Sebuah helikopter milik TNI AD mengalami kecelakaan dan jatuh di Poso. 13 prajurit gugur, di antara korban tewas terdapat Komandan Korem 132/Tadulako Kol. Inf. Syaiful Anwar. Musibah ini menghangatkan kembali isu penumpasan kelompok teroris pimpinan Santoso yang selama ini menjadikan hutan Poso sebagai basis gerakannya. Sebagai catatan, Presiden Joko Widodo ketika awal menjabat pada tahun 2014 telah menginstruksikan agar semua matra TNI diturunkan untuk segera menyapu bersih teroris di Poso ini.
Santoso memakai nama Abu Wardah sebagai nama “perang”. Dia dulunya adalah anggota Jamaah Anshoru Tauhid (JAT), bahkan pernah menjabat sebagai komandan Asykari atau sayap militer JAT Poso.
JAT sendiri merupakan organisasi radikal besutan Abu Bakar Ba’asyir, terpidana kasus terorisme yang kini mendekam di Nusakambangan. JAT memiliki tujuan mendirikan negara Islam di Indonesia, dan Santoso bersama kelompoknya berusaha mewujudkannya dengan cara angkat senjata di Poso.
Santoso kemudian diangkat menjadi Amir (pemimpin) kelompok teroris di Poso yang menyebut dirinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pada 2012. Kelompok ini berhasil mencuri perhatian aparat keamanan setelah menculik dan membunuh secara sadis dua anggota Polri di Poso pada 2012.
Saat kemunculan Negara Islam (ISIS ) di Suriah-Irak pada 2014, Santoso bersama kelompok MIT mengeluarkan pernyatakan bai’at (ikrar setia) kepada pemimpin tertinggi ISIS Abu Bakar Al Baghdadi. Sejak saat itu publik dan aparat mengaitkan MIT sebagai bagian dari ISIS.
Dulu sebelum berdiri, ISIS memilih luasnya gurun pasir di wilayah Anbar yang tak berpenghuni di Irak untuk dijadikan kamp pelatihan dan pengasingan anggotanya sebelum akhirnya berkembang seperti sekarang. Demikian pula MIT, kelompok ini memanfaatkan luasnya hutan Poso yang tak berpenghuni sebagai tempat pelatihan, persembunyian, dan menghimpun kekuatan.
Secara geografis wilayah pegunungan Poso sangat menguntungkan bagi mereka, dengan gunung-gunung berlapis dan medan yang sulit ditembus. Di samping itu, Poso berdekatan dengan Mindanao, Filipina Selatan. Mindanao selama ini dikenal sebagai surga pasar gelap senjata api, yang memasok senjata ilegal ke negara-negara di Asia Tenggara.
Sebagaimana ISIS yang berhasil memobilisasi jihadis asing masuk ke Suriah, MIT ingin melakukan hal yang serupa. MIT berusaha menarik para jihadis di luar Poso untuk bergabung dengannya, dilatih, dan dipersenjatai.
Meski demikian, terlalu berlebihan jika MIT disebut sebagai cabang ISIS di Indonesia. Belum ada bukti pengakuan dari ISIS bahwa secara struktural MIT di bawah ISIS. Bagi saya, MIT lebih tepatnya merupakan kelompok imitasi ISIS sebagaimana uraian di atas. Hal ini terlihat dari bagaimana MIT juga berusaha menggunakan dunia maya untuk propaganda seperti dilakukan ISIS, meski produktivitas maupun kualitas propagandanya jauh di bawah level militan yang terafiliasi struktur ISIS.
Dalam propagandanya kelompok MIT juga menggunakan bendera hitam yang selama ini menjadi ciri khas atau identitas militan ISIS di mana-mana.
Jihadis Asing
Tewasnya dua warga negara asing (WNA) asal Tiongkok etnis Uighur dalam kontak senjata antara aparat TNI-Polri dan MIT di hutan Poso baru-baru ini telah menambah daftar keterlibatan WNA yang bergabung dengan komplotan teroris tersebut. Sebelumnya juga ada seorang warga Tiongkok tewas dengan kasus yang sama. Sementara tiga warga Tiongkok lainnya berhasil ditangkap hidup-hidup ketika diduga kuat hendak bergabung dengan MIT dan kini sedang menjalani proses pengadilan.
Yang jelas, fenomena adanya warga Tiongkok bergabung MIT membuktikan keberhasilan MIT merekrut jihadis asing. Bagi MIT, bergabungnya jihadis asing bisa meningkatkan moral “jihad” dan menaikkan pamor nama kelompoknya.
Data Badan Nasonal Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan para warga asing Tiongkok masuk menggunakan jalur imigrasi melalui Myanmar, Thailand Selatan, dan Malaysia, selanjutnya menggunakan paspor Turki untuk masuk wilayah Indonesia. Mereka masuk dengan dalih mencari suaka. Diduga kuat masih ada warga asing yang masih buron bersama kelompok Santoso.
Bahkan Departemen Luar Negeri AS, melalui laman resminya yang dirilis pada Selasa (22/3/2016), menyatakan WNI bernama Santoso adalah pimpinan Mujahidin Indonesia Timur telah dimasukkan ke dalam daftar teroris global, Specially Designated Global Terorists (SDGT). Dalam pernyataan tertulis tersebut disebutkan juga bahwa MIT di bawah pimpinan Santoso bertanggung jawab atas sejumlah pembunuhan dan penculikan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Statemen Deplu AS ini menegaskan Santoso sebagai buronan internasional.
Keberadaan kelompok Santoso selama ini telah mencoreng wilayah Poso yang diidentikkan dengan sarang teroris, padahal tidak demikian. Semua ini karena sudah lebih 3 tahun lamanya publik di Tanah Air disuguhkan drama perburuan kelompok Santoso yang disebut-sebut hanya kelompok kecil yang, konon, sudah terjepit tapi tak tertangkap juga.
Walhasil, dengan adanya statemen Deplu AS yang kemudian tersebar di sejumlah media-media asing, sepak terjang kelompok Santoso kini tak hanya sebatas isu nasional lagi, atau bukan hanya masyarakat Indonesia saja. Lebih dari itu, kini masyarakat internasional juga menunggu kemampuan dan keseriusan aparat keamanan Indonesia membekuk kelompok Santoso.