In the beginning, there was Time…
Dalam mitos orfik, ada satu periode yang disebut sebagai Tak Berwaktu (Unaging Time). Di dalamnya, tidak ada sesuatu apa pun, apalagi hal-hal yang bertumbuh. Segala sesuatunya tidak tentu dan hampir tidak berwaktu. Ketika itu, tersebutlah Waktu (Chronus atau Khronos/Χρόνος) dan Keniscayaan (Ananke/Ἀνάγκη) sebagai awal mula segala.
Dari mitos tentang keduanya, manusia bisa merefleksikan pergantian tahun yang sirkular. Dari tidak ada apa-apa, Khronos dan Ananke kemudian menyatu dan menghasilkan Spirit dan Materi primordial, yang disebut Aether (Αἰθήρ) dan Kekacauan (Chaos (Χάος)). Aether adalah lapisan atmosfer terluar di mana udara bersih dan murni. Sedangkan Kekacauan adalah kekosongan tanpa batas. Ia adalah jurang yang menganga. Pengada primordial ketiga yang berasal dari Waktu and Keniscayaan adalah Kegelapan (Erebus).
Waktu yang bertemu Keniscayaan bagai pengandaian tentang realitas. Mau tidak mau, waktu berjalan terus. Keniscayaannya menghasilkan yang baik sekaligus yang buruk dan tak terduga.
Seperti dewasa ini, ketika manusia mendampingi teknologi informasi yang lahir dan berkembang begitu pesat. Ada kala ketika manusia begitu kalap menggunakannya. Sejak World Wide Web ditemukan, lalu internet masuk ke Indonesia di era 1990-an, hingga akhirnya dunia berada dalam genggaman masyarakat kita, manusia bagai berpetualang di atas sebuah pisau. Kalau tidak hati-hati, kita dapat tergelincir ke bagian pemotong yang tajam, meski sebetulnya bagian punggung pisau lebih nyaman dan tidak menyakiti.
Pada tahun 2010, muncul Liberation Technology—berkat dari keberhasilan internet sebagai gerakan pembebasan suatu kaum. Mulai dari gerakan politik anti-pemerintah Malaysia, Malaysiakini (1998), investigasi mendalam kematian Sun Zhigang di China (2003), hingga kegagalan Arab Spring (2011), internet memang berkali hadir sebagai pelantang suara golongan minor di peristiwa-peristiwa besar. Meski tidak berjalan bersih dan non-chaotic, contoh-contoh itu paling tidak mengandung—paling tidak sedikit—hal-hal manis untuk masyarakat luas.
Namun, kekacauan yang terjadi di media sosial pada akhir tahun 2017 ini sungguh bertubi-tubi. Ini mengkhawatirkan bagi perkembangan teknologi informasi, juga bagi peradaban manusia sendiri.
Pertama, kita disuguhi kasus menyebarnya sebuah video dengan teks penuh penghakiman pada kakak-beradik yang bermesraan di atas sepeda motor. Kasus itu mengindikasikan bahwa dunia maya seringkali dianggap terpisah dengan dunia nyata sehingga setiap orang dapat melakukan apa saja dengan minim tanggung jawab. Seolah-olah, prasangka adalah sesuatu yang harus dituntaskan terlebih dulu secara serampangan, sedangkan soal benar atau tidak urusan belakangan.
Sebab oleh gempuran informasi yang deras, manusia berkeinginan serba kilat. Maka, bagi beberapa orang, bicara baik-baik dianggap terlalu hambur waktu dan bukan lagi solusi segala masalah. Manusia seringkali luput bahwa menyelesaikan masalah secara beradab seharusnya tidak hanya dilakukan di dunia nyata, tetapi pun dunia maya.
Alhasil, seorang saja menghakimi, membagikan secara bebas, memancing komentar pedas dan akhirnya kebencian pada suatu golongan pun tercipta. Tagar tolak LGBT pun naik lagi. Menyusul penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan perluasan pasal perzinaan di KUHP.
Belum lagi gerakan Celup (Cekrek, Lapor, Upload)—sebuah gerakan “kampanye anti asusila”—yang mengiklankan diri di mana-mana. Gerakan itu telah mengalihfungsikan ruang publik menjadi ruang penghakiman. Atas dalih pelanggaran kesusilaan, seseorang dibuat seakan-akan memiliki hak untuk menyebarluaskan foto orang lain—dengan mengabaikan batas-batas privatnya. Gerakan ini jelas secara serampangan telah mencoba menggunakan media sosial sebagai media untuk memaksakan kebenaran segelintir pihak saja.
Kemudian baru saja kita menyaksikan Zulfikar Akbar, seorang jurnalis yang diputus hubungan kerjanya secara sepihak setelah dianggap melakukan penghinaan terhadap Ustaz Abdul Somad di media sosial. Kasus ini mengundang perhatian banyak pihak terutama setelah tagar Boikot TopSkor—media tempatnya bekerja—menjadi topik teratas di Twitter. Tagar yang awalnya ditujukan untuk mengecam ZA kemudian berbalik arah menuju petinggi TopSkor yang memecatnya (hanya) karena tekanan massa.
Hal-hal yang terjadi di dunia maya, di media sosial, terjadi begitu cepat dan membuktikan bahwa apa yang terjadi di dunia maya tidak lepas dari realitas nyata. Beberapa kasus tadi semakin menunjukkan pada masyarakat—terutama pengguna internet anyar—bahwa jarak antara dunia nyata dan maya itu kabur.
Indonesia di ujung tahun 2017 ini terlalu sering kedapatan efek internet pada bagian kotor-kotornya saja. Kekacauan fungsi teknologi informasi—khususnya media sosial—ini mungkin akibat manusia terlalu banyak berhitung usia, pahala, harta, dan angka-angka lainnya.
Ada baiknya kita sama-sama merefleksikan bagaimana waktu dan keniscayaan bekerja. Mungkin pelan-pelan kita bisa sepakat bahwa yang dilahirkan waktu adalah misteri. Ia adalah misteri tentang masa depan: suci dan bersih seperti Aether, kacau sebagaimana Chaos, atau sekelam Erebus.
Bagaimanapun keyakinan seseorang, sejak alam semesta ada, kemudian masehi terbilang, hingga menjelang 2018 ini, waktu adalah selamanya selubung manusia. Melulu berhitung hanya akan menciptakan kekacauan lagi dan lagi. Segalanya hanya akan terlihat seperti awal atau akhir: mengumpulkan harta sebelum akhir hayat, mengunggah prasangka ke media sosial sebelum ada yang mengawali, meraih simpati, menyebar ujar kebencian sebelum didahului lawan. Terburu-buru terus. Padahal kita—termasuk internet dan segala komponennya—hidup dalam waktu dan akan terus begitu.
Kita bisa jadi terlalu fokus memecahkan misteri tanpa menyempatkan bergaul dengannya dan menikmati setiap petunjuk-petunjuknya. Selama berhitung terus begitu, jangan-jangan, selama ini kita tidak pernah benar-benar hidup.
Mari hening sejenak.
Kolom terkait:
Ketika Media Sosial Menjadi Semakin Personal
Akrobat Ustadz “Seleb” dan Gelinjang Media Sosial