Pemilihan Kepala Daerah Jakarta akan digelar pada 2017. Memang masih atau tinggal setahun lagi. Maka, sangat wajar jika partai politik maupun calon perseorangan/independen sudah mulai mempersiapkan diri dari sekarang. Mereka sudah mulai bergerak, dan sudah ada beberapa calon dan partai politik yang membentuk semacam konsorsium untuk mengusung agendanya masing-masing.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersama pasangannya, Heru Budi Hartono, akan maju sebagai calon independen, dibantu Teman Ahok. Dengan mendirikan banyak gerai di berbagai pusat perbelajaan di Ibu Kota, Teman Ahok berhasil mengumpulkan banyak kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat pencalonan independen.
Ahok dituduh melakukan “deparpolisasi” dengan menjadi calon independen. Namun, sudah ada beberapa partai yang berkomitmen mendukung Ahok, yaitu Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Hanura, dan Partai Solidaritas Indonesia. Jadi, tuduhan “deparpolisasi” menjadi absurd.
Yusril Ihza Mahendra berniat maju bersama pasangannya, Adhyaksa Dault. Yusril sangat percaya diri maju di Pilkada DKI, karena kakaknya, Yuslih Ihza Mahendra, berhasil mengalahkan adik Ahok, Basuri Tjahaja Purnama, di Pilkada Belitung Timur. Namun sampai sekarang belum ada partai politik yang secara resmi “melamar” Yusril dan Adhyaksa.
Ada juga beberapa individu lain yang menyatakan ketertarikannya untuk mencalonkan diri, seperti pengusaha muda Sandiaga Uno yang kemungkinan akan dicalonkan oleh Partai Gerindra dan musisi Ahmad Dhani. Partai lain seperti PDI Perjuangan masih melakukan seleksi internal untuk bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur masing-masing.
Ahok menciptakan suatu tren baru, di mana calon independen dapat mengarahkan partai politik untuk mengikuti agendanya sendiri. Selama ini yang terjadi adalah kebalikannya, di mana calon gubernur harus mengikuti agenda partai. Di satu sisi, keberlanjutan tren ini ke depan harus dilihat lagi. Jika hanya bergantung pada figur Ahok semata, dan tidak diikuti oleh yang lain, maka semua akan sia-sia. Pencerahan politik yang elegan adalah pembangunan sistem, bukan mengandalkan pada figur semata.
Sementara itu, di sisi lain, kemunculan Ahok dan Teman Ahok telah memaksa partai politik untuk meninggalkan paradigma seleksi calon gubernur secara konvensional. Nasdem, PKB, Hanura, dan PSI sudah memulainya. Namun, politik adalah semata mengenai kepentingan. Sampai kapan partai-partai tersebut akan mendukung Ahok, misalnya, itu masih tanda tanya besar.
Efektivitas dukungan partai politik terhadap calon independen, dalam hal ini Ahok, masih harus dilihat sewaktu Pilkada Jakarta berlangsung nanti. Berfungsinya mesin partai dari tingkat kelurahan sampai provinsi untuk mendukung calon independen akan menjadi fenomena yang menarik, walau harus dibuktikan efektivitasnya dulu. Ke depan efektivitas gaya outspoken Gubernur Ahok tentu masih harus dibuktikan. Pendek kata, kita membutuhkan sistem yang kuat, sehingga siapa pun yang memerintah, sistem tetap berjalan.
Singapura setelah ditinggal Lee Kwan Yew dan Tiongkok sepeninggal Deng Xiaoping tetap menjadi negara yang memberantas korupsi dan menghukum berat mereka. Menjadi outspoken dalam pembangunan sistem ketatanegaraan, dengan semata mengandalkan relawan mungkin tidak cukup, karena mencakup kebijakan institusi yang harus dieksekusi dengan matang.
Dalam konteks ini sebenarnya Ahok masih memerlukan partai politik. Sebab, jika semua partai politik dilawan, tidak akan ada yang mendukung kebijakannya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Akhirnya kita harus mencatat bahwa lobi-lobi di luar ruang rapat dan liputan media yang menentukan kebijakan provinsi. Liputan eksklusif dari media umumnya hanya berisi pencitraan untuk rating belaka, sehingga tidak menentukan kebijakan sama sekali.
Yusril dan calon lain bukan tidak memiliki kesempatan untuk mengalahkan Ahok. Jika mereka fokus dalam menyajikan program yang menarik bagi warga Jakarta, dan program tersebut lebih baik dari yang ditawarkan Ahok, bisa jadi mereka yang menang. Dalam politik, misalnya, sah-sah saja bagi Yusril dkk untuk menggarap “barisan sakit hati” karena kebijakan Ahok untuk kemenangan mereka.
Namun, mereka harus hati-hati. Warga Jakarta sangat cerdas dan sangat terdidik, sehingga menggunakan isu seperti suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) untuk menyudutkan Ahok adalah tindakan sia-sia. Bahkan akan langsung menjadi bumerang atau “bunuh diri politik”, karena isu SARA justru membuat pemilih langsung bersimpati dengan Ahok.
Tantangan bagi Yusril dkk adalah mencoba mengkritisi program-program Ahok yang dinilai kurang baik dan menyajikan alternatif yang terbaik. Godaan untuk menyentuh isu SARA yang mengarah ke ideologi fasis harus disingkirkan jauh-jauh. Membangkitkan ideologi fasis seperti yang dilakukan Donald Trump di Amerika Serikat adalah pelanggaran serius terhadap ajaran semua founding fathers kita. Jika isu SARA menjauh dari Pilkada 2017, maka ini menjadi momentum yang akan mencerdaskan siapa pun yang terlibat di dalamnya.