Banjir Jakarta itu sudah sangat kita kenal polanya. Sebenarnya tidak ada
yang khas. Ini masalah banjir yang lumrah di kawasan urban. Tepatnya,
kawasan urban yang tidak tertata dengan baik. Bila ditata, sebenarnya
banjir tidak perlu terjadi.
Jakarta adalah daerah hilir, muara dari beberapa sungai. Hulu
sungai-sungai ini ada di daerah selatan, yaitu Bogor. Kawasan hilir
adalah dataran rendah, kawasan hulu adalah dataran tinggi. Air mengalir
dari tempat tinggi ke tempat yang rendah, itu adalah pelajaran yang
sudah kita hafal sejak sekolah dasar.
Pada kondisi ideal, air hujan di wilayah hulu perlahan meresap ke
permukaan tanah, menjadi kandungan air tanah. Pada akhirnya air ini akan
mengalir ke sungai menuju laut, tapi dalam aliran yang sangat lambat di
dalam tanah. Sebagian ada yang bertahan sebagai kandungan air tanah,
diikat oleh gaya-gaya adhesi antara molekul air dengan butiran tanah.
Tapi di kawasan urban hal itu tak lagi terjadi. Sebagian besar lahan
dari utara ke selatan sudah gundul. Hutan yang dipenuhi pepohonan yang
berperan menahan air agar tidak deras mengalir di atas permukaan tanah,
sudah tidak ada. Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan resapan dan
hutan lindung di Bogor dipaksa menjadi perumahan dan villa. Orang-orang
kaya dan berpangkat bisa melakukan apa saja yang mereka suka. Tapi satu
hal yang tak bisa mereka lakukan adalah, mengubah perilaku air.
Air hujan yang tadinya perlahan menyerap ke dalam tanah, kini tak
tertahan. Sebagian besar wilayah hutan tadi tak hanya gundul, tapi
berubah menjadi tanah berlapis beton dan aspal di permukaannya. Air tak
lagi punya kesempatan untuk menyelinap ke pori-pori tanah. Air mengalir
dengan cepat di permukaan, mencari tempat terendah.
Dalam perjalanan menuju tempat terendah yang terdekat, air sudah
berkumpul dalam jumlah yang cukup untuk merendam kawasan tertentu. Lalu
terjadilah banjir. Air pada akhirnya juga tiba di sungai. Jumlahnya jauh
lebih banyak dari daya tampung sungai. Maka sungai pun meluap, menjadi
banjir yang lebih dahsyat.
Banjir di Jakarta terdiri dari 2 jenis itu. Pertama air yang berkumpul
di suatu titik, karena tidak ada saluran yang memadai untuk
menyalurkannya ke tempat yang lebih rendah. Kedua, sungai yang meluap
karena volume airnya melebihi daya tampung. Rendahnya daya tampung
sungai bukan hanya karena volume air terlalu besar, tapi juga karena
daya tampung sungai mencut, karena pendangkalan, penyempitan, dan
tumpukan sampah.
Jadi, bagaimana menangani banjir ini? Secara jangka pendek, benahi
saluran air di dalam kota, agar air yang tidak bisa meresap ke dalam
tanah tadi segera mengalir ke sungai, lalu ke laut. Benahi itu bermakna,
bersihkan, rapikan saluran yang sudah ada agar berfungsi sesuai
rancangan, buat saluran baru kalau belum ada atau belum memadai.
Dalam hal sungai, logikanya sama. Bagian yang dangkal dikeruk, yang
sempit dilebarkan. Yang tersumbat oleh tumpukan sampah dibersihkan.
Tepi-tepi sungai dibeton agar tidak mudah runtuh, agar tidak terhadi
penyempitan. Semua itu disebut kegiatan normalisasi sungai.
Sayangnya langkah logis dan mendasar ini ditolak oleh Gubernur DKI Anies
Baswedan. Ia punya teori bahwa mengalirkan air ke laut itu menyalahi
hukum Allah. Ia ngotot ingin membuat vertical drainage yang mengalirkan
air ke perut bumi.
Sementara Gubernur sibuk dengan berbagai sains baru soal air, sang air
tidak peduli. Ia tetap bertingkah seperti biasa, menimbulkan banjir yang
menenggelamkan sebagian Ibu Kota. Bahkan sekadar menjaga agar sungai
bersih dari sampah pun tak dilakukan secara memadai oleh Gubernur. Sejak
tahun lalu banjir terjadi terus di Jakarta, nyaris tanpa musim.
Anies menolak konsep normalisasi yang menurut dia tidak alami, karena
membeton tepi sungai. Kalau kita lihat di kota besar mana pun di dunia,
itulah yang dilakukan orang. Di kawasan hilir yang padat, itu
satu-satunya pilihan. Di kawasan yang tidak padat, bolehlah sungai
dirawat secara natural.
Entah bagaimana formulanya vertical drainage bisa mengurangi banjir.
Istilahnya sendiri sudah membingungkan. Air dalam jumlah besar di
permukaan tanah berlapis aspal dan semen, tidak ada jalan lain kecuali
mengalirkannya ke sungai melalui got. Kalau mau disalurkan ke perut
bumi, perlu ada berapa milyar lubang pori yang mesti kita buat di tengah
kota dan pemukiman?
Anies sudah tahu duduk masalahnya. Ia melihat sendiri sungai yang
menyempit, antara lain karena kawasan bantaran sungai dijadikan
pemukiman liar. Normalisasi sungai menghendaki kawasan semacam itu
dibersihkan, tidak lagi jadi pemukiman. Artinya orang-orang yang tinggal
di situ harus digusur. Nah, itu tidak mungkin dilakukan Anies, karena ia
punya janji politik untuk tidak menggusur. Itu sebuah janji yang
sebenarnya tidak dipikirkan benar konsekuensinya. Diucapkan semata untuk
membuat perbedaan dengan lawan politiknya kala itu.
Langkah jangka pendek tadi memang tidak cukup. Perlu dilakukan
penanganan jangka panjang. Kawasan hulu di Bogor perlu dipulihkan. Ini
bukan wewenang Gubernur DKI, sehingga diperlukan kerja sama. Normalisasi
sungai saja tidak cukup. Di sejumlah tempat perlu dibuat waduk penampung
air.
Yang tidak kalah penting adalah pengelolaan manusia. Sungai-sungai di
Jakarta tidak hanya menyebabkan banjir, tapi juga jorok. Sungai menjadi
tempat sampah dan jamban raksasa, tempat semua kotoran ditumpahkan.
Manusia-manusia di sepanjang daerah aliran sungai perlu dididik untuk
tidak mengotori sungai. Sampah jangan dibuang ke sungai. Air limbah
jangan dialirkan ke sungai sebelum diolah sampai tingkat tertentu. Kita
sudah punya aturan yang mengatur kadar kotoran air limbah yang boleh
dialirkan ke sungai. Tapi aturan itu banyak dilanggar, baik oleh
perseorangan maupun oleh badan usaha.
Adakah program Gubernur untuk mendidik masyarakat agar tertib menjaga
sungai? Tidak pernah kita dengar. Adakah program nyata yang dilakukan
untuk mengatasi banjir ini? Tidak jelas. Nama Gubernur kini dilekatkan
menjadi nama sebuah tanggul yang sering jebol karena tidak kuat menahan
tekanan air, Tanggul Baswedan. Itu adalah simbol betapa tidak beresnya
penanganan banjir di Jakarta sekarang.