Sejak 5 April 2016 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan perluasan pelarangan operasional sepeda motor. Dari yang sebelumnya hanya di Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin, sekarang sampai ke Jalan Sudirman (Ratu Plaza). Perluasan pelarangan ini kontradiktif dengan kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menghapus kebijakan 3 in 1.
Kebijakan 3 in 1 sendiri merupakan salah satu instrumen pembatasan operasional mobil pribadi dalam wujud satu mobil minimum ditumpangi tiga penumpang. Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada 1992, menjelang pelaksanaan ASEAN GAME, tapi hanya pagi hari. Kemudian tahun 2003 menjelang operasional Transjakarta Busway Koridor 1 (Blok M – Kota) diperluas wilayah maupun jamnya.
Wilayahnya mencakup Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, Jalan S. Parman, hingga Jalan Gatot Subroto. Sedangkan waktunya terbagi menjadi dua, yaitu pagi (07.00-10.00) dan sore (16.00-19.00). Mulai 1 April 2016 kebijakan 3 in 1 tersebut dihapuskan.
Di satu pihak, kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menghapuskan 3 in 1—dalam bahasa Pemprov DKI Jakarta uji coba penghapusan—di sisi lain memperluas larangan penggunaan sepeda motor ini jelas kontradiktif. Ini bentuk perlakuan yang diskriminatif terhadap pengguna sepeda motor. Sebab, untuk pengguna mobil pribadi justru dibebaskan tanpa adanya pembatasan penggunaan mobil pribadi, tapi untuk sepeda motor diperluas pelarangan penggunaannya.
Konsekuensi di lapangan adalah gerak pengguna mobil semakin leluasa. Sedangkan pengguna motor semakin terjepit dan sulit, karena harus mencari jalan alternatif yang lebih jauh.
Perlu Pembatasan
Secara konseptual, pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi itu betul dan dilakukan oleh semua kota di dunia agar kinerja lalu lintas baik. Karena hanya dengan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi itulah kinerja lalu lintas yang baik dapat tercapai. Tanpa adanya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, sulit dibayangkan kondisi jalan-jalan di Indonesia, mengingat tidak berimbangnya pertumbuhan jalan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor.
Di wilayah DKI Jakarta, misalnya, pertumbuhan kendaraan bermotor berkisar 9-11% setahun, sementara pertumbuhan jalan hanya 0,02% saja. Ibaratnya, yang satu mengikuti deret ukur, sedangkan satunya lagi mengikuti deret hitung. Ini jelas tidak imbang. Melarang orang membeli kendaraan pribadi dapat digugat karena melanggar hak asasi manusia.
Demikian pula meminta industri otomotif untuk membatasi produksinya sangat tidak mungkin. Sebab, mereka justru berlomba-lomba untuk dapat memproduksi sebanyak mungkin, dengan alasan demi penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Jadi, satu-satunya yang rasional dilakukan adalah membatasi penggunaannya. Orang boleh saja membeli mobil atau motor sebanyak-banyaknya, tapi penggunaannya dibatasi. Yang penting, pembatasan tersebut harus adil, tidak boleh diskriminatif. Jika penggunaan sepeda motor dibatasi, semestinya penggunaan mobil juga dibatasi.
Kebijakan Gubernur Suryadi Soedirdja yang menerapkan pembatasan penggunaan mobil pribadi melalui sistem 3 in 1 dan kemudian diperkuat oleh Gubernur Sutiyoso itu sudah tepat. Yang dibatasi terlebih dulu penggunaan mobil pribadi karena mobil memakan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan sepeda motor. Mobil memerlukan ruang gerak minimum 105 meter untuk bergerak, sedangkan motor dua meter saja sudah bisa bermanuver.
Sungguh ironis bila Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) justru membebaskan mobil bergerak leluasa tanpa batasan, sementara motor dibatasi. Semestinya kebijakan pembatasan penggunaan mobil pribadi yang sudah dirintis oleh dua pendahulunya itu diperkuat dengan menerapkan sistem pembatasan yang lebih kuat, seperti misalnya jalan berbayar.
Prinsipnya sama dengan 3 in 1. Bedanya hanya 3 in 1 memakai kuota jumlah penumpang minimum dalam satu mobil. Sedangkan jalan berbayar (bisa dalam wujud electronic road pricing/ERP) dengan sistem membayar pada setiap melewati jalur yang diterapkan kebijakan tersebut.
Semestinya Gubernur Ahok tidak menghapuskan kebijakan 3 in 1 itu terlebih dulu, sebelum menerapkan ERP. Sebab, kalau ERP belum diterapkan tapi 3 in 1 sudah dihapuskan, maka akan kesulitan sosialisasi pada saat akan menerapkan ERP. Tapi bila penerapan ERP itu dilakukan pada saat kebijakan 3 in 1 masih ada, maka sosialisasinya lebih mudah karena cukup sosialisasi sistem pembayaran saja, jalurnya masih tetap sama. Tinggal mengumumkan yang dulu diterapkan 3 in 1, sekarang diterapkan ERP.
Bila gerak mobil pribadi ini sudah dibatasi dengan ERP, dengan pajak progresif, dan tarif parkir yang mahal, barulah gerak sepeda motor boleh dibatasi. Tapi tatkala gerak mobil pribadi justru dibuat leluasa (menghapus 3 in 1 dan dibuatkan flyover baru di Semanggi), rasanya ironis dan kontradiktif bila gerak sepeda motor semakin dibatasi. Kebijakan Gubernur Ahok ini betul-betul cermin dari kebijakan yang bias orang kaya, Jakarta hanya untuk orang kaya saja.
Selain prasyarat berupa pembatasan mobil pribadi, pembatasan gerak sepeda motor itu dapat diterima oleh akal bila ada prasyarat lain. Prasyarat itu berupa layanan transportasi umum yang sudah bagus, seperti waktu tunggu di halte kurang dari lima menit, kondisi bus yang nyaman, aman, selamat, tepat waktu, dan harga terjangkau sehingga secara komulatif naik angkutan umum itu lebih murah atau paling tidak sama dengan naik sepeda motor.
Jangan lupa pula, tarif parkir di terminal atau halte ujung angkutan umum murah. Agar pengendara sepeda motor dapat menitipkan sepeda motornya di terminal/halte ujung untuk selanjutnya pindah ke angkutan umum.
Ada tiga alasan mendasar orang memilih sepeda motor sebagai moda angkutan sehari-hari: 1). Lebih murah dibandingkan naik angkutan umum; 2). Bisa dari pintu ke pintu; 3). Bisa zigzag menembus kemacetan. Nah, untuk memindahkan pengguna sepeda motor beralih ke angkutan umum, ketiga alasan tersebut perlu dipenuhi oleh angkutan umum. Tanpa menyediakan angkutan umum yang baik, tepat waktu, dan terjangkau tapi langsung membatasi gerak sepeda motor, jelas pelanggaran terhadap hak mobilitas warga.