Karikatur yang dimuat di majalah Tempo edisi 26 Februari 2018 ternyata berbuntut panjang. Karikatur tersebut dianggap Front Pembela Islam (FPI) telah melecehkan pimpinan tertinggi mereka, Habib Rizieq Sihab, mengingat adanya dialog antara seseorang yang digambarkan bergamis dengan seorang wanita seksi. Padahal, jika dilihat seksama, tak ada kalimat pelecehan atau penghinaan, kecuali “maaf saya tak jadi pulang”.
Bagi saya, tak ada yang salah dari ekspresi karya jurnalistik yang dipublikasikan Tempo, kecuali jika ada sekelompok orang dengan sikap ta’ashub (fanatisme) berlebihan menganggap setiap kritik kepada seorang tokoh panutan dianggap sebagai sebuah upaya pelecehan.
Saya pernah punya pengalaman, ketika menulis sebuah artikel soal dakwah yang mendapatkan penolakan dari masyarakat. Tulisan saya, yang dipublikasikan di laman narablog Indonesiana milik Tempo, menuai banyak kritik, bahkan dimuat ulang oleh salah satu media Islam daring.
Tulisan saya sebetulnya tanpa menyebut nama, tempat, atau pihak tertentu. Hanya mungkin karena pihak redaksi Indonesiana menampilkan gambar ustaz kondang Abdul Somad, sontak tulisan saya mendapatkan reaksi keras dari publik. Saya pun dicap sebagai “penista ulama” bahkan diserang di media sosial oleh pihak-pihak yang menganggap tulisan saya melecehkan panutannya.
Aneh, memang, ketika sikap reaktif yang ditunjukkan terlampau berlebihan, bahkan alergi terhadap upaya kritik yang semakin dikedepankan. Padahal, mereka juga bebas melakukan kritik, dan umumnya pihak yang dikritik menanggapi secara wajar, bahkan kritik bisa jadi obat untuk lebih banyak melakukan introspeksi ke dalam.
Seiring dengan tulisan saya soal kenapa dakwah mendapatkan penolakan dari masyarakat, muncul kasus serupa ketika cuitan seorang wartawan harian nasional olah raga dan juga pemenang Kompasiana Award 2017, Zulfikar Akbar (Zul), malah terseret kasus penghinaan terhadap Abdul Somad.
Sikap reaktif berlebihan yang mengarah pada persekusi akhirnya memaksa pihak perusahaan tempat Zul bekerja melakukan pemutusan hubungan kerja atas Zul. Zulfikar pun harus menelan pil pahit, akibat cuitannya yang tadinya sekadar bermaksud mengkritik, seketika menjadi bencana tak terduga, karena dirinya harus rela kehilangan pekerjaan.
Forum Jurnalis Muslim (Forjim) menilai cuitan Zulfikar bukan sekadar kritik, tetapi telah menghujat ulama, sehingga berpotensi memecah belah bangsa (Republika.co.id, 27/12/2017).
Saya kira, dibandingkan dengan cuitan Zulfikar yang memang mengandung muatan “hujatan”, karikatur di majalah Tempo tak memiliki kesan pelecehan sama sekali, terlebih tak menyebut nama, hanya diwakili oleh gambar sosok berjubah putih berdialog dengan seorang wanita.
Kesan bahwa yang dimaksud di dalam karikatur tersebut adalah pimpinan FPI, Rizieq Sihab, memang bisa dibenarkan karena muatan kalimat “maaf saya tidak jadi pulang” erat kaitannya dengan keberadaan Rizieq. Tetapi, tidak ada kalimat hujatan atau kebencian, bahkan pelecehan, kepada siapa pun atau kelompok mana pun.
Belakangan ini, kritik apa pun yang dialamatkan kepada tokoh agama seakan-akan sudah dianggap sebagai “pelecehan” atau “penistaan”. Padahal, sebagai manusia biasa, apalagi bagian dari warga negara, urusan kritik jelas fenomena yang sangat wajar.
Menyoal sikap pemujaan berlebihan kepada seseorang yang dianggap tokoh agama jelas sama halnya dengan sikap yang berlebihan dalam agama. Saya ingin mengutip sebuah ungkapan yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam sebuah karyanya, “Iqtidlaaus Shirathi al-Mustaqim Li Mukhalafati Ashabi al-Jahim”. Bahwa mereka yang berlebihan dalam agama umumnya juga berlebihan dalam banyak hal, termasuk memberikan pujian atau membenci secara berlebihan (ziyaadu fi hamdihi wa dzammihi).
Memuji seseorang secara berlebihan, menyanjungnya terlampau tinggi, atau bahkan membenci seseorang berlebihan, jelas adalah sikap yang melampaui batas. Sikap wajar tentu saja yang selalu diajarkan dalam agama dan sikap berlebihan—termasuk dalam hal agama—adalah hal yang dilarang.
Itulah kenapa sikap memuji berlebihan berakibat pada fanatisme buta sehingga melahirkan sikap sombong dan menganggap dirinya “tinggi” dan setiap yang mengkritiknya menjadi “rendah”. Hal ini sesuai dengan makna “ghuluw fiddin” yang secara etimologis, disebut dalam kitab Jamharatu al-Lughah Liibni Duraid sebagai “al-irtifaa’ fis syay’i, wa tajaawaz al-haddi fiihi” (merasa paling tinggi dalam segala hal sehingga bersikap melampaui batas).
Saya kira, soal bagaimana cara kelompok atau orang-orang yang mengagungkan orang-orang saleh di antara mereka sudah terjadi sejak zaman Nabi Nuh. Saat itu akhirnya kehancuran bagi mereka karena kebiasaan mengagung-agungkan seseorang dalam kelompoknya. Bahkan tak jarang mereka “memberhalakan” nama-nama mereka dalam setiap majelisnya.
Itulah kenapa di masa kini sikap berlebihan ditunjukkan oleh kelompok-kelompok yang menganggap kritik terhadap panutannya sebagai suatu pelecehan, bahkan penistaan bagi pimpinan mereka, padahal kenyataannya belum tentu demikian.
Sikap berlebihan juga ditunjukkan para simpatisan FPI dengan aksi turun ke jalan yang memprotes karikatur tersebut. Bagi mereka, seseorang bergamis yang digambarkan sedang berdialog dengan seseorang jelas dimaksudkan sebagai pimpinan mereka. Barangkali ceritanya akan lain jika karikatur tersebut bergambar wanita bercadar yang melakukan dialog.
Hal ini seperti diungkapkan salah satu anggota FPI, Novel Bamukmin, sebagaimana dikutip laman detik.com: bahwa gambar di karikatur tersebut jelas ulama, bergamis, dan berimamah yang haram berdua berhadapan dengan perempuan yang berpakaian tidak sopan.
Saya tidak tahu apakah keharamannya karena gambar yang demikian ataukah soal berhadapan dengan perempuan yang berpakaian tidak sopan. Hal ini tentu saja harus diselesaikan melalui diskusi yang cukup panjang dan serius.
Terakhir, saya ingin mengutip sebuah ayat al-Qur’an di mana terdapat larangan untuk membanggakan diri atau kelompok sebagai entitas yang paling benar atau bahkan paling suci, karena tentu hanya Allah yang Maha Tahu, siapa di antara manusia yang paling bertakwa.
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An-Najm: 32).
Janganlah sombong, janganlah merasa dirimu paling suci, karena sesungguhnya manusia itu sama di hadapan Allah, karena sama-sama diciptakan dari sebongkah tanah.
Kolom terkait:
Menolak Tunduk: Karikatur Tempo, Persekusi FPI
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Menjaga Kewarasan di Era Pasca Kebenaran