Selasa, Oktober 15, 2024

Menakar Senjakala Kejayaan Erdogan dan AKP

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.

Istanbul demek Türkiye demek mempunyai pesan yang sangat kuat untuk menunjukkan apa dan siapa Istanbul: bahwa Istanbul adalah Turki itu sendiri. Kalimat ini menggema di mana-mana dan diakui oleh semua rakyat Turki, sehingga perebutan dan penguasaan kota Istanbul menjadi keniscayaan bagi semua kepentingan, lebih-lebih dalam urusan politik.

Pemilihan umum lokal ulang (re-election) di Istanbul sudah dihelat dengan cukup khidmat kemarin, 23 Juni 2019. Dan kalimat Istanbul demek Türkiye demek semakin tidak terbendung sebagai pengejawantahan bagi kelompok pemenang, yaitu koalisi millet ittifakı (koalisi kebangsaan) yang dikomandoi oleh partai sekuler (Partai Rakyat Demokratik, CHP).

Hasil hitung cepat sementara pemilu ulang 23 Juni lalu justru semakin memantapkan penambahan suara untuk Ekrem İmamoğlu dengan mengalahkan pesaing terkuatnya dari partai penguasa, Binali Yıldırım, dengan rincian 54,03 persen dan 45,09 persen dari 99,37 persen suara masuk. Perbedaan suara berjumlah 777,581—lebih banyak dari pemilu 31 Maret sebesar 13,729. Sementara itu, data untuk pemilu 31 Maret menunjukkan 48,80 persen untuk Ekrem dan 48,55 persen untuk Yıldırım.

Bukti di atas menandakan bahwa Ekrem sudah tidak terbantahkan menjadi pemenang untuk Istanbul. Tuduhan adanya kongkalikong dan bahkan korupsi sehingga memantabkan Lembaga Pemilihan Umum Turki (YSK) untuk mengulangnya tidak menyurutkan keyakinan pihak lawan untuk memenangkan pemilu.

Ekrem dan timnya sebenarnya sudah terlihat sangat percaya untuk memenangkan pemilu ulang kali ini. Mereka melakukan kampanye dengan optimis dan antusias di beberapa titik di Istanbul dengan tagline ”her şey çok güzel olacak” (semua akan menjadi sangat baik). Atraksi untuk menyedot suara milennial dan swing voters dari kelompok Islamis yang jengah dengan situasi ekonomi Turki terbaru dimanfaatkan secara maksimal oleh Ekrem. Hasilnya benar-benar mencengangkan, dengan mampu mengakhiri kekuasan kelompok konservatif di bawah Recep Tayyip Erdogan sejak 1994.

Sementara tim Yıldırım sendiri terlihat gugup untuk merebut suara-suara yang memungkinkan mereka pengaruhi, misalnya dari kelompok pemilih milenial, komunitas Kurdi Istanbul dan khususnya kelompok Islamis sendiri. Karena secara nyata mereka akan kesusahan untuk merebut pengaruh dari kelompok kiri, liberal dan sekuler. Sementara suara Islamis nyata-nyata dipecah dengan hadirnya calon dari partai kanan-konservatif Partai Saadet, Necdet Gökçınar.

Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Yıldırım betul-betul susah untuk bergerak luwes dalam upaya memenangkan pemilu ulang. Akhirnya, cara-cara tradisional dipakai dengan memanfaatkan jaringan media yang dikontrol penguasa, intimidasi tentang kecurangan kelompok Ekrem, kampanye pengulangan tentang kemajuan infrastruktur dan janji-janji lain seperti beasiswa untuk pelajar.

Tetapi, secara gestur, Yıldırım tidak mampu mempengaruhi pemilih rasional di kota besar seperti Istanbul. Meski belum mempunyai pengalaman luas di kancah politik nasional (berbeda dengan Yıldırım), Ekrem tetap percaya diri atas pengalaman seadanya tetapi konsisten dan lebih luwes. Ekrem adalah tipikal tokoh sekuler yang populis dengan tidak menabukan diri pada simbol-simbol Islam, sehingga memori sekularisme yang kelam di masa lalu sedikit banyak direstorasi dengan mendahulukan semangat kerja untuk rakyat Istanbul.

Ekrem vs Erdogan
Sosok Ekrem sangat menarik ditelisik yang, bagi saya, menjadi salah satu faktor merebut suara kemenangan di Istanbul. Di tengah arus Islamisme yang makin kuat, partai sekuler seperti CHP dipaksa untuk mengafirmasi beberapa pendekatan populis demi meraih suara maksimal.

Pemandangan seperti mencium al-Quran dan ziarah ke makam ulama dengan mendengarkan pembacaan ayat suci telah ditunjukkan dengan baik oleh kader-kader dari partai sekuler warisan Ataturk. Dengan begitu, secara kasat mata, citra anti-Islam yang sempat dipraktikkan oleh masa lalu pendahulu mereka pelan-pelan semakin pudar, bergerak menjadi sekuler populis di mana pendekatan-pendekatan demokrasi menjadi kunci utama bagi mereka. Artinya, menjadi sekuler tidak lantas memusuhi Islam (seperti banyak disalahpahami oleh masyarakat kita di Indonesia). Orang-orang di sekitar Ekrem sendiri banyak yang mengenakan jilbab dan simbol agama lainnya.

Ekrem lahir dari keluarga konservatif-kanan di Provinsi Trabzon. Mereka sekeluarga pindah ke Istanbul pada 1987 dan Ekrem mengenyam pendidikan di kota yang mempertemukan dua benua tersebut. Dalam beberapa hal, termasuk karir di politik, Ekrem mempunyai kemiripan dengan Presiden Erdogan: sama-sama mencintai sepakbola dan memulai karir politiknya dari bawah. Erdogan langsung menjadi wali kota Istanbul, sementara Ekrem membangun karir politiknya dari menjadi bupati di salah satu distrik di Istanbul, Beylikdüzü. Kalau Erdogan lebih banyak fokus kepada manuver politik, Ekrem memilih berkarir lebih dulu di perusahaan konstruksi keluarga yang dibentuk oleh ayahnya sejak 1995, bernama Imamoğlu Inşaat (İmamoğlu Construction).

Melalui pengalaman praksis, fondasi dan dasar-dasar kepemimpinan Ekrem terbentuk secara matang sehingga ketika namanya disepakati untuk menjadi calon dari partai (CHP), banyak pihak optimistis terhadap langkah dan kebijakan Ekrem untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Istanbul secara khusus. Ekrem datang di waktu yang tepat, yaitu ketika ekonomi Turki benar-benar lesu dan ringsek dalam dua tahun terakhir.

Di waktu bersamaan, kebijakan monopoli dan terpusat kepada Erdogan telah membuat gelombang pindah-arus tidak terbendung lagi. Rasa jengah di tengah langkah politik yang monoton dari partai penguasa (AKP) dalam dua dekade terakhir telah membuka jalan bagi kelompok oposisi untuk menawarkan kesegaran-kesegaran baru. Sikap-sikap anti-kritik dan penyapihan besar-besaran terhadap beberapa kelompok, termasuk jamaah Gulen, pemimpin Furkan Vakfi, dll., telah melahirkan musuh dalam selimut, yaitu musuh-musuh yang muncul dari basis pemilih dan pendukungnya sendiri.

Lain lagi dengan sikap oposisi yang sudah lama ditunjukkan oleh anggota pendiri AKP sendiri, seperti mantan presiden Abdullah Gul dan mantan PM Ahmet Davutoglu.

Dalam situasi seperti itu, bukan tidak mungkin bahwa AKP sudah masuk ke ambang senjakala. Setelah Ankara direbut dan dipimpin oleh oposisi (partai sekuler), kini Istanbul akan segera menyusul dengan tampuk kekuasaan di bawah kendali kelompok yang sama. Dinamika perubahan seperti ini harus dimaknai secara mendasar oleh AKP bahwa transisi dan regenerasi sangat penting agar roda partai dan kekuasaan politik terus berputar dengan sehat. Praktik patronisme kepada sosok Erdogan pada akhirnya akan melepuh seiring dengan usia dan kekuatan fisik yang menurun.

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.