Pada 26 Februari 2018, majalah Tempo memuat sebuah karikatur yang dipasang dalam sampul depan. Karikatur itu berisi dua orang, laki-laki dan perempuan yang sedang duduk berhadapan. Jika Anda menonton film Ada Apa Dengan Cinta (AAC) 2 pasti tahu bahwa karikatur tersebut merupakan penggalan cuplikan dari pertemuan Rangga dan Cinta di sebuah kedai kopi di Jogja.
Di kedai kopi tersebut, Rangga meminta maaf karena bertahun-tahun tidak menghubungi dan menemui Cinta saat ia hijrah ke Amerika Serikat. Sementara itu, Cinta menunggu sejak lama kedatangan dan kabar dari Rangga.
Saat film AADC 2 tayang, adegan tersebut menjadi meme dan viral di media sosial. Adegan ini yang kemudian dibuatkan kartunnya oleh Tempo untuk membahas konteks politik di Indonesia. Gambar perempuan dalam kartun itu merujuk kepada sosok Cinta, yang diperankan oleh Dian Sastro. Sementara laki-lakinya adalah pria bersorban dan berpakaian putih, memunggungi wajah depan sampul Tempo tersebut.
Dalam karikatur itu tertulis ucapan dari lelaki bersorban tersebut, “Maaf… saya tidak jadi pulang” dan teks perempuan tersebut, “Yang kamu lakukan itu jahat”.
Karikatur yang dibuat Tempo ini tidak hanya cerdas melainkan cerdik. Selain menangkap momentum film AADC 2 yang laris manis, Tempo mengkaitkan dengan sosok berjubah yang awalnya ingin pulang ternyata tidak jadi. Interpretasi orang pasti merujuk kepada Habib Rizieq Shihab terkait dengan sejumlah kasus yang dihadapi yang membuatnya sampai sekarang pergi umrah tapi tidak kembali.
Di antara kasus tersebut adalah pengusutan dugaan pornografi melalui pesan Whatsapp dengan seorang perempuan. Jika itu terbukti benar, melalui kasus tersebut, Rizieq akan dijerat Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan atau Pasal 9 juncto Pasal 34 Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Sementara itu, Firza Husein sendiri sedang diusut kepolisian yang diduga melanggar Pasal 4 ayat 1 juncto pasal 29 dan atau pasal 6 juncto pasal 32 dan atau pasal 8 juncto pasal 34 Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (www.merdeka.com, 17 Februari 2018). Namun, di sini cerdiknya Tempo, meski masyarakat Indonesia memiliki konteks politik yang bisa menjelaskan, tapi tidak ada wajah yang ditunjukkan bahwa itu Rizieq Shihab. Dengan kata lain, Tempo memberikan ruang interpretasi yang terbuka kepada masyarakat mengenai gambar karikatur tersebut.
Bagi Front Pembela Islam (FPI), karikatur Tempo tersebut merupakan bukti penghinaan bagi imam besar mereka. Sikap ini kemudian mereka ekspresikan dengan melakukan demonstrasi ke Kantor TEMPO Media Grup, Jakarta. Setidaknya ada 200 massa FPI yang berunjuk rasa ke sana pada Jum’at lalu (16/3).
Dalam demonstrasi tersebut, mereka menuntut Tempo meminta maaf. Pertanyaannya, apakah Tempo meminta maaf? Video yang diunggah Tempo.co pada 16 Maret 2018 dengan judul “LIVE: Ratusan Anggota FPI Aksi Damai di Gedung Tempo” menjelaskan proses demonstrasi dan negosiasi itu dengan cukup detail.
Dalam video berdurasi 51 menit 40 detik saya mendapatkan gambaran bagaimana proses negosiasi berlangsung alot. Dikepung oleh sebagian besar orang-orang FPI, Arief Zulkifli, Pemimpin Redaksi Tempo, bersama tiga awaknya meladeni mereka untuk berdiskusi dengan suasana ancaman dan di bawah tekanan.
Dalam video tersebut, berkali-kali orang-orang FPI yang berkumpul di ruangan tersebut bersuara dengan nada tinggi dan meminta penjelasan terkait dengan karikatur gambar tersebut. Bagi FPI, gambar tersebut merupakan Rizieq Shihab, meski tidak disebutkan nama dan terlihat wajahnya. Karikatur itu tidak hanya dianggap menghina, melainkan juga menyakiti perasaan mereka terhadap imam besar dan habib mereka yang yang begitu dicintainya.
Namun, karena visual karikatur tersebut memberikan ruang interpretasi terbuka, Arif Zulkfili memiliki argumen yang memungkinkan untuk berdiskusi lebih jernih. Memang, berhadapan dengan puluhan orang-orang FPI yang terlihat marah tidak mudah. Ini terlihat dengan sikap Arif Zulkifli yang berusaha menenangkan diri meminum air mineral berkali-kali.
Alih-alih kemudian tunduk untuk meminta maaf, Arif justru memberikan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip jurnalisme yang dipegang oleh Tempo yang berpihak kepada kebenaran data dan informasi sebagai pijakan untuk membuat liputan.
Rasionalisasi yang dijelaskan Arif Zulkifli dan sikapnya yang lumayan luwes di tengah massa dalam ruangan tersebut yang terlihat marah menunjukkan bagaimana sikap dan prinsip yang dipegangnya sebagai seorang jurnalis. Dalam diskusi tersebut dicapai kesepakatan, yakni Tempo memberikan hak jawab atas keberatan yang disampaikan FPI melalui surat yang diberikan.
Surat hak jawab inilah yang akan dimuat di majalah TEMPO edisi Senin, 19 Maret 2018. Tidak hanya itu, Arif juga meminta FPI untuk melaporkan persoalan tersebut ke Dewan Pers sebagai institusi dan otoritas tertinggi untuk menilai kualitas kerja jurnalistik yang dilakukan oleh awak media. Jika memang Tempo dianggap bersalah, ia sebagai pihak yang paling bertanggungjawab di Tempo bersedia menerima kesalahan tersebut.
Setelah diskusi di dalam ruangan selesai, ia diminta untuk berbicara di depan massa FPI di luar gedung. Saat di atas mobil yang terdiri dari podium untuk orasi demonstrasi, Arif Zulkifli berkali-kali didesak meminta maaf dan menyesali perbuatan atas pemuatan karikatur tersebut.
Saya melihat ada sikap perlawanan dan konsistensi yang dipegang Azul, demikian Arif Zulkifli akrab disapa, di mana ia tidak mau meminta maaf. Ini karena, apabila meminta maaf, ia mengoreksi tindakan persekusi yang dilakukan oleh FPI yang secara tidak langsung mengatakan Tempo telah bersalah.
Lebih jauh, tindakan persekusi tersebut akan berakibat pada terulangnya upaya persekusi kepada kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh media lainnya. Namun, konsistensi yang ditunjukkan oleh Arif itu tidak menunjukkan nada kesombongan bahwa medianya yang paling benar. Ia justru menunjukkan kerendahan hati di mana media bisa saja salah, “Kerja jurnalistik itu menyimpan daif (kekurangan), dan lembaga yang berwenang menilai kekurangan itu adalah Dewan Pers”.
Tak puas dengan pernyataan itu, pemimpin FPI dan 200 massanya tetap memaksa Arif menyatakan permohonan maaf atas pemuatan kartun itu. Ya, ia akhirnya meminta maaf. Namun, ia meminta maaf bukan pada pemuatan karikatur yang dibuat oleh Tempo, melainkan atas dampak yang diakibatkan oleh pemuatan karikatur tersebut.
Sikap yang ditunjukkan oleh Arif ini tidak hanya elegan melainkan juga menunjukkan keberanian di tengah persekusi yang dilakukan massa FPI. Sikap ini menunjukkan betapa kerja-kerja jurnalistik itu tidak bisa tunduk di bawah tekanan massa, melainkan kepada prinsip-prinsip kebenaran atas sejumlah fakta dan informasi yang didapatkan di lapangan.
Konsistensi sikap berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik inilah yang membuat Tempo menjadi sedikit di antara media yang kredibel dan independen. Untuk mencapai level tersebut tidaklah mudah. Sejumlah pengalaman saat rezim Orde Baru berkuasa, melalui pembredelan dan pasca rezim Orde Baru lewat sejumlah gugatan pihak-pihak yang tidak nyaman atas pemberitaan tersebut, menjadi cermin betapa ombak yang keras justru membentuk awak Tempo menjadi jurnalis yang tangguh dan tidak mudah ditekan.
Kondisi ini digambarkan dengan baik oleh Goenawan Mohamad dalam akun twitternya terkait dengan aksi demonstrasi FPI tersebut, “Sejarah Tempo adalah sejarah menghadapi ancaman. Sekaligus sejarah sikap yang dengan tenang tidak mau takluk”.
Sikap tidak takluk yang ditunjukkan oleh Pimpinan Redaksi Arief Zulkifli dan awaknya yang hadir dalam diskusi tersebut telah membuktikannya. Jangan tunduk, Tempo!
Kolom terkait:
Neo-Khawarij, Habib Rizieq, dan Masyarakat Sipil
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama