Minggu, Oktober 13, 2024

Melawan Jebakan Indoktrinasi

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
wahid-institute
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid dan Kepala Staf Presiden RI Teten Masduki pada peluncuran hasil survei nasional tentang “Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia” di Bogor, Jawa Barat, Senin (1/8). ANTARA FOTO/Fendi.

Akhir-akhir ini banyak kelompok beraliran radikal yang kerap menyebarkan doktrin keyakinannya ke berbagai kalangan. Atas nama keyakinan yang paling dibenarkan oleh dirinya, setiap doktrin yang disampaikan menyelipkan janji-janji surgawi maupun kebahagiaan yang paripurna.

Berbekal referensi keagamaan maupun refrensi lainnya serta pendapat para tokoh yang segaris dengan cara pandang kelompoknya, setiap kata dan kalimat yang disampaikan disublimasi sebagai pedoman hidup yang perlu disampaikan kepada yang lain secara berantai (multi level indoctrination).

Bagi seseorang yang sedang mengalami kerentanan sosial maupun ekonomi dan keterasingan hidup yang sudah jenuh dengan berbagai posisi hidupnya, dan karenanya memerlukan sandaran “spiritualitas”, bisa jadi akan serta merta menerima sepenuh hati mengamini apa pun menjadi perintah sang tokoh. Apalagi dalam proses indoktrinasinya, dia menyelipkan berbagai harapan baru yang bisa mengantarkan diri seseorang pada kehidupan yang lebih sempurna.

Implikasinya, berbagai doktrin yang disebarkan oleh orang-orang yang telanjur kepincut dengan janji-janji manis secara perlahan akan membentuk jaringan komunikasi laten yang mampu menghimpun massa melalui proses indoktrinasi. Hal ini tampak pada beberapa orang yang sudah bergabung dengan kelompok berhaluan radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan sekutunya.

Mereka rela mengorbankan jiwa raganya, sanak keluarganya, bahkan kehormatannya sebagai “mujahid artifisial” atau “petualang kebenaran”. Ini terjadi karena kuatnya pengaruh doktrinal yang menebarkan janji-janji surgawi dan harapan baru bagi siapa pun yang rela berjuang dan berkorban dengan corak kehidupan yang mereka anut.

Di samping itu, setiap kelompok yang beraliran radikal tersebut mengkonstruksi berbagai pembelaan terhadap rekan sejawatnya yang rajin mengajak banyak orang ke jalan kehidupan yang dianggap paling menjanjikan, meski sebenarnya bertolak belakang dengan nilai dasar kemanusiaan. Bahkan tak jarang dalam pembelaannya menghadirkan “atas nama Tuhan” untuk melegitimasi berbagai tindakannya.

Dalam kaitan ini, pembenaran tindakan penyimpangan ajaran yang sejatinya menjunjung tinggi nilai dasar kemanusiaan dengan cara ekstrim maupun tipu muslihat, tentu bisa menjadi bumerang bagi masyarakat pada umumnya. Apalagi dalam laku organisasinya mengabsahkan ajakan setiap orang, meski tak berizin dari sanak keluarganya, maupun pengorbanan diri dengan cara melampaui ambang batas kewajaran lantaran sebuah opium doktrinal yang sudah dijiwai.

Cara penyebaran ajaran semacam ini tentu perlu dicermati dan direspons sebagai salah satu bentuk “penyimpangan” indoktrinasi yang harus diperbaiki sekaligus diantisipasi. Hal ini perlu dilakukan agar kehidupan masyarakat tidak selalu dihantui oleh berbagai modus ajakan dan jebakan indoktrinasi yang dapat mengganggu kenyamanan hidup bermasyarakat dan berkeluarga.

Bahkan disadari atau tidak, cara penyebaran ajaran semacam itu akan membentuk arus laten yang akan menyulut timbulnya konflik sosio-kultural dan bahkan persitegangan struktural pada masing-masing level kehidupan masyarakat. Masyarakat akan saling curiga antara satu dengan yang lain, meski pola relasinya berada dalam wilayah keluarga. Setiap orang akan mudah mengabaikan asas kemanusiaan yang bersifat zoon politicon hanya karena sebuah ajaran yang diterima dan dianggap paliing benar.

Di sinilah nalar stimulasi ajaran yang kerap disebarkan oleh berbagai kelompok radikal sebagaimana marak terjadi akhir-akhir. Dan, kondisi kerentanan ini tentu tidak boleh dibiarkan terjadi secara berkelanjutan di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia yang sebenarnya lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang terbuka dan moderat. Maka, simpul penggerak masyarakat seperti kaum agamawan harus melakukan peran pencerahan kepada masyarakat agar tidak mudah distimulasi oleh paham-paham keagamaan, baik yang bercorak sempalan maupun radikal.

Di tengah-tengah suasana psiko-sosial keagamaan yang sangat rentan dan naif ini, tentu dibutuhkan kehadiran agamawan yang menyampaikan ajaran keberagamaan yang santun, bersikap ramah, menghargai perbedaan, berpandangan moderat, toleran, dan inklusif. Agamawan harus memiliki pengetahuan yang luas, pendekatan keilmuan yang integratif dan interkonektif agar bisa mempertautkan ajaran keagamaan dengan problem realitas yang berimbang, serta wawasan kebangsaan dan kewarganegaraan yang komprehensif.

Agamawan yang banyak berkiprah di tengah-tengah kultur masyarakat yang heterogen harus bisa menyeleksi dan memverifikasi berbagai ajaran yang tepat dengan situasi dan kondisi di lapangan. Agar apa yang disampaikan maupun diterima masyarakat tidak menimbulkan kerancuan pandangan yang bertolak belakang dengan norma sosial yang ada.

Hal semacam ini perlu dilakukan supaya masyarakat tidak terprovokasi oleh suatu sebab yang—karena ada dalil al-Qur’an, riwayat hadis, maupun pandangan ulama—bisa berdampak kepada terjadinya disharmoni dalam kehidupan mereka.

Agamawan harus memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa setiap ajaran agama sesungguhnya berfungsi kemaslahatan bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Setiap ajaran sejatinya menjadi code of conduct yang bisa membuka jalan keluar yang baik, dan setiap ajaran sesungguhnya menjadi instrumen pencerahan bagi cara berperilaku baik antar sesama dan dengan lain, cara menyikapi perbedaan dengan proporsional, dan cara mengatasi masalah yang arif yang timbul di tengah kehidupan sosial yang heterogen.

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.