Do together. Act human. Do human.
Forest Whitaker
“Satu Manusia, Tanggung Jawab Bersama” adalah tajuk World Humanitarian Summit yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23-24 Mei 2016 di Istanbul, Turki. Harapan besar untuk semakin membaiknya dunia dari berbagai permasalahan kemanusiaan digantungkan dalam pertemuan akbar yang melibatkan lebih dari 8.000 peserta.
Sejak awal, tidak seperti umumnya sebuah Konferensi Tingkat Tinggi, pertemuan ini dirancang dengan menyertakan seluruh pemangku kepentingan, bukan perwakilan resmi negara-negara anggota saja. Selama kurun waktu 3 tahun lebih semua pihak diajak berembuk untuk berupaya menghasilkan komitmen-komitmen yang bisa memperbaiki dunia. Perwakilan negara-negara anggota, masyarakat sipil, akademia, sektor swasta, kelompok rentan, dan perwakilan agama-agama memberikan berbagai masukkan agar pada puncaknya di pertemuan dunia ini bisa dicapai kesepakatan-kesepakatan aktif bagi perubahan perbaikan masalah-masalah kemanusiaan.
Berbagai isu kemanusiaan menjadi subjek pembahasan yang meliputi hampir semua tantangan yang dihadapi manusia pada milenium ketiga ini. Mulai dari konfik yang menghasilkan pengungsian, bahaya perubahan iklim, dampak bencana, perdagangan manusia sampai berbagai isu-isu spesifik dan lokal yang menghancurkan berbagai aspek kemanusiaan dijadikan bahan diskusi dalam berbagai acara yang ada dalam pertemuan ini.
Persoalan-persoalan kemanusiaan ini, menurut PBB, menjadikan lebih dari 125 juta penduduk dunia memerlukan bantuan kemanusiaan yang segera.
Tantangan serius dalam usaha memberikan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin untuk menyelamatkan nyawa manusia bukan saja disebabkan oleh semakin membesarnya persoalan kemanusiaan yang terjadi, tetapi juga karena semakin minimnya komitmen bantuan dari berbagai pihak untuk menolong sesama manusia yang menderita.
Meningkatnya krisis kemanusiaan membuat biaya yang diperlukan meningkat dari sekitar US$3,7 miliar pada tahun 2004 menjadi US$20 miliar pada tahun 2015. Ironisnya dukungan untuk memenuhi permintaan pembiayaan itu semakin menurun dari tahun ke tahun.
Menurunnya komitmen ini dikemukakan bukan saja oleh deputi Sekretaris Jenderal PBB dalam upaya meminta kesediaan para pemimpin bisnis dunia untuk mengisi pembiayaan tersebut, tapi juga disuarakan oleh berbagai pihak yang hadir. Angela Merkel, pemimpin Jerman yang menjadi satu-satunya kepala negara G7 yang hadir, menyatakan, “Sering kali janji donasi dibuat, tetapi dana yang diberikan tidak menyentuh tempat-tempat yang sangat memerlukan.”
Bukti nyata dari tantangan ini adalah janji US$6 miliar yang dibuat khusus untuk penanganan pengungsi Siria yang diikrarkan oleh berbagai pihak di London pada Februari 2016, realisasinya baru mencapai US$1,6 miliar sampai saat ini.
Oleh karena itu, pertemuan kemanusiaan global ini berupaya kembali menyegarkan komitmen-komitmen yang sudah dilakukan sebelumnya. Isu terbesar dalam menanggapi berbagi isu kemanusiaan adalah menurunnya komitmen politik negara-negara anggota PBB. Keprihatinan ini dinyatakan Ban Ki Moon dalam pidato pembukaan yang secara jelas mengatakan, “Investasi dalam hal kemanusiaan menjadi semakin rendah dalam upaya-upaya global.”
Ia mengatakan akibatnya adalah, “Masa depan kita bersama sedang rentan untuk dihancurkan dalam detik-detik ke depan.”
Pertemuan ambisius dan akbar ini memang dianggap oleh berbagai pihak akan “gagal” karena rendahnya komitmen politik negara-negara anggota yang seharusnya menjadi yang terdepan dalam memberikan janji-janji konkret pembiayaan masalah kemanusiaan. Sebuah organisasi masyarakat sipil mengatakan bahwa ini adalah pertemuan yang dibaca sebagai “Daun pohon ara dengan kemauan baik”: bisa menyurakan kemauan baik, namun tak bisa melakukan aksi untuk mengikat komitmen dan mencarikan jalan keluar bagi masalah kemanusiaan.
Dilihat dari komitmen politik global, bisa saja pertemuan ini dianggap gagal untuk mengikat komitmen. Namun ada sisi positif yang justru terjadi membuat pertemuan ini menjadi spesial, yaitu upaya melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan isu kemanusiaan milik bersama. Ini sebuah cara baru yang patut diapresiasi.
Untuk kali pertama, semua pihak diajak berembuk dengan semangat No One Left Behind. Pendekatan inklusif yang melibatkan semua dan dalam berbagai lokasi yang berbeda selama bertahun-tahun menjadikan saripati dokumen final pernyataan komitmen lebih membuka kesempatan bagi semua pihak untuk mengembangkan rasa kepemilikan.
Kehadiran para pemain-pemain non-tradisional dalam isu kemanusiaan menjadikan indahnya kebersamaan untuk niat baik pemecahan masalah kemanusian. Partisipasi industriawan dunia dan pemuka bisnis untuk memberikan komitmen pembiayaan dan sumber daya menjadikan pertemuan ini sebagai model baru yang mendorong keterlibatan semua untuk semua masalah kemanusiaan.
Sumber daya yang dimiliki oleh pemain lintas-negara dalam bisnis multinasional, nasional maupun lokal merupakan sebuah harapan baru yang bukan hanya berfungsi sebagai katup pengaman, tetapi bisa terus berkembang bagi hadirnya keberlanjutan dunia dalam isu-isu kemanusiaan.
Hal yang menarik juga adalah kehadiran para pemimpin agama-agama dunia dan lembaga-lembaga keagamaan yang melengkapi porsi pemain non-tradisional. Ketika agama-agama sering dituding sebagai penyebab masalah kemanusiaan, maka suara yang mewakili agama-agama sedunia untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan adalah sebuah pendekatan dan pengakuan baru lembaga-lembaga dunia yang cenderung sekuler dan mengeksklusi agama-agama dari berbagai pergulatan isu-isu global.
Agama-agama sebagai bagian dari solusi bukan saja memiliki pengikut yang besar, tapi juga mampu memberikan komitmen sumber daya bagi penghindaran risiko kebangkrutan pengadaan sumber daya bagi berbagai masalah kemanusiaan.
Sebagai sebuah pertemuan global yang dilaksanakan PBB, Indonesia seharusnya juga bisa menjadi pemain aktif untuk terus mendorong berbagai perbaikan masalah-masalah kemanusiaan, baik global maupun nasional. Kehadiran Indonesia dalam perhelatan akbar ini diwarnai dengan partisipasi berbagai pemangku kepentingan yang disasar oleh acara ini. Karenanya, Indonesia seharusnya bisa mengaplikasikan komitmen-komitmen yang ada dalam tindakan nyata dalam proses pembangunan bangsa, baik secara nasional maupun global yang sangat sesuai dengan pembukaan UUD 1945.
Kemanusiaan harus ditinggikan baik di dalam maupun di luar negeri dan di mana pun terjadi masalah-masalah kemanusiaan. Pemerintah sebagai penyelenggara negara harus bisa menjadikan isu kemanusiaan sebagai komitmen pembangunan manusia Indonesia dan sekaligus sebagai agenda diplomasi antar-negara yang santun dan bermartabat.
Dalam konteks ini, pemerintah sejatinya mengajak para pemangku kepentingan yang lain, masyarakat sipil, pemimpin agama, sektor swasta, dan semua pihak lain untuk bisa menjalankan komitmen-komitmen kunci yang telah disepakati dalam konferensi kemanusiaan ini. Keindonesiaan yang manusiawi adalah cita-cita bangsa yang bukan saja relevan dalam pembangunan bangsa, tetapi juga efektif untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bangsa yang bermartabat dihormati oleh semua umat manusa lainnya.
“Kita di sini sebagai satu kemanusiaan, dan kita di sini untuk menggerakkan masa depan kita. Mari kita beraksi dan janganlah seorang pun, laki-laki, perempuan dan anak-anak, ditinggalkan dalam proses pembangunan dunia yang berkelanjutan,” kata Ban Ki-moon.
Sebuah cita-cita indah yang semakin keropos dan hancur di antara kita, ketika yang sebaliknya dari nilai-nilai kemanusiaan terjadi di kampung kita. Namun, Indonesia masih bisa, dan mampu, melakukan hal itu ketika semua pihak, tanpa terkecuali, terpanggil menyegarkan komitmen kita untuk memartabatkan manusia dan kemanusiaan.