“Pokemon Go ini game anak-anak, tapi kok yang heboh justru om-om?” Demikian sebuah pertanyaan menarik muncul di linimasa Twitter belum lama ini. Betul, permainan daring gres tersebut sangat eksis di media sosial, sebab penggunanya kerap berbagi cerita di sana.
Bahkan Pokemon Go sudah menempati trending topic Twitter Indonesia selama beberapa hari ini, dengan kicauan hingga hitungan jutaan. Akibat meledaknya demam Pokemon Go, banyak bisnis retail yang memanfaatkannya sebagai ajang promosi.
Intinya, permainan daring besutan Niantic Inc. ini sudah sukses berat menyita perhatian netizen segala usia. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Dewasa? Kembali ke kalimat pembuka tulisan ini, kenapa banyak om-om alias orang dewasa ikut menyukainya? Hal serupa berlaku pada Candy Crush, Clash of Clans, Flappy Bird, dan games populer lain. Tak ada batasan usia di sana.
Homo Ludens, alias Playing Man, ditulis sejarawan Belanda, Johan Huizinga, pada 1938. Di situ dibahas tentang bermain sebagai salah satu elemen budaya manusia. Bermain, yang dianggap mayoritas orang merupakan aktivitas anak-anak, ternyata juga dibutuhkan manusia usia dewasa. Huizinga yang juga filsuf menggarisbawahi, aspek dari suatu permainan adalah kesenangan, hal yang akan diperlukan manusia seumur hidupnya. Siapa yang tak ingin bersenang-senang?
Enam puluh tahun kemudian, Nokia merilis ponsel tipe 5110, yang dilengkapi game sangat simpel namun mencandui, yaitu Snake. Game dengan grafis yang sangat sederhana, hanya garis panjang dan titik. Nokia begitu bangga menjadi produsen ponsel yang pertama kali menghadirkan game. Sampai-sampai di video iklannya, Nokia menghadirkan sosok Margaret Thatcher bermain layang-layang.
Ada pula sosok mirip Bill Clinton yang asik memainkan Snake. “Ada sisi kekanakan dalam diri kita.” Begitu teks dalam iklan itu. Disusul kemudian “Itulah sebabnya ada games di ponsel kami.”
Siapa nyana, terobosan Nokia 18 tahun silam itu terus berlaku hingga hari ini. Tentu dengan tampilan grafis, audio, dan konektivitas yang jauh lebih ciamik dari Snake. Pemain Pokemon Go tak kenal batas usia. Semua pengguna ponsel, tua atau muda, memerlukan permainan yang menghadirkan kesenangan.
Dengan kian padatnya populasi manusia, kian sedikitnya waktu luang, permainan pun mengalami penyusutan bentuk fisik. Kita tidak lagi harus memerlukan tanah lapang atau ruang khusus untuk bisa bermain-main. Sebuah ponsel pintar saja sudah memungkinkan kita untuk bermain dengan orang lain di tempat berjauhan. Saling meledek, menertawakan kekalahan, merayakan kemenangan, di media sosial. Entah bersama orang yang kita kenal baik atau tidak sekalipun.
Kenapa manusia sedemikian memerlukan permainan? Huizinga sudah membahasnya puluhan tahun silam. Dia menyebutkan karakteristik permainan yang menggambarkan kebebasan. Dengan bermain, manusia merasa bebas untuk tertawa lepas, atau berteriak kewalahan. Permainan juga sesuatu yang berbeda dari kehidupan nyata. Seperti di Pokemon Go, kita mengejar monser-monser lucu virtual yang sesungguhnya tidak ada di kehidupan kita.
Bermain membuat kita melupakan rutinitas keseharian yang membosankan. Ada pula rasa puas ketika kita unggul di suatu permainan, yang memicu supremasi pada diri kita. Ini yang bikin manusia kecanduan bermain.
Saat kalah, kita ingin menciptakan kemenangan. Setelah menang, kita ingin terus mempertahankannya. Terlebih lagi kini kita bebas memamerkan skor kemenangan yang diraih di media sosial, agar semua teman kita mengetahuinya.
Karakteristik terakhir, Huizinga menyebut permainan harus benar-benar terlepas dari aspek material. Tidak ada uang atau materi lain yang berpotensi dihasilkan dari suatu permainan. Jika sudah melibatkan hal materi, maka itu tak lagi bisa disebut permainan. Inilah yang agaknya sudah sangat bergeser di kehidupan modern.
Huizinga pada masa itu kemungkinan belum terpikirkan tentang korporat pengembang video games selevel Sony, Nintendo, dan sejenisnya. Pastinya juga tak terpikir ada permainan yang bisa menghasilkan jutaan dolar dan laku ke seantero dunia. Ada pula permainan yang menjadi ajang perjudian, mengejar hadiah, dan uang.
Terlepas dari itu semua, bermain sudah menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia. Dan ini sangat disadari para pengembang games online. Maka, jangan heran kalau kita melihat kakek dan nenek asik mengendap-endap mencari Pikachu di sebuah mall. Mereka hanya terkena demam Pokemon Go. Atau kelak akan muncul permainan yang jauh lebih menantang lagi? Kita tunggu saja.