Melalui kantor beritanya, Amaq, kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), kembali mengklaim bertanggungjawab atas serangan teror truk maut di Nice, Prancis. Teror saat pesta kembang api pada perayaan Bastille Day itu menewaskan 84 jiwa. Padahal, baru 6 (enam) bulan lalu, November 2015, Prancis mengalami teror yang menewaskan 130 jiwa.
Salah satu akun Twitter yang mengklaim representasi kelompok ISIS menyatakan aksi tersebut bentuk balas dendam atas kematian salah satu komanda perangnya, Abu Omar al-Shishani. Dua hari sebelum teror Nice, Amaq memang mengkonfirmasi kematian Abu Omar di Shirqat, Irak.
Tragedi Nice membuat problem teror global semakin akut dan tumpang tindih. Dilihat dari pola yang selama ini dilakukan, teror Nice ini bergaya baru. Awalnya, aksi-aksi teror yang dimotori ISIS dilakukan dalam bentuk bom bunuh diri. Setelah itu, muncul format baru aksi teror: penembakan secara membabi buta di kerumunan, seperti terjadi di Paris dan Brussels.
Aksi teror dengan menabrakkan truk seperti di Nice ini menambah satu lagi keragaman pola teror. Bukan itu saja, fakta ini menunjukkan semakin ke belakang pola teror yang dijalankan semakin natural dan simpel, sehingga semakin bisa dilakukan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Aksi penembakan di kerumunan relatif lebih mudah dilakukan ketimbang bom bunuh diri yang memerlukan perangkat senjata yang cukup kompleks.
Penggunaan kendaraan truk seperti di Nice jauh lebih mudah karena hampir tidak membutuhkan perangkat bersenjata apa pun, selain motivasi dan ideologi. Jadi, pola teror semakin hari semakin sederhana dan alamiah, namun sangat efektif merenggut korban.
Meski tidak semua aksi teror terafiliasi secara langsung maupun tidak langsung dengan ISIS, harus diakui eksistensi dan sepak terjang ISIS selama ini membuat teror semakin terdesentralisasi dan terfragmentasi. Pertama, teror tidak lagi terfokus di kawasan tertentu, seperti Timur Tengah, tapi terjadi di negara mana pun.
Kedua, teror dapat terjadi di tempat-tempat yang sebelumnya tidak menjadi sasaran, karena dianggap tidak strategis dan tidak memiliki makna politis. Kini, teror terjadi di ragam tempat: kafe, gedung bioskop, gedung teater, dan pusat keramaian.
Ketiga, teror semakin bisa dilakukan oleh siapa pun, tidak harus seorang militan agamis. Seorang kriminal murni bisa saja mengadopsi pola teror untuk tujuan kriminalnya. Keempat, aksi teror bisa dilandasi motif apa pun, tidak harus agama. Kelompok separatis di sebuah negara merupakan salah satu pihak yang sangat diuntungkan dengan “momentum ISIS” dan desentralisasi teror ini, karena bisa menjalankan aksi teror politisnya.
Kelima, pola teror semakin beragam dan bisa dilakukan dengan menggunakan apa saja: dari bom hingga kendaraan. Dalam konteks lima poin inilah pola teror semakin terdesentralisasi dan terfragmentasi.
Antara ISIS dan Al-Qaidah
Ketika kota Fallujah, Irak, berhasil direbut oleh militer Irak pada 26 Juni 2016, muncul optimisme bahwa ruang gerak ISIS akan semakin sempit. Struktur organisasinya di Irak juga diyakini akan terpangkas. Apalagi, di Suriah, kelompok juga kian terdesak. Banyak kalangan yang mengira ini indikasi akan menurunnya performa ISIS. Namun prediksi ini meleset.
Terhitung sejak itu, aksi bom bunuh diri yang diklaim dilakukan ISIS bertebaran di 5 (lima) negara: Turki (36 tewas), Arab Saudi (4 tewas), Irak (300 tewas), Bangladesh (4 tewas) dan Solo (1 tewas).
Kesimpulan soal melemahnya ISIS sepertinya harus ditinjau ulang. ISIS tidak sedang melemah, tapi justru sedang menguatkan dirinya dalam format gerakan yang baru, yaitu menampilkan wajah ganda dalam gerakan dan strategi terornya. Perubahan strategi ini tidak selalu disebabkan pelemahan kekuatan, tapi bisa juga bagian dari kelanjutan performanya. ISIS sedang bermetamorfosa dalam bentuk strategi yang baru.
Meski lahir dari embrio Al-Qaidah Iraq (AQI), ISIS memiliki cetak biru perjuangan yang berbeda. Ada beberapa butir persamaan dan perbedaan antara ISIS dan Al-Qaidah.
Pertama, pada awal kemunculannya, target teror ISIS masih internal muslimin yang mereka anggap “berbeda” (Sunni dan Syiah), karena ISIS menganut paradigma takfiri (mengkafirkan Muslim selain golongannya). Ini berbeda dengan aksi teror Al-Qaidah pimpinan Osama bin Laden yang hanya menyasar nonmuslim (Barat) sebagai target.
Namun kini ISIS juga mengadopsi target yang sama dengan Al-Qaidah. Barat dan Islam sama-sama menjadi sasaran teror ISIS. Target teror ISIS lebih beragam dari Al-Qaidah. Ini inkonsistensi atau metamorfosa?
Kedua, awalnya target perjuangan ISIS merebut Irak dan Suriah untuk dijadikan mercusuar kekhalifahan. Selepas itu, barulah kuasa kekhalifahan didesentralisasi ke seluruh dunia. Pada tahun-tahun pertama kemunculannya, teror ISIS tak pernah keluar dari Irak dan Suriah. Namun menginjak tahun keduanya, negara-negara Barat (Prancis, Brussels, Amerika Serikat) serta negara-negara berpenduduk Muslim (Turki, Indonesia) juga turut menjadi target teror ISIS. Ini inkonsistensi atau metamorfosa?
Ketiga, kerja jaringan Al-Qaedah sangat tergantung pada instruksi Osama bin Laden sebagai pemimpinnya. Osama inspirator sekaligus konduktor Al-Qaidah. Karena itu, tewasnya Osama membuat jaringan Al-Qaidah juga mati suri. Awalnya, ISIS juga sangat mengandalkan figur Abu Bakar al-Bahdadi. Namun belakangan ISIS jadi sangat lentur dalam hal kepemimpinan.
Simpatisan ISIS seperti memiliki keleluasaan untuk merancang aksi teror: di mana pun, kapan pun, siapa pun targetnya, dan dalam pola apa pun aksi tersebut dijalankan (bom bunuh diri hingga tabrak diri). Figur dan kepemimpinan Bahgdadi tidak sesentralistis Osama. Dampaknya: potensi teror ISIS lebih tinggi dan luas dari Al-Qaidah, karena bisa dilakukan secara otonom dan personal oleh para simpatisannya.
Jadi, dalam beberapa hal, ISIS mengadopsi pola teror yang dahulu dijalankan Al-Qaidah. Namun, di sisi lain, ISIS tetap memiliki diferensiasi dan ciri khas tersendiri. Strategi mengadopsi pola Al-Qaidah bisa mengindikasikan bahwa jaringan organisasi peninggalan Osama ini mulai bersinergi dengan ISIS. Bahwa spirit perjuangan ISIS mulai diterima oleh bekas jaringan Al-Qaidah.
Jaringan beserta anggota-simpatisan yang seperti kehilangan induk semangnya setelah kematian Osama perlahan-lahan memutuskan bermerger dengan ISIS. Merger ini bisa terjadi pada tiga level.
Pertama, merger teologis-ideologis. Keduanya disatukan oleh spirit teologis dan ideologis yang sama. Jika benar terjadi merger, berarti anggota maupun simpatisan Al-Qaidah kini merasa memiliki kesamaan teologis-ideologis dengan yang diusung ISIS. Sebelumnya, ini tidak terjadi. Apa faktor yang akhirnya memicu adanya persamaan ideologis-teologis ini perlu dikaji lebih dalam.
Kedua, merger target teror. Dalam hal ini ISIS juga menyasar target yang sebelumnya dibidik Al-Qaidah, yaitu Barat. Bidikan teror ISIS bukan lagi muslimin. Artinya, wilayah kerja ISIS lebih global dari Al-Qaidah karena mencakup seluruh wilayah tanpa memandang latar belakang agamanya. Berarti ancaman teror yang ditebarkan ISIS jauh lebih mencekam dari yang dulu dilakukan Al-Qaidah.
Ketiga, merger jaringan. Jaringan keanggotaan dan simpatisan ISIS bersinergi dengan infrastruktur organisasi Al-Qaidah. Ketika ISIS hanya fokus di Suriah dan Irak, ada indikasi bahwa sumber daya manusia kelompok ini di luar negeri terbatas. Anggota dan simpatisan Al- Qaidah yang tersebar di luar negeri masih dalam posisi “menunggu dan melihat” karakteristik ISIS.
Kini, ketika ISIS tiba-tiba seperti memiliki jaringan yang luas dalam tempo yang cepat, besar kemungkinan ini disebabkan bergabungnya sebagian jaringan Al-Qaidah ke dalamnya. Baik secara formil maupun nonformil. Artinya, tugas yang kini dihadapi dunia lebih berat dari tugas memberantas Al-Qaidah dulu.
Fragmentasi dan desentralisasi teror inilah yang kini sedang mencekam dunia. Bukan hanya nonmuslim (Barat), umat Islam pun selalu di bawah bayang-bayang teror ISIS. Kelompok ini perlahan-lahan memiliki wajah ganda: wajah dan kekhasannya sendiri, serta wajah Al-Qaidah.
Dampak terornya juga akan semakin kompleks dan tumpang tindih. Apakah semua indikasi ini menunjukkan bahwa ISIS sedang bermetamorfosa? Jika benar ISIS sedang bermetamorfosa, berarti kelompok teroris ini tidak sedang melemah dan terpojok, seperti dugaan beberapa kalangan belakangan ini. Sebaliknya ISIS justru sedang menggandakan wujudnya, dan pastinya akan memiliki pasokan energi baru.