Minggu, November 24, 2024

Menagih Jokowi Menersangkakan Korporasi

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
- Advertisement -
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Pangdam VI Mulawarman Mayjen TNI Benny Indra, Pejabat Gubernur Kalsel Tarmizi A Karim dan Danrem 101 Antasari Kolonel Inf M Abduh Ras meninjau lokasi bekas kebakaran lahan di desa Guntung Damar, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (23/9). Dalam kunjungan kerja selama dua hari di Kalimantan Selatan, selain meninjau lokasi titik api (hotspot), Presiden Joko Widodo juga akan melaksanakan ibadah salat Idul Adha di Masjid Al Karomah Martapura. ANTARA FOTO/Herry Murdy Hermawan/pras/15
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Pangdam VI Mulawarman Mayjen TNI Benny Indra, Pejabat Gubernur Kalsel Tarmizi A Karim dan Danrem 101 Antasari Kolonel Inf M Abduh Ras meninjau lokasi bekas kebakaran lahan di desa Guntung Damar, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (23/9). Selain meninjau lokasi titik api, Presiden Joko Widodo juga akan melaksanakan salat Idul Adha di Masjid Al Karomah Martapura. ANTARA FOTO/Herry Murdy Hermawan/pras/15

Dalam sebulan terakhir publik banyak disuguhkan pemberitaan perihal bencana asap di kawasan Sumatera dan Kalimantan yang tak kunjung reda. Bahkan boleh dikatakan bencana ini telah menjadi ritual tahunan setiap babakan pemerintahan. Pemerintah berganti tetapi asap tak pernah berhenti.

Pada titik ini wacana tentang kebijakan pemerintah menjadi penting untuk disorot. Arah kebijakan pemerintah di bidang lingkungan juga penting untuk dikritik. Sebab, harus ada ratio de’etre dari pemerintah yang bisa menjelaskan kepada publik bahwa bencana asap berasal dari alam bukan disebabkan oleh ulah manusia atau korporasi. Jika benar korporasi sebagai aktornya, tentu ini menjadi penegasan atas kegagalan pemerintahan Joko Widodo dalam melindungi warganya.

Dalam salah satu kesempatan, Bung Karno berujar jangan sekali-sekali melupakan sejarah alias jas merah. Sebab, sejarah akan menjadi bahan renungan untuk menata proses kehidupan di masa depan. Apa yang dikatakan Bung Karno kiranya penting untuk direnungkan, korelasinya dengan musibah asap akhir-akhir ini.

Jika dicermati, dalam empat tahun terakhir kasus pembakaran lahan yang berujung bencana, fluktuasinya semakin meningkat namun minim penegakan hukum.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, pada 2014 terdapat sembilan kasus kebakaran hutan yang diperiksa oleh kepolisian. Namun hingga saat ini belum ada yang sampai ke meja hijau. Pada 2013 terdapat enam kasus pembakaran hutan, namun hanya satu yang berhasil dibawa ke pengadilan alias P-21. Sementara pada 2012 lebih miris lagi, terdapat dua kasus yang disidik namun hanya satu yang berhasil masuk ke meja hijau.

Apa pesan yang hendak disampaikan dari data-data tersebut? Sebetulnya kasus pembakaran hutan sejak lama sudah terjadi di negeri ini, bahkan sejak zaman Orde Baru sekalipun. Namun harus diakui proses penegakan hukum kepada pelaku masih jauh dari harapan, alias jauh panggang dari api.

Minimnya penegakan hukum kepada pelaku mengakibatkan semakin buasnya mereka membakar hutan. Terlebih lagi saat ini korporasi telah menjadi aktor penting di balik pembakaran lahan dan hutan yang berujung petaka.

Badan Reserse Kriminal Polri telah mengidentifikasi bahwa di tahun 2015 ada 14 korporasi yang ikut berkontribusi menimbulkan bencana asap. Kenyataan ini menunjukan telah terjadi pergeseran pelaku kejahatan, semula hanya manusia (naturalijke persoon) sekarang bertambah dengan korporasi (recht persoon). Hadirnya korporasi sebagai pelaku pembakaran hutan bukan hal baru. Ini adalah praktik yang telah mendarah daging dalam tubuh kejahatan lingkungan.

Menyikapi hal ini, H.G De Bunt dalam Strafrechtelijke hand having van mileu recht 1989 menegaskan, dalam kasus-kasus tertentu posisi hukum pidana harus digeser. Semula sebagai ultimum remedium atau senjata pamungkas kemudian menjadi primum remedium atau senjata utama. Adapun indikatornya adalah korbannya sangat besar (massif), terdakwanya residivis dan kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable). Termasuk dalam indikator ini adalah tindak pidana lingkungan seperti pembakaran hutan.

Dalam konteks Indonesia, Pasal 116 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur corporate criminal liability. Yang perlu diperhatikan oleh aparat adalah directing will and mind dari korporasi. Artinya mentersangkakan korporasi cukup melihat peran manajemen, entah itu direktur, manajer atau pihak lain yang dianggap mewakili korporasi.

- Advertisement -

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah sebaiknya aparat tidak terpaku dengan asas kesalahan (geen straf zonder schuld), tetapi cukup dengan mendasarkan pada adagium res ipsa loquitur, bahwa fakta sudah berbicara dengan sendirinya. Kenyataannya, kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi sangat besar, baik ekonomi maupun sosial, dan korbannya mencakup masyarakat dan negara. Jadi, idealnya aparat hukum tidak perlu ragu mentersangkakan korporasi.

Sebagai penutup, ada beberapa hal yang penting untuk ditegaskan. Pertama, presiden harus mengomandoi kepolisian dan kejaksaan untuk menegakkan hukum kepada para pelaku pembakaran hutan. Kedua, presiden juga harus mendorong pemerintah daerah untuk mencegah pembakaran hutan. Ketiga, penegakan hukum lingkungan tidak boleh hanya bertumpu pada aspek administratif semata tetapi juga proses pidana sehingga bisa memberi efek jera.

Keempat, pengaturan sanksi pidana kepada korporasi secara expresive verbis telah ditegaskan dalam undang-undang lingkungan hidup sehingga mentersangkakan korporasi bukanlah hal yang sumir bagi aparat. Kelima, atau yang terakhir, aparat hukum harus serius mentersangkakan korporasi.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.