The only constant is change (Heraclitus – Filsuf dari Yunani Kuno).
Perubahan itu pasti ada. Dan perubahan di republik ini sudah dimulai dengan terobosan dari Presiden Joko Widodo dalam Kabinet Indonesia Maju atau Kabinet Agile. Jokowi menempatkan tiga sosok yang telah mengharumkan nama Indonesia dengan cara from zero to hero: Nadiem Makarim, Erick Thohir, dan Wishnutama.
Mengapa Harus Berubah?
Pemerintahan kita berjalan dengan tunduk terhadap aturan-aturan yang berlaku, terutama yang berhubungan dengan pengelolaan duit rakyat (APBN) dalam membangun negeri kita yang akuntabilitasnya harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui wakilnya di DPR.
Bukan berita baru lagi ketika ada pejabat-pejabat yang terkena kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena proses pengadaan barang dan jasa di kementeriannya maupun BUMN. Sebaliknya, ada prestasi dari pejabat-pejabat apabila mendapatkan laporan WTP (wajar tanpa pengecualian) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan dari lembaga yang mereka pimpin.
Juga menjadi preseden kurang baik buat mereka apabila menerima WDP (wajar dengan pengecualian) dari BPK, dan pernah terjadi juga di saat kepemimpinan Basuki Tjajaja Purnama alias Ahok ketika menjabat sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta.
Tugas BPK tentunya mengaudit laporan keuangan dan mencari apabila ada kesalahan administratif, atau ada pemborosan dari kegiatan dari lembaga tersebut. Sampai apabila ada kejanggalan belanja negara yang kemudian dilimpahkan temuannya kepada aparat penegak hukum, misalnya Kepolisian atau KPK. Tentu tidak satu pun orang di Indonesia yang mau kena kasus korupsi hingga dijebloskan ke penjara.
Apa efek dari semua itu? Ternyata ada efek bola salju yang makin membesar di ujungnya. Efek baiknya adalah lembaga-lembaga menjadi hati-hati dalam mengelola keuangan, namun ada efek yang kontraproduktif, yaitu lembaga menjadi lebih fokus terhadap urusan administrasi, sedangkan urusan hasil tidak diprioritaskan. Singkatnya, administrasi dan dokumentasi adalah segalanya.
Dan inilah yang menjadi salah satu poin penting dari 7 perintah Jokowi yang ingin diubah, yaitu: Kerja berorientasi pada hasil nyata! Atau kalau di prinsip agile adalah “working software is the primary measure of progress.” Bukan hanya berkutat di administrasi saja.
Bagaimana Mengubahnya?
- Pendekatan Top-Down
Pesan perubahan dari Jokowi tersebut harus lanjut tanpa putus dari menteri sampai ke bawah-bawahnya. Mudah? It’s not, but it’s possible! Karena syarat pertama perubahan adalah dimulai dari atas. Kalau yang paling atas tidak mau berubah, apalagi yang di bawah. Jadi, pendekatan top-down harus segera dimulai dari para menteri sampai di semua jajarannya.
- Memangkas Tingkatan Eselon
Wacana berikutnya yang telah digulirkan, yaitu membuat tingkatan eselon menjadi hanya 2. Memang terdengar kontroversial tapi bisa efektif mempercepat perubahan dan membuat kabinet menjadi gesit untuk mengejar ketertinggalan.
Karena itu, saya setuju dengan ide ini. Berdasarkan pengalaman sebagai konsultan di Kementerian dan BUMN, saya pernah melihat lambatnya progress pekerjaan karena banyaknya pihak yang harus dikoordinasikan. Belum lagi untuk rapat perlunya surat menyurat dulu, disposisi surat yang bisa memakan waktu berhari-hari. Tak ketinggalan lamanya proses persetujuan yang sering kali melibatkan banyak pihak, untuk tandatangan saja bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu.
- Mendorong Terjadinya Perubahan dari Eksekutor Perubahan
Selanjutnya, kunci dari perubahan ini terwujud tidak terletak di posisi pimpinan. Ternyata perubahan itu terjadi di level eksekutor: mereka yang di Eselon III ke bawah, alias middle management. Merekalah pemimpin unit terkecil di kementerian dan mereka juga lah yang memegang kendali mau ikut arus perubahan atau menolaknya (resistance).
Menganut prinsip agile itu harus selalu positive thinking. Tentu ini langkah pertama yang harus dilakukan menghadapi mereka adalah melalui coaching dan mentoring dari pimpinan kepada mereka. Tidak ada cara lain paling efektif dalam memimpin selain dengan cara memberikan contoh keteladanan atau lead by example.
Namun, bagaimana kalau mereka tetap menentang perubahan? Keputusan ada di tangan para pemimpin tersebut tetap dibina atau dilepaskan? Sudah ada beberapa BUMN yang berhasil berubah, tidak perlu saya jelaskan panjang lebar BUMN yang mana dan bagaimana proses perubahannya.
- Inspect & Adapt
Perubahan tanpa memastikan prosesnya berhasil sama saja bohong. Karena itu, semua pemimpin di setiap level harus selalu mengecek apakah progress-nya sudah sesuai harapan. Hal ini senada dengan perintah Jokowi yang berbunyi: Selalu cek masalah di lapangan dan temukan solusinya!
Perubahan apa yang perlu dibenahi segera? Banyaknya lapisan birokrasi yang membuat kecepatan bergeraknya suatu lembaga menjadi lambat. Aturan tumpang tindih, lembaga-lembaga yang identik, dokumen-dokumen yang mirip tanpa ada value-nya, dan lain-lain. Singkatnya, perlu ada pembenahan dari sisi internalnya lembaga itu sendiri.
- Servant Leadership
Pemimpin sudah harus meninggalkan cara memimpin yang terkesan untouchable yang menyebabkan pimpinan menjadi incommunicable! Apabila pimpinan mengatakan perubahan tanpa memberi contoh, kita bisa segera melupakan perubahan tersebut bisa terwujud.
Tidak boleh melewati bahu jalan, tapi yang mengeluarkan aturan tersebut juga melewati bahu jalan. Ironis. Pemimpin harus memberikan keteladan, dan ini wajib hukumnya.
Kesimpulannya, dengan tenaga yang masih muda dan terbukti telah sukses membawa masing-masing organisasi menjadi perusahaan top di Indonesia, dan bahkan dunia, bukan tidak mungkin mereka bisa membawa perubahan di tiga sektor strategis yang akan menjadikan Indonesia maju, yaitu SDM, BUMN, pariwisita, dan ekonomi kreatif.
Bacaan terkait
Membaca Jokowi dan Tantangan Kabinet Agile
Nadiem Makarim dan Kabinet Jokowi yang Agile
Pak Jokowi, Mau Dibawa ke Mana BUMN Kita?
Nadiem Makarim sebagai Mendikbud: Disrupsi itu Benar-benar Terjadi
Saatnya Jokowi Memilih Kabinet Agile (Gesit dan Lincah) [Bagian 2 – Habis]