Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi (ICT) yang sangat pesat akhirnya meningkatkan mobilitas umat manusia pada tingkat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, terutama dengan penemuan GPS. Definisi GPS (Global Positioning System) sendiri adalah sistem navigasi global berbasis satelit yang berfungsi menentukan koordinat lokasi dengan bantuan sinkronisasi sinyal ke satelit.
Tulisan ini tidak akan terlalu banyak membahas aspek teknis maupun trouble shooting game berbasis GPS yang sudah jamak diulas, namun lebih fokus pada implikasi legal, ekonomi, dan sosialnya.
Banyak aplikasi berbasis GPS yang sangat membantu produktivitas kita, seperti transportasi daring (online), Google Maps, dan Jakarta Smart City, yang digunakan Pemerintah Provinsi DKI, dan lain sebagainya. Selain aplikasi berbasis produktivitas yang disebut sebelumnya, GPS juga sekarang sangat umum digunakan pada media sosial seperti Facebook dan Twitter, juga pada game seperti Pokemon Go.
Menurut Huffingtonpost, aplikasi apa pun yang menunjukkan jarak relatif di antara para penggunanya akan dapat digunakan untuk menentukan posisi kita. Selama kemampuan geo-location pada gadget tetap diaktifkan, maka tools untuk penemuan lokasi (location discovery) tetap bisa difungsikan menemukan sang pengguna. Dari segi ini banyak potensi celah keamanan yang diduga bisa terjadi, terutama sejak game Pokemon Go menjadi populer.
Menanggapi “demam” Pokemon Go akhir-akhir ini, pemerintah tidak tinggal diam. Surat Edaran Menteri PANRB No: B/2555/M.PANRB/07/2016 tanggal 20 Juli 2016, melarang PNS/ASN untuk bermain aplikasi berbasis GPS pada gadget masing-masing. Edaran ini sudah ditindaklanjuti dengan pelarangan. Bahkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso sudah mengumumkan akan mengawasi game Pokemon Go.
Pokemon Go adalah game berbasis GPS yang menjadi kontroversi karena banyak membongkar lokasi situs strategis seperti instalasi militer dan istana negara, dan hal ini membuat pemerintah kita “gerah”. Banyak game Pokemon Go yang beredar adalah aplikasi bajakan, karenanya keamanannya tentu tidak terjamin.
Pemerintah atau penegak hukum tentu tidak mungkin bekerja sama dengan pembajak untuk menjamin keamanan aplikasi tersebut. Justru mereka harus mengusutnya. Pokemon Go versi resmi baru ada di Amerika Serikat dan Eropa, dan belum ditentukan kapan akan dirilis secara resmi di Asia, terutama Indonesia.
Tentu aspek legalitas dari game ini merupakan indikasi kuat dari penegak hukum untuk melakukan pengawasan lebih lanjut, terutama dalam konteks cyber crime.
Sebenarnya, kebocoran informasi dari Pokemon Go bisa dijamin tidak terjadi jika menggunakan fitur advanced location obfuscation, supaya menyembunyikan lokasi mereka sesungguhnya dengan mengurangi kualitas informasi lokasi yang diberikan. Contohnya dengan metode invisible cloacking di mana GPS tak memberikan koordinat pada lokasi tertentu.
Namun, jika game bajakan yang digunakan, hal ini tidak ada manfaatnya karena semua sudah di-crack. Pengembang aplikasi sudah pasti “cuci tangan”, bahkan bisa mengambil langkah hukum terhadap cracker aplikasi bajakan.
Menurut survei yang dirilis statista.com, Indonesia adalah negara nomor 1 untuk penggunaan software bajakan, di atas Tiongkok dan Rusia. Meski metode sampling dan pendekatan yang digunakan bisa diperdebatkan, survei tersebut merupakan lampu merah terhadap penghargaan hak cipta para pengembang software. Menggunakan aplikasi bajakan tak ada jaminan akan mendapatkan keamanan, apalagi jika aplikasi crack tersebut berbasis GPS.
Memang kita tak perlu paranoid kalau game berbasis GPS yang digunakan adalah legal, karena sangat mudah diawasi oleh aparat. Namun, jika ini illegal, mereka punya alasan kuat untuk khawatir dan memberi peringatan kepada publik. Hanya saja, kampanye penanggulangan software bajakan dari dulu tak pernah memberikan hasil signifikan karena publik belum menyadari apa arti pentingnya penghargaan terhadap hak cipta.
Akhirnya memang diperlukan “leviathan” sang Thomas Hobbes yang menjamin penegakan hukum dan inisiatif politik secara tegas untuk hal ini. Sejatinya di zaman Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman pernah ada gerakan “Indonesia Go Open Source” untuk menggunakan aplikasi legal berbasis Open Source yang gratis, sehingga tak perlu membeli aplikasi komersial yang mahal.
Ini salah satu strategi pemerintah untuk menghadapi para software counterfeiter. Namun, karena tak ada political will dari semua pemangku kepentingan di pemerintahan, gerakan Open Source “menguap” dari wacana publik. Alhasil, pembajakan software tetap merajalela.
Sejauh ini sudah banyak masalah sosial yang terjadi karena penyalahgunaan Pokemon Go. Markas Kodim di Cirebon harus mengamankan seorang turis dari Prancis karena bermain Pokemon dengan menerobos pengamanan instalasi militer. Sebuah rumah di Inggris terpaksa harus merelakan kehilangan privasi penghuninya karena ditandai sebagai pokemon gym oleh Pokemon Go.
Di Amerika Serikat, bahkan seorang pemain Pokemon Go menemukan mayat. Bahkan ada kasus penyalahgunaan dengan mengumpan pemain untuk dirampok. Hal ini sangat memprihatinkan, karena itu user diharapkan kritis dan cerdas dalam menggunakan game tersebut.
Sebagai game berbasis augmented reality, Pokemon Go memang bisa “mengaburkan” garis demarkasi antara dunia nyata dan maya. Menurut filsuf Jean Boudrillard, “pengaburan” garis demarkasi antara realita dan fiksi tersebut adalah “hiperealitas”, di mana akhirnya manusia mengalami kebingungan eksistensial akan dunianya sendiri. Mengutip Sigmund Freud, hiperealitas akhirnya hanya menghasilkan neurosa atau penyakit jiwa.
Tak sedikit pakar psikologi yang disibukkan memberikan terapi kepada pecandu game, dan kasus yang paling ekstrim harus diarahkan ke psikiater untuk diberikan obat. Kita masih ingat dengan sangat jelas bahwa adiksi terhadap game menyebabkan seorang gamer Korea Selatan kehilangan nyawanya di warnet karena bermain game tanpa henti.
Game pada dasarnya adalah sesuatu yang baik, terutama bagi pertumbuhan ekonomi kreatif dunia. Bahkan pengembangan ekonomi kreatif adalah salah satu program Presiden Jokowi. Para pemangku kepentingan industri game, seperti Niantic, Nintendo, atau lainnya memperoleh laba sangat besar setiap tahun dari penjualan game. Bahkan gamers sudah memiliki asosiasi profesi, dan olimpiade game dunia pernah diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan.
Secara komputasi, mengembangkan game adalah sesuatu yang sangat menantang, namun selalu memungkinkan untuk dilakukan karena engine-nya sudah tersedia. Akan tetapi, sama seperti produk teknologi lainnya, game akan menjadi masalah jika disalahgunakan.
Kita tidak perlu menjadi “anti-game”. Kita justru harus mendukung lahirnya industri game berbasis GPS sebanyak mungkin demi pertumbuhan ekonomi kreatif kita. Tetapi, kita harus “anti” terhadap segala bentuk penyalahgunaan game. Terbukti penyalahgunaan tersebut harus ditebus dengan biaya besar untuk konsultasi ke psikolog dan psikiater guna mengatasi neurosa mereka.
Di sisi lain, pembajakan itu sendiri sudah merugikan kita. Jika software bajakan merajalela, software developer akan malas mengembangkan aplikasi, karena investasi mereka akan “dihanguskan” para counterfeiter.
Bermain-main adalah kodrat manusia, sebagai homo ludens. Kita selalu membutuhkan katarsis untuk melepaskan stress akibat tekanan studi atau bekerja. Hanya saja, katarsis tersebut harus pada dosis yang tepat, bukan dengan bermain berlebihan, dan bukan dengan menggunakan software bajakan.
Meminjam istilah Nietzche, kita harus melakukan “penjungkirbalikkan nilai-nilai” untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya game adalah sesuatu yang sangat baik dan membuat manusia bisa mencurahkan kreativitasnya.