Majelis Umum PBB (UNGA) memproklamasikan 15 Maret sebagai Hari Internasional Memberantas Islamo-Fobia (‘the International Day to Combat Islamophobia. Kosa kata yang digunakan sangat kuat; bukan ‘melawan’ (to fight), tapi ‘memberantas’ (to combat). Tanggal 15 Maret dipilih karena pada Jumat 15 Maret 2019 terjadi serangan teroris bersenjata senapan otomatis di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 51 jamaah dan melukai sekitar 40 lainnya.
Untuk memberantas Islamofobia, MU PBB di markas besarnya di New York dalam penetapan itu (15/3/2022) menyerukan: ‘for strengthened international efforts to foster global dialogue and promotion of culture of tolerance and peace based on respect for human rights and for diversity of religions and beliefs’.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyatakan: “We must continue to push for policies that fully respect human rights and religions, cultural and unique human identity. As the Holy Qur;an reminds us—nations and tibes were created to know one another”.
Sekjen PBB Guterres kemudian mengutip laporan yang disampaikan kepada Dewan HAM, yang menemukan bahwa kecurigaan, diskriminasi dan kebencian terhadap kaum Muslim telah meningkat dalam proporsi epidemi. Juga dikemukakan contoh-contohnya seperti pembatasan melaksanakan ibadah, penolakan menjadi warganegara, dan stigmatisasi luas terhadap Islam dan Muslim. Perempuan Muslimah menghadapi tiga level diskriminasi karena gender, etnisitas dan keimanan mereka.
Proklamasi ‘Hari Internasional Melawan Fobia-Islam MU PBB 15 Maret’ menyebutkan tentang memburuk hubungan antara Dunia Barat dan negara-negara Muslim. Ini terkait dengan aksi-aksi terorisme sejak dari 11 September 2001 di AS, yang berlanjut dengan aksi serupa di London, Madrid dan Bali. Untuk memperbaiki hubungan itu, PBB membentuk “UN Alliance of Civilizations’ (UNAOC)—yang diakui Ketua INAOC, Miguel Angel Moratinos, belum berhasil sepenuhnya. “Despite progress made in building bridges of understanding through the promotion of intercultural and interfaith dialogue, manifestations of anti-Muslim hatred persisted and morphed into different forms”.
Walhasil, penetapan ‘Hari Internasional Memberantas Islamo-fobia 15 Maret’ patut disambut baik dan didukung semua pihak, tidak hanya kaum Muslim, tapi juga negara dan masyarakat lain di muka bumi. Tetapi juga jelas, Islamo-fobia tidak bakal lenyap dengan himbauan dan seruan semata. Islamo-fobia bisa berkurang—jika tidak hilang sama sekali—dengan perubahan sikap berbagai kelompok masyarakat berbeda—termasuk Muslim—dan juga pemerintah negara berbagai penjuru bumi—dan perbaikan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang mengitari.
Fobia-Islam: Menyintas dan Meningkat
Fobia-Islam atau lebih populer ditulis sebagai ‘Islamo-Phobia’ sampai kini masih terus bertahan, menyintas (survive); bahkan dalam segi tertentu meningkat secara global. Belum terlihat tanda-tanda meyakinkan bakal menyurutnya atau menghilangnya fobia-Islam itu dalam waktu dekat.
Kebertahanan atau peningkatan fobia-Islam itu terjadi tidak hanya di dunia Barat (khususnya Eropa dan Amerika Utara), tetapi juga menemukan momentum baru di India. Gejala-gejala ini sangat mencemaskan di tengah terjadinya kemerosotan kelompok garis keras dan teroristik di berbagai penjuru dunia semacam ISIS, al-Qaeda dan kelompok lain semacamnya.
Di Amerika Serikat, gejala peningkatan fobia-Islamni terlihat dengan keputusan Presiden Trump (31012/2019) menambah daftar enam negara—umumnya berpenduduk mayoritas Muslim—memasuki bumi AS. Negara-negara itu adalah Nigeria, Myanmar, Eritrea, Kyrgyztan, Sudan dan Tanzania. Sebelumnya pada 2017, Trump melarang warga tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim memasuki AS, negara-negara itu adalah: Iran, Iraq, Libya, Syria, Yaman, Somalia dan Chad.
Dalam ‘Executive Order’ Trump 2017 itu juga ada negara tidak berpenduduk Muslim seperti Korea Utara dan Venezuela yang warganya dilarang masuk AS. Dalam pelarangan terakhir, termasuk Eretria dan Myanmar. Tercakupnya negara-negara ini menjadi alasan Mahkamah Agung AS dan juga Presiden Trump bahwa pelarangan itu bukan atas dasar agama atau tegasnya karena fobia-Islam. Eksekutif Order Presiden Trump telah dibatalkan Presiden Joe Biden ketika dia memasuk Gedung Putih (20/1/2021); tetapi juga jelas langkah itu tidak serta merta menghilangkan fobia-Islam—jelas ia masih menyintas sampai sekarang.
Pada spektrum lain, fobia-Islam meningkat di India dengan adopsi Undang-undang Kewarganegaraan yang telah diamandemen pada 11 Desember 2019. Dalam UU ini, migran (beragama Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi dan Kristen) yang masuk India menjelang 31 Desember 2014 karena persekusi agama di negara asalnya dapat memperoleh kewarganegaan India. UU ini dengan jelas mengandung fobia-Islam karena Muslim (Rohingya, Ahmadiyah misalnya) dikecualikan untuk bisa mendapat kewarganegaraan.
Adopsi UU Kewarganegaraan India itu mendapat protes besar-besaran dari kaum Muslim India yang unjuk rasa di berbagai kota negara ini. Tetapi pemerintahan partai fundamentalis Hindu, BJP (Bharatiya Janata Party) di bawah pimpinan Perdana Menteri, Narendra Modi, bergeming. Pemerintahan PM Modi bergeming—tidak mengubah UU Kewarganegaraan tersebut.
Fobia-Islam di India bahkan kian meningkat dengan pelarangan pemakaian jilbab di perguruan tinggi (colleges) oleh Pengadilan di Negara Bagian Karnataka (12/3/2022)—memperkuat keputusan parlemen lokal yang juga dikuasai BJP. Mengantipasi gelombang protes, pemerintah Karnataka dengan dukungan pemerintah pusat New Delhi memberlakukan pembatasan berkumpulnya warga.
Fenomena di AS dan India memperlihatkan fobia-Islam masih merajalela secara global atau dalam hal tertentu dan di negara-negara tertentu terlihat mengalami peningkatan Oleh karena itu, kaum Muslim sendiri dan warga dunia lain yang peduli pada HAM, keadilan dan kesetaraan umat manusia terlepas dari perbedaannya perlu terus meningkatkan perjuangan melawan fobia-Islam dan berbagai bentuk fobia lain di berbagai penjuru dunia.
Memahami Akar Fobia-Islam
Dalam kaitan itulah terlihat signifikansi ceramah umum dan diskusi publik bertajuk ‘Global Islamophobia: Understanding Its Roots, Challenging Its Impact’ (2/2/2020), di mana penulis makalah ini juga menjadi salah satu narasumber. Acara yang diselenggarakan College of Islamic Studies (CIS), Hamad bin Khalifa University (HBKU), Qatar.
Ceramah umum menampilkan para pembicara: Profesor John Esposito (Director and Founder, Center for Muslim and Christian Understanding; and The Bridge Initiative Protecting Pluralism—Ending Islamophobia, Georgetown University, Washington DC); Karen Armstrong (penulis sejumlah buku tentang agama, termasuk Islam, warga London); Profesor Asifa Qureishi-Landes (ahli perbandingan hukum konsitusi Islam dan AS); dan penulis Resonansi ini. Bertindak sebagai moderator Profesor Nader Hashemi (Director, Center for Middle East Studies, University of Denver).
Memberikan pengantar tentang fobia-Islam secara global, Nader Hashemi pertama-tama menyoroti terus bertahannya fobia Islam di AS; bahkan gejalanya di negara ini terus meningkat menjelang Pemilu (Presiden) AS pada 3 November 2020. Presiden Donald Trump yang maju untuk periode kedua pemerintahnnya—tetapi kalah—kembali menggunakan berbagai isyu agama dan komunalisme, termasuk perluasan larangan masuk AS gelombang kedua bagi warga negara enam negara pada akhir 2019 lalu.
Meski banyak kalangan warga AS sendiri menentangnya, khususnya mereka yang berasal dari Partai Demokrat dan komunitas Muslim, Profesor Nader Hashemi melihat peluang Trump terpilih kembali cukup besar. Trump dan pendukungnya ‘menjual’ perkembangan ekonomi AS yang membaik atau penciptaan lapangan kerja yang meningkat. Mereka melupakan, di sisi lain juga semakin banyak warga AS yang mengalami kesulitan hidup.
Nader juga secara singkat memberi pengantar tentang gejala peningkatan fobia-Islam di berbagai penjuru dunia; di Eropa dan juga Asia, termasuk di Indonesia, khususnya menyangkut respon ormas Islam dan pemerintah dalam kasus Muslim Uyghur, Xinjiang.
Perbincangan tentang fobia-Islam atau ‘Islamo-Phobia’ dalam forum ceramah umum dan diskusi bertema ‘Global Islamophobia: Understanding Its Roots, Challenging Its Impact’ (2/2/2020) mendapat perhatian banyak kalangan. Acara yang diselenggarakan College of Islamic Studies (CIS), Hamad bin Khalifa University (HBKU), Qatar, dihadiri tidak hanya oleh banyak mahasiswa/i, tapi juga para sarjana dan peminat lainnya.
Pembicara pertama, Profesor John Esposito, gurubesar Kajian Agama, Kajian Islam dan Masalah Internasional yang juga Pendiri dan Direktur Center for Muslim-Christian Understanding; dan The Bridge Initiative Protecting Pluralism—Ending Islamo-Phobia di Universitas Georgetown, Washington D.C. Esposito dikenal luas di Barat dan Dunia Muslim sebagai ahli yang menampilkan sikap obyektif dan empati dalam menjelaskan berbagai fenomena terkait Islam dan kaum Muslimin, khususnya dalam pertemuan (encounter) dengan Barat dalam empat dasawarsa terakhir.
Esposito dianggap sementara kalangan Barat membahas fobia-Islam pada Muslim Panas 2010 dalam kaitan dengan Pemilu AS. “Anggapan ini jelas keliru karena pada 1999 saya menerbitkan edisi revisi buku saya The Islamic Threat yang memperingatkan publik tentang meningkatnya fobia-Islam. Di Eropa terjadi kebangkitan partai anti-Islam dan kita di Amerika menyatakan ‘Itu Eropa, bukan kita’. Tetapi fobia-Islam juga tengah meningkat di Amerika. Akarnya sangat dalam. Gejala fobia-Islam yang kita saksikan sekarang hanyalah puncak dari gunung es yang lebih dalam”.
Profesor Esposito yang bersama Ibrahim Kalin menyunting buku Islamo-Phobia: The Challenge of Pluralism (2011) menyatakan, fobia-Islam sudah ada sebelum terjadinya peristiwa ‘Nine Eleven’ (9/11-September/2001) di World Trade Center New York dan markas Pentagon Washington D.C. “Tetapi jelas, fobia-Islam meningkat cepat dan drastis setelah peristiwa Nine-Eleven tersebut. Apalagi ada kalangan politisi dan pendeta yang membesar-besarkan sikap anti-Islam”.
Menghadapi peningkatan fobia-Islam, Esposito menyatakan bukan tidak boleh mengritik Islam atau kaum Muslimin. Tetapi tentu saja mengritik berbeda dengan menista. Menurut Esposito, kritik dapat mendorong kaum Muslim melakukan pembaruan yang memang perlu.
“Di berbagai bagian dunia Islam ada pembaru atau reformis—di Indonesia, di Mesir dan bahkan juga di Amerika”. Penting dicatat, dalam berbagai kesempatan, Esposito menyebut Indonesia sebagai bagian Dunia Muslim yang memiliki pengalaman dalam pembaruan dan reformasi Islam.
Pembicara kedua Karen Armstrong yang dikenal luas sebagai penulis sejumlah buku tentang agama-agama, dan juga tentang Islam dan Nabi Muhammad juga melihat akar-akar fobia-Islam yang panjang. Menurut dia, fobia-Islam bukan sekadar fenomena kontemporer.
Karen Armstrong melacak akar fobia-Islam di kalangan masyarakat Eropa sejak abad pertengahan, abad 11 dan seterusnya. “Ini bermula dengan pertemuan konfrontatif antara Eropa dan Islam melalui Perang Salib yang pertama kali terjadi pada 1096 dan terus berlanjut secara selang seling sampai berakhir pada 1492. Dalam pertemuan keras itu jelas pengetahuan masyarakat Eropa tentang Islam sangat sedikit dan dangkal”.
Lebih jauh, menurut Armstrong, jika sebagian orang Eropa mengetahui Islam dan Muslim, pengetahuan mereka sangat diwarnai mispersepsi dan inakurasi—digambarkan sebagai agama kekerasan yang dianut orang-orang sesat. Mispersepsi tentang Islam dan Muslim terus bertahan melintasi masa moderen dan kontemporer—meningkat karena terkait masalah ekonomi dan politik”. “
Pembicara lain, Profesor Asifa Qureishi-Landes, gurubesar perbandingan hukum Islam dan hukum AS, Universitas Wisconsin-Madison, menyoroti tentang peningkatan legislasi di tingkat nasional dan lokal di Amerika dengan kandungan anti- atau fobia-Islam. Peningkatan legislasi semacam itu terjadi terutama pada masa pasca ‘Nine-Eleven’ berbarengan dengan kian memuncaknya pengawasan (surveillance) terhadap orang Islam dan lembaganya semacam masjid atau madrasah dan sekolah Islam.
Pembicara terakhir, penulis makalah ini menyatakan, tidak ada fobia-Islam di Indonesia. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, hampir tidak mungkin bagi pemimpin atau politisi menampilkan sikap bermusuhan, fobia atau anti-Islam secara terbuka.
Meski demikian fragmentasi dan kontestasi politik di antara kaum Muslim memunculkan sikap curiga satu sama lain di antara kelompok politik dan kelompok keagamaan Islam berbeda. Di sini pembelahan antara ‘minna’ (dari pihak kami) dengan ‘minhum’ (dari pihak mereka) sering mewarnai kontestasi dan pertarungan religio-politik di antara kelompok kaum Muslim berbeda.
Ektrimisme Islam versus Fobia-Islam
Jika fobia-Islam pada satu pihak terus menyintas, tetapi juga ada ekstrimisme Islam yang terus bertahan dan berkecenderungan meningkat, lantas apa yang harus dilakukan. Jelas, ekstrumisme Islam menjadi salah satu sumber pokok fobia-Islam di berbagai negara. Apakah kecenderungan ini dapat dikurangi jika belum dapat diatasi secara keseluruhan?
Dalam pembicaraan di berbagai forum konperensi, seminar dan simposium tentang subyek ini terungkap bahwa ekstrimisme keagamaan dan Islamo-fobia tidak berdiri sendiri. Ia banyak terkait dengan situasi domestik negara tertentu dan juga dengan dinamika politik, ekonomi dan sosial-budaya di level internasional. Karena itu memang sama sekali tidak mudah mengatasinya.
Keadaan politik, ekonomi, sosial-budaya dan agama yang kacau di banyak negara Muslim—khususnya di Dunia Arab, Asia Selatan dan Afrika—jelas menjadi faktor utama tumbuh dan menguatnya ekstrimisme agama. Konflik politik dan perang yang terjadi beberapa tahun terakhir—di tengah kegagalan democratic opening di Dunia Arab—yang beramalgamasi dengan sektarianisme agama dan kabilahisme membuat ekstrimisme mencapai tingkat yang tidak pernah ada sebelumnya. Ini terlihat dalam pertumbuhan ISIS di wilayah Syria dan Iraq.
Celakanya, ekstrimisme politik dan agama di kawasan ini menyebar ke tempat-tempat lain; tidak hanya di Dunia Muslim, tapi juga ke Eropa dan Amerika. Hasilnya, terjadi globalisasi ekstrimisme yang menciptakan masalah serius dalam keamanan dan sekuriti.
Kondisi ekonomi yang mengalami krisis atau kemerosotan di beberapa negara Eropa Selatan seperti Yunani atau Italia hanya meningkatkan Islamo-fobia yang memang sudah ada sejak lama di Eropa atau di Dunia Barat secara keseluruhan. Kedatangan jutaan pengungsi dari Libya, Syria, Afghanistan, Somalia dan seterusnya ke Eropa—kemudian juga diterima dalam jumlah terbatas di AS, Kanada dan Australia—hanya meningkatkan Islamo-fobia.
Akhirnya para pengungsi bisa diterima di sejumlah negara. Sayang terjadi kasus-kasus tidak menyenangkan. Misalnya, terjadinya kasus memalukan ketika ‘oknum-oknum’ pengungsi di awal tahun baru 2016 melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan lokal Jerman dan Prancis.
Dengan demikian, terjadi interplay, saling mempengaruhi antara berbagai faktor yang bekerja meningkatkan ekstrimisme agama dan Islamo-fobia sekaligus. Melihat interplay dan dinamika berbagai faktor internal dan internasional, sekali lagi, sulit terlihat jalan keluar dari masalah berat dan serius ini.
Karena itu upaya ‘memerangi’ ekstrimisme agama dan Islamo-fobia sama sekali tidak mudah. Sebaliknya melibatkan proses yang kompleks dan rumit yang memerlukan penanganan serius dan terencana baik pada tingkat domestik maupun internasional.
Pada tingkat pemerintahan, jelas perlu kerjasama internasional untuk menangani berbagai masalah yang menjadi sumber ekstrimisme agama dan Islamo-fobia. Berbagai negara dapat bertukar pengalaman dalam mengembangkan kehidupan yang harmonis, toleran dan hidup berdampingan secara damai.
Tetapi masalah ekstrimisme agama dan Islamo-fobia juga memerlukan peran masyarakat, khususnya masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society). Masyarakat sipil bukan hanya dapat menjadi mitra pemerintah dalam isyu terkait, sekaligus pula bisa meningkatkan perannya dalam proses de-ekstrimisasi dan de-Islamo-fobiaisasi.
Masalahnya kemudian, tidak semua negara memiliki civil society yang aktif dan dinamis untuk meresponi berbagai perkembangan tidak menguntungkan baik di negara tertentu maupun di tingkat internasional. Dalam keadaan seperti ini, sering terlihat, banyak negara yang tidak memiliki civil society harus bekerja sendiri melalui birokrasi pemerintahan
Di sini banyak negara seolah tidak berdaya mengatasi perkembangan tidak kondusif. Negara-negara ini akhirnya terjerumus menjadi ‘negara gagal’ (failed states) karena ketidakmampuan menegakkan hukum dan ketertiban guna menciptakan keharmonisan dan kedamaian.
Di tengah keadaan domestik banyak negara dan juga dunia internasional yang cenderung buram (gloomy), Indonesia berada dalam posisi sangat baik untuk berada di garis terdepan. Secara domestik, Indonesia stabil secara politik dan ekonomi. Sebagai negara sangat majemuk, Indonesia mampu bertahan dalam kesatuan dan persatuan.
Karena itulah banyak kalangan internasional, baik pemerintahan negara maupun masyarakat mengharapkan Indonesia memainkan peran lebih besar dalam menghadapi ekstrimisme dan Islamo-fobia. Indonesia sebagai negara besar bukan hanya dalam ukuran teritori, jumlah penduduk, demografi Muslim dan sekaligus demokrasi sepatutnya memikul tanggungjawab dan peran lebih besar pula.
Sebab itu, cukup kuat alasan agar pemerintah RI merevitalisasi aktivisme Indonesia dalam kancah internasional. Presiden Jokowi tetap bisa melanjutkan pembangunan infra-struktur, tapi pada saat yang sama juga membangun kembali postur Indonesia yang gagah pada tingkat internasional. Dengan begitulah Indonesia dapat menjadi negara besar sebenarnya.
Bahan untuk Webinar ‘Membincang Resolusi PBB tentang Penghapusan Islamophobia’ Dialektika, Tajdid Institute, Sabtu 19 Maret 2022