Apakah Anda melihat pos atau meme tentang penolakan perayaan Tahun Baru 1 Januari 2017 ini? Saya ingin sedikit mendiskusikan fenomena tersebut dalam kerangka nalar beragama Muslim Indonesia. Bagi saya, fenomena itu merupakan salah satu fragmen yang memperlihatkan krisis epistemologis yang dialami oleh Muslim Indonesia.
Paling tidak ada dua argumen yang muncul menjelang dan pada saat tahun baru kemarin. Argumen pertama berkaitan dengan bentuk, sementara yang kedua dengan identitas. Yang pertama menyasar praktik, tingkah, atau perilaku. Argumen ini menyerang agenda-agenda tahun baruan yang dianggap mencederai moralitas agama.
Adapun argumen kedua menekankan tentang who we are and are not; tentang self dan others. Argumen ini menyebutkan bahwa tahun baru Masehi bukanlah tahun baru Islam, dan elemen-elemen yang digunakan dalam perayaannya tidak berasal dari budaya Islam. Oleh sebab itu, tinggalkan!
Tidak sedikit pula yang membawanya kepada logika khas pengusung khilāfah. “Bagaimana Anda sebagai seorang Muslim tapi tidak menerapkan hukum Tuhan secara kaffah, malah mengikuti tradisi dari luar?!” Muslim yang merayakan tahun baru kemudian diklaim telah terjerumus ke dalam tasyabbuh dan oleh karenanya termasuk kepada minhum/others dan kafir.
Saya tidak ingin berdalam-dalam membicarakan penolakan ini. Boleh atau tidak-bolehkan perayaan tahun baru Masehi bukanlah hal yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Saya hanya ingin melihat salah satu bentuk argumen yang dikemukakan untuk memperlihatkan krisis epistemologis yang dialami oleh Muslim Indonesia saat ini.
Setiap 1 Januari, muncul penolakan terhadap tahun baru. Mereka menekankan bahwa tidak ada tahun baru Masehi. Satu-satunya tahun baru yang diakui dalam Islam adalah tahun baru Hijriah. Akan tetapi di luar itu segala aktivitas yang dilakukan selalu merujuk kepada penanggalan luar ini. Organisasi dan instansi mengagendakan tutup buku setiap Desember, penerimaan gaji setiap awal bulan, penomoran surat, dan sebagainya.
Penanggalan Hijriah bukan sama sekali ditinggalkan. Ia tetap digunakan, namun di posisi sekunder. Bahkan dalam kolom waktu dan tempat di poster, undangan, atau selebaran tentang perayaan hari besar Islam tetap saja yang digunakan pertama kali adalah penanggalan Masehi yang biasanya diikuti penanggalan hijriahnya.
Nampaknya hanya di Idul Fitri saja (1 Syawal) mengungguli posisi penanggalan Masehinya. Penolakan terhadap penanggalan Masehi pada momen-momen 1 Januari mencerminkan semangat pengusungan identitas yang kehilangan tempat berpijak.
Penolakan terhadap penanggalan Masehi juga dikaitkan dengan argumen kesucian, dalam arti bahwa kesucian Islam sebagai agama dilekatkan kepada penanggalan Hijriah, dan karenanya, yang selain itu dianggap tidak suci. Ironinya, pada sisi lain sering kali kita melihat sakralitas al-Qur’an dan Islam justru dikaitkan dengan penanggalan Masehi ini.
Kita tidak asing dengan pos di sosial media atau broadcast whatsapp yang seperti ini: “Tsunami Aceh terjadi tanggal 26 Desember, gempa Tasikmalaya terjadi tanggal 26 Mei, bencana ini-itu terjadi pada tanggal 26, mari buka surat ini dan itu ayat 26, perhatikan terjemahannya!” Tidak lupa pos ini dibumbui dengan “like and share” jika di media sosial dan “sebarkan” jika di aplikasi pesan. Pos dan pesan semacam ini mendapatkan banyak sekali apresiasi, sebagaimana banyak pula pengaminan terhadap penolakan penanggalan Masehi di setiap akhir tahun.
Hal serupa juga terjadi dalam rangkaian Aksi Bela Islam beberapa saat lalu. Angka 411 sebagai representasi dari penanggalan Masehi 4 November disucikan dengan menghubungkannya kepada tulisan lafaz nama Allah.
Sebuah foto yang disebar akun Instagram Habib Rizieq mengaitkan angka-angka penanggalan Masehi pidato Ahok di Kepulauan Seribu (27 September), penetapan dirinya sebagai tersangka (16 November), dengan mekanisme penjumlahan tertentu, bertemu di angka 51, nomor ayat yang ia kutip dalam pidato tersebut.
Di sini kita melihat posisi ganda penanggalan Masehi dalam dunia Islam Indonesia. Uniknya, peran ganda tersebut bukanlah peran yang saling melengkapi, tetapi saling bertentangan. Di satu waktu ia dipuja-puja karena dianggap menggambarkan kebesaran Tuhan, akan tetapi di sisi lain ia ditolak dan dianggap sebagai bentuk kerusakan manusia dalam beragama.
Cocokologi, begitulah nalar ini sering disebut. Ia merupakan istilah plesetan, gabungan antara cocok dan logos. Ibarat theos, philos, atau bios, yang masing-masingnya menyatu dengan logos, bergabung menjadi sebuah disiplin ilmu, theology, philology, dan biology. Menyatunya cocok dan logos memimpikan sebuah aktivitas keilmuan dalam mengait-ngaitkan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan. Ia adalah satir.
Cocokologi merupakan sindiran atas gaya pseudo-scientific yang mengait-kaitkan atau mencocok-cocokkan sesuatu dengan gaya yang seolah akademis. Padahal, tidak ada hukum akal yang bisa menjustifikasinya. Angka-angka penanggalan Masehi dikaitkan dengan angka-angka dalam al-Qur’an. Goresan-goresan abstrak awan, air terjun, kulit jeruk, dan sebagainya dikait-kaitkan dengan penulisan nama Allah. Seolah dengan itu terbangun sebuah argumen betapa maha kuasanya Allah.
Dalam sejarah intelektual Islam, perdebatan epistemologis tentang sumber ilmu berkenaan dengan dua hal: akal dan wahyu. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bisa mengetahui sesuatu bermodalkan akal, sementara Asy’ariyyah memutlakkan peran wahyu. Perdebatan tersebut relevan pada zamannya karena ia berkenaan dengan diskursus kalam dan hukum. Ia belum menyentuh fenomena sains yang rumit misalnya.
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa akal manusia mampu menilai sesuatu baik atau buruk. Perbuatan baik dijadikan sebagai premis pertama, dan mengerjakan sesuatu yang baik akan bermanfaat menempati premis kedua. Kesimpulannya, manusia dianjurkan untuk melakukan kebaikan. Adapun Asy’ariyah berargumen bahwa akal tidak bisa berbicara melakukan sesuatu akan mendapat pahala. Dari penjelasan wahyulah manusia bisa mengetahuinya.
Saat ini, cocokologi tidak hanya berkenaan dengan kalām dan hukum. Ia juga berkaitan dengan fenomena awan, pigmen hewan, dan sebagainya. Dengan demikian, idealnya, sumber ilmu yang digunakan harus melampai perdebatan antara akal dan wahyu. Akan tetapi, sayangnya, bukannya melampaui, nalar cocokologi malah mengangkangi keduanya.
Tidak ada hukum akal yang bisa menjustifikasi premis garisan yang membentuk lafaz nama Tuhan di kulit ikan bermuara kepada kesimpulan bahwa “ketik Allāhu akbar, like dan share” adalah wajib sebagaimana Anda suka like dan share foto gadis bening.
Juga tidak ada wahyu eksplisit dan implisit yang berbicara tentang hal itu. Betapapun tradisionalnya perdebatan antara akal dan wahyu, fenomena cocokologi memperlihatkan fenomena epistemologis yang lebih primitif. Ia sama sekali tidak masuk akal, dan juga tidak berkaitan dengan wahyu. Ia hanya resepsi serampangan manusia atas wahyu dengan menanggalkan peran akal.
Begitulah nalar beragama sebagian kita saat ini; sangat gampang tergoda dengan simbol-simbol yang tidak bernilai. Simbol-simbol tersebut dikait-kaitkan sedemikian rupa dengan proyeksi ia menjadi ilmiah, namun justru sebaliknya menjadi menggelikan.
Ada dua hal yang bisa menjelaskan cocokologi ini. Yang pertama adalah pragmatisme dakwah. Dalam kasus tahun baru, tentu sah-sah saja menolak agenda-agenda perayaan tahun baru yang tidak bermanfaat, menabrak moralitas agama dan budaya, dan sangat kental dengan balutan agresivitas kapitalisasi. Akan tetapi, penolakan dengan nalar-nalar yang krisis epistemologis hanya akan membuat basis keilmuan Islam semakin dangkal dan tidak relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Hal ini terbukti juga telah menyentuh dunia pragmatisme politik, ketika nalar cocokologi juga digunakan untuk menggerakkan massa dalam peristiwa politik yang baru-baru ini kita saksikan.
Hal kedua berkenaan dengan apa yang disebut oleh Yudian Wahyudi Ph.D, rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sebagai respons reaktif orang-orang yang kalah. Saat ini, tidak bisa dipungkiri, peradaban dunia Islam kalah dalam banyak hal dari peradaban Barat, baik ekonomi, politik, teknologi, bahkan nilai. Kekalahan peran penanggalan Hijriah ditanggapi dengan penolakan yang tidak konsisten terhadap penanggalan Masehi.
Dalam pola reaktif yang sama, kemajuan Barat dalam dunia sains dibalas dengan dagelan bumi datar atau analisis pigmen ikan bertulis lafaz Allah. Aktivitas antariksa Barat dibalas dengan analisis garisan-garisan abstrak awan. Lalu semua didaku seolah-olah bukti logis kebesaran Tuhan.