Bagaimana sebenarnya sikap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terhadap perjuangan ibu-ibu di Rembang? Beberapa kali setiap ada yang mempertanyakan sikapnya di media sosial terkait hal itu, Ganjar balik bertanya, “Anda siapa? Tinggal di mana? Sudah baca AMDAL?” Seolah-olah setiap usaha mempertanyakan sikapnya terkait masalah di Rembang, Jawa Tengah, adalah kritik murni.
Ketegangan antara ibu-ibu Rembang dan PT Semen Indonesia adalah satu dari beberapa masalah terkait tanah di Jawa Tengah. Menurut data HuMa, konflik sumber daya alam dan agraria
sepanjang tiga tahun terakhir, khusus di Jawa Tengah, ada 36 kasus terkait sengketa tanah. Gubernur Ganjar sejauh ini masih berusaha menjembatani kepentingan kedua belah pihak. Meski demikian, tentu tak mudah memuaskan setiap pihak yang bertikai.
Selain di Rembang, konflik tanah juga terjadi di Urut Sewu. Seperti di Rembang, Ganjar masih tidak mau memihak antara rakyat ataupun TNI AD. Kedua belah pihak diminta Ganjar untuk menyelesaikan masalah mereka di pengadilan. Alasannya, baik petani maupun TNI AD tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah sehingga harus diputuskan di pengadilan.
Sejauh ini rekomendasi penyelesaian ala Ganjar selalu normatif. Alih-alih turut aktif mendampingi masyarakatnya yang ada di Rembang ataupun Urut Sewu, Gubenur Ganjar lebih memilih agar rakyatnya berjuang sendiri melalui pengadilan. Ketika sengketa terjadi Ganjar juga meminta agar pihak yang bertikai untuk tidak menggunakan lahan sengketa tersebut.
Anehnya, Ganjar relatif tidak berbuat apa-apa ketika pihak pabrik Semen tetap melakukan pembangunan tapak pabrik di Rembang, sementara saat itu proses pengadilan masih berjalan. Hal serupa juga terjadi di Urut Sewu ketika Ganjar membiarkan pihak TNI AD melakukan pemagaran. Jadi, sebenarnya Ganjar memihak siapa?
Konflik di Urut Sewu sempat memanas pada Sabtu lalu (22/8). Bentrok kembali terjadi antara petani Urut Sewu versus TNI AD yang mengakibatkan belasan petani mengalami luka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Bentrok itu juga melukai Kepala Desa Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho. Peristiwa itu merupakan buntut dari aksi yang dilakukan para petani dan aktivis yang menolak pemagaran sepihak oleh TNI AD di kawasan Urut Sewu sepanjang 23 kilometer dengan lebar 500 meter yang membentang di 15 desa di tiga kecamatan.
Selain di dua tempat itu, Ganjar juga mendapatkan protes dari para warga di Batang. Melalui Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban), warga memberikan somasi kepada Ganjar Pranowo. Somasi ini dilakukan terkait dengan diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/35 Tahun 2015 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M2 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2×1.000 MW di Kabupaten Batang.
Penerbitan surat itu dianggap bermasalah. Salah satunya oleh kelompok aktivis lingkungan Green Peace. Selain dianggap tidak sesuai aturan, lahan yang rencananya akan digunakan sebagai PLTU itu merupakan lahan pertanian produktif yang telah dikelola warga Batang secara turun-temurun hingga sekarang. Hasil pengelolaan lahan tersebut dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dengan sejahtera.
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Desriko mengatakan, penerbitan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah terkait PLTU memiliki cacat. Tindakan Ganjar yang menetapkan lokasi pengadaan tanah untuk Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah itu di atas tanah milik masyarakat tanpa terlebih dahulu melakukan sosialisasi dan konsultasi yang melibatkan pihak yang berhak sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2012.
Dari sekian masalah yang ada terkait dengan sengketa lahan dan warga, sebenarnya kita bisa bertanya, kepada siapakah Gubernur Ganjar berpihak?