aksi protes terhadap operasi keamanan di wilayah tenggara yang didominasi suku Kurdi, di timur kota Van, Turki, Kamis (7/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Bedran Babat.

Turki, Persia, Arab, dan Kurdi adalah empat bangsa besar di Timur Tengah. Namun yang terakhir disebut nasibnya tak seberuntung tiga bangsa besar lainnya. Kurdi adalah bangsa tanpa negara. Sebuah ironi, bangsa besar dengan populasi 40 juta jiwa terserak di Turki, Irak, Suriah, dan Iran. Satu bangsa, empat negara. Lebih menyedihkan lagi nasib bangsa Kurdi di empat negara tersebut termarjinalkan.

Mayoritas bangsa Kurdi beragama Islam Sunni. Mereka telah lama memperjuangkan berdirinya negara Kurdistan, tetapi isu ini kurang menarik perhatian dunia Islam. Lain halnya dengan isu Palestina. Mungkin karena yang menindas Kurdi adalah sesama negara muslim.

Ketika Dinasti Turki Utsmani bubar, harapan bangsa Kurdi mempunyai negara yang berdiri di tanahnya sendiri pupus, dan harus menerima kenyataan daerah Kurdistan terbagi ke empat negara: Turki, Suriah, Iran, dan Irak.

Bangsa Kurdi terbanyak hidup di Turki. Kemal Attaturk, pemimpin Turki pasca runtuhnya Dinasti Turki Utsmani, memperlakukan bangsa Kurdi sebagai warga negara kelas dua. Bangsa Kurdi dipandang sebagai hambatan nasionalisme Turki. Segala identitas yang terkait dengan etnis Kurdi dicekal, bahasa Kurdi dilarang digunakan. Penyebutan etnis Kurdi di Turki diganti dengan orang Turki pegunungan, karena hidupnya di pegunungan.

Di Suriah dan Iran, nasib bangsa Kurdi dalam sejarahnya juga tak lebih baik di Turki. Hidup sebagai bangsa yang terpinggirkan. Dan yang paling tragis mereka yang hidup di Irak. Dengan cita-cita nasionalisme Arab, rezim Saddam Hussein berusaha keras menghapus bangsa Kurdi. Saddam memaksakan asimilasi etnis Kurdi dan melakukan Arabisasi. Operasi Anfal pada di 1988 adalah upaya genosida yang dialami Kurdi di Irak Utara. Saddam Hussein menembakkan senjata kimia menghabisi etnis Kurdi atas dasar memberangus separatisme.

Bangsa Kurdi di empat negara tersebut bukan tidak melakukan perlawanan. Mereka melakukan perjuangan menuntut otonomi sampai kemerdekaan, tapi selalu berhasil dipatahkan penguasa dan harus menanggung balasan yang setimpal.

Sampai akhirnya peluang itu datang. Yaitu ketika Amerika Serikat datang demi menggulingkan pemerintahan Irak pada tahun 2003, Kurdi yang memiliki dendam pada rezim Saddam mempersilakan kawasannya dijadikan pangkalan militer AS menggempur Irak.

Setelah Saddam Hussein tersingkir dan Irak mulai menata kembali kehidupan, akhirnya bangsa Kurdi Irak memperoleh wilayah otonomi khusus di tiga provinsi: Irbil, Dohuk, dan Sulaimaniyah. Berdirilah Pemerintahan Regional Kurdistan di Irak yang dipimpin oleh Presiden Massoud Barzani di tahun 2005. Mereka memiliki bendera “nasional” sendiri dan juga pasukan militer tangguh yang dijuluki Peshmerga.

Reputasi Peshmerga semakin dikenal di mata dunia seiring jatuhnya moral tentara Irak menghadapi gempuran Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Peshmerga berhasil memukul mundur ISIS setiap mencoba masuk ke Kurdistan. Peshmerga artinya “penantang maut”. Kiprah Peshmerga kembali mendulang pujian jagat raya ketika aksinya menyelamatkan kaum Yazidi dari buruan ISIS.

Yazidi adalah sebuah agama kuno yang dianut sebagian kecil etnis Kurdi di Irak. Akibat keyakinannya yang dianggap sebagai penyembah setan, penganut Yazidi dari waktu ke waktu menjadi sasaran genosida. Tercatat Dinasti Utsmani pernah berusaha memusnahkan keyakinan Yazidi.

Di era negara modern pun penganut Yazidi tak pernah bebas memeluk agamanya hingga populasinya di Irak terus menyusut dan banyak yang mengungsi keluar Timur Tengah. ISIS memburu penganut Yazidi perempuan demi perbudakan. Banyak penganut Yazidi Irak menyelamatkan diri berlindung ke Kurdistan.

Sementara itu, perang saudara di Suriah bagaikan berkah bagi bangsa Kurdi di sana. Kelompok Kurdi yang awalnya netral dalam konflik kini berhasil mengambil kendali daerah etnis Kurdi yang ditinggalkan penguasa Suriah. Bagi bangsa Kurdi, penguasa Suriah dan faksi pemberontak tak ada bedanya.

Bangsa Kurdi Suriah terhimpun dalam gerakan politik bernama Partai Uni Demokratik (PYD). Bentrokan bangsa Kurdi dan penguasa pada tahun 2004 silam yang berujung tragedi pembantaian Qamishli telah mendorong pembentukan sayap militer PYD bernama Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG). Di YPG, kaum perempuan Kurdi turut serta angkat senjata bertempur di garis depan.

Perlawanan heroik petempur Kurdi melawan kepungan ISIS di Kobani selama berbulan-bulan telah membangkitkan persatuan bangsa Kurdi sedunia. Peshmerga Kurdistan, etnis Kurdi di Turki dan Iran, bahkan etnis Kurdi yang telah lama hidup di Eropa terpanggil “pulang kampung” membantu saudara-sebangsanya di Kobani.

Turki yang selama ini menganggap Kurdi sebagai teroris menghadapi dua tekanan sekaligus. Dunia internasional memaksa Turki mengizinkan wilayah perbatasannya dilalui petempur Kurdi dari berbagai negara untuk masuk ke gelanggang Kobani yang dikepung ISIS. Di dalam negeri, protes warga Kurdi menuntut pemerintahan Turki tidak menghalang-halangi solidaritas Kurdi di Kobani berujung kerusuhan massal. Turki pun menyerah, meski dibayang-bayangi kekhawatiran bangkitnya persatuan Kurdi Raya.

Kini, kekhawatiran Turki di ambang kenyataan. Kurdi Suriah sedang membangun eksperimen negara Kurdi di sepanjang perbatasan Suriah dan Turki, yaitu Rojava. Sementara itu, pemerintah Suriah tidak terlalu memusingkan hal ini karena saat ini masih disibukkan menghadapi ISIS dan pemberontak lainnya.

Rojava kini tampil menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan dalam perang Suriah. Kekuatan asing di Suriah seperti Amerika dan Rusia bahkan memanfaatkan geliatnya kekuatan Rojava sebagai pejuang yang bisa diandalkan di lapangan untuk menyapu ISIS. Ketangguhan Rojava diakui sepanjang tahun 2015. Wilayahnya meluas tiga kali lipat. Sedangkan wilayah ISIS menyusut 14% berpindah tangan ke Rojava.

Kemenangan gemilang Kurdi di Kobani Suriah telah menaikkan pamor Partai Rakyat Demokratik (HDP), partai sayap kiri Kurdi, di Turki. Dalam pemilu terakhir, sebagai partai penguasa, Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) memang gagal mengulang kesuksesan. Hubungan rezim Turki dan etnis Kurdi kembali memanas. Perjanjian damai Erdogan dan oposisi Kurdi runtuh pada Juni 2015. Turki selama ini mencekal Partai Buruh Kurdi (PKK) yang dianggap “saudara kembar” PYD di Suriah dengan label teroris.

Diyarbakir adalah kota di Turki yang dihuni mayoritas Kurdi dan Turki saat ini sibuk “menjinakkan” penghuni kota ini. Tank dan penembak jitu dikerahkan. Korban tewas dari kedua belah pihak terus bertambah dari hari ke hari. Turki memperingatkan AS dan Rusia untuk tidak menyuplai senjata pada Rojava dan menolak berdirinya negara Rojava di Suriah.

Banyak yang menilai dukungan AS terhadap Rojava sifatnya jangka pendek, karena mereka saat ini sedang menghadapi musuh yang sama, yakni ISIS. Sama seperti Kurdistan yang menunda rencana referendum merdeka dari Irak, karena saat ini pemerintah Kurdistan dan Irak sedang sibuk menghadapi musuh yang sama, yaitu ISIS.

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.