Tahun Baru 2016 ditandai dengan memanasnya hubungan dua negara antara Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran. Pertama, apakah ini konflik Sunni dan Syiah? Kedua, apakah konflik dua negara berpengaruh di Timur Tengah ini akan berdampak buruk bagi Indonesia?
Hubungan kedua negara sejatinya telah lama berseteru. Teheran dan Riyadh selama 4 tahun terakhir terlibat perang proxy di Suriah. Arab Saudi mendukung pemberontak Suriah menggulingkan Presiden Suriah Bashar Al Assad, yang tak lain adalah sekutu Iran.
Banyak pengamat menilai seandainya Iran tidak turun tangan di Suriah, rezim Bashar telah bernasib seperti Moammar Khadafi di Libya. Iran membela atas nama mendukung pemerintahan Suriah yang sah.
Teheran dan Riyadh kembali berhadapan menyusul gejolak di Yaman sejak 8 bulan silam. Iran menentang keras langkah Arab Saudi yang menggalang koalisi negara Arab menginvasi Yaman demi mengakhiri kudeta pemerintahan Yaman yang dilakukan militan Houthi.
Sebagaimana Iran di Suriah, Arab Saudi mengerahkan militernya di Yaman atas nama membela pemerintahan yang sah. Arab Saudi menuding gerakan Houthi adalah boneka Iran.
Selain perang proxy di Suriah dan Yaman yang merusak hubungan politik Arab Saudi dan Iran di kawasan Timur Tengah, tragedi musim haji tahun 2015 di jalur Mina yang menewaskan banyak jemaah haji dari Iran membuat hubungan Teheran dan Riyadh semakin runyam. Iran menuding Arab Saudi sebagai tuan rumah yang lalai melindungi peziarah haji dan menuntut Arab Saudi bertanggung jawab.
Dalam pidatonya di depan sidang Majelis Umum PBB, Presiden Iran Hassan Rouhani menuntut digelar penyelidikan atas tragedi Mina. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khameini menilai Arab Saudi gagal memenuhi tugasnya dan menuntut investigasi yang melibatkan Iran dan negara muslim lainnya. Iran negara yang paling vokal mengecam pengelolaan haji oleh Arab Saudi yang dilanda musibah beruntun dari runtuhnya alat berat (crane) proyek Masjidil Haram dan puncaknya tragedi Mina.
Arab Saudi balik menyerang dengan menuding Iran telah menjadikan tragedi Mina sebagai komoditas politik dan menolak keterlibatan negara asing dalam investigasi tragedi Mina seperti diusulkan Iran. Akibatnya, antara Iran dan Saudi Arabia berselisih mengenai jumlah pasti korban tewas tragedi Mina. Iran sendiri melaporkan 464 jemaahnya tewas dalam tragedi tersebut. Sementara Arab Saudi membantah setiap berita dari mana pun mengenai jumlah korban tragedi Mina bila berbeda dengan data yang dirilis otoritas Arab Saudi.
Kontroversi hukuman mati Syekh Nimr Al Nimr, ulama Syiah warga negara Arab Saudi oleh Kerajaan, memicu protes keras dari Iran dan kalangan Syiah internasional. Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran dan kantor Konsulat Arab Saudi di Kota Mashhad, Iran, dibakar demonstran. Diplomat Arab Saudi dievakuasi ke Uni Emirat Arab.
Insiden ini membuat Arab Saudi murka dan gelap mata memutus hubungan diplomatik dengan Iran pada 3 Januari 2016, meski pemerintah Iran telah mengaku menyesal dan berjanji insiden serupa tidak akan terjadi lagi. Pernyataan itu tertuang dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Dewan Keamanan PBB.
Syekh Nimr Al Nimr dieksekusi mati bersama 47 orang lainnya atas kasus terorisme, kebanyakan dari mereka diduga terlibat ISIS dan Al Qaeda. Syekh Nimr Al Nimr semasa hidupnya pernah mengenyam pendidikan di Kota Qom, Iran, selama 10 tahun dan melanjutkan pendidikannya di Suriah. Syekh Nimr berasal dari Qatif, sebuah provinsi di Arab Saudi yang dihuni mayoritas muslim Syiah. Dia adalah figur sentral yang vokal menuntut kesetaraan dan keadilan atas kesenjangan yang dialami muslim Syiah yang hidup di bawah rezim Arab Saudi.
Konflik Arab Saudi dan Iran selama ini selalu dikaitkan dengan sentimen sektarian Sunni-Syiah. Baik kalangan Sunni maupun Syiah tak sedikit kadang termakan kesimpulan sederhana semacam ini. Ironisnya, bahkan sentimen sektarian Sunni-Syiah mengalami tren menguat beberapa tahun belakangan sejak perang saudara meletus di Suriah. Ulama Suriah telah mewanti-wanti apa yang terjadi di Suriah bukanlah konflik Sunni-Syiah. Namun tak dipungkiri ada pihak-pihak yang berusaha menunggangi konflik di Suriah dan menyeret konflik ini menjadi konflik sektarian
Sunni-Syiah.
Dukungan Iran terhadap pemerintahan Suriah, sebagaimana dukungan Saudi Arabia terhadap pemerintah Yaman, sama-sama atas dasar membela pemerintahan yang sah. Apa yang terjadi di Yaman adalah konflik perebutan kekuasaan, dukungan Iran kepada Houthi sebagaimana dukungannya kepada gerakan HAMAS di Gaza, Palestina, selama ini.
Eksekusi mati terhadap Syekh Nimr oleh Kerajaan Saudi memang patut dikecam dan ditentang. Namun pembakaran atas Kedutaan Besar dan Konsulat Arab Saudi oleh demonstran di Iran juga tidak bisa dibenarkan karena jelas melanggar hukum internasional. Pembakaran atas Kedutaan Besar ini juga bukti pemerintah Iran lalai memberi rasa aman kepada perwakilan negara asing, sebagaimana Arab Saudi dalam tragedi Mina yang gagal melindungi peziarah haji.
Pemerintah Indonesia sudah semestinya mengantisipasi sejak dini dampak dari memburuknya hubungan Arab Saudi dan Iran. Seperti yang sudah-sudah, konfliknya selalu ada pihak yang menunggangi dengan isu konflik sektarian Sunni-Syiah. Belakangan jajaran pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Selasa (5/1/2016). Mereka meminta Pemerintah Indonesia berperan aktif meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran.
Ikhtiar MUI tersebut layak dipuji. Akan tetapi sebaiknya Pemerintah Indonesia juga sebaliknya meminta MUI untuk berperan aktif menjaga keharmonisan dan kerukunan umat di Indonesia. Misalnya menertibkan oknum di tubuh MUI pusat dan daerah dan fatwanya yang kontroversial yang seringkali kerap dijadikan dalil sebagian kalangan mengobarkan sentimen sektarian Sunni-Syiah. Apalagi fatwa MUI dampaknya terkadang bisa lebih berbahaya dibanding efek konflik Iran dan Saudi di Indonesia.