Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari bisa menjadi momen suka cita atau polemik. Yang disebut terakhir lebih sering dibicarakan.
Alasannya sederhana. Tanggal tersebut disahkan oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, merujuk pada hari ulang tahun dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi profesi wartawan yang dianggap sebagai pertama di Indonesia, didirikan pada 9 Februari 1946.
Klaim tersebut dianggap bermasalah karena dua alasan. Pertama, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia, mengingat sejak era pergerakan sudah berdiri perkumpulan-perkumpulan wartawan lain, misalnya Inlandsche Journalisten Bond yang didirikan Mas Marco Kartodikromo pada 1914.
Kedua, bijakkah menentukan 1946 sebagai titik awal pers Indonesia? Bagaimana dengan peran pers Indonesia sebelum kemerdekaan, atau, geliat pers golongan non-pribumi seperti kelompok Belanda dan Cina peranakan; apakah mereka akan dieliminasikan begitu saja dalam narasi sejarah pers Indonesia?
Terlepas dari latar belakang politis dan historis penentuan Hari Pers Nasional, rasanya tidak salah untuk kini memahami lebih jauh peranan pers Belanda dalam narasi sejarah Indonesia. Apakah mereka selalu menjadi antagonis, seperti hal-hal lain yang memiliki label Belanda di dalamnya, dalam sejarah? Atau mereka memang pantas terlupakan karena dianggap tidak ada sangkut paut dengan apa yang disebut pers Indonesia nasionalis, yang konfrontatif dan revolusioner?
Apa pun argumennya, orang-orang Belanda adalah yang pertama memperkenalkan aktivitas pers modern di Indonesia. Tepatnya di Batavia, ketika Belanda mulai membangun pijakan permanen untuk melanggengkan hegemoninya di Nusantara pada awal abad ke-17 silam.
Hal itu bermula, menurut sejarawan kolonial Frederik de Haan, dari inisiatif pegawai “Kompeni” Serikat Dagang Hindia Timur (VOC), Jan Pieterszoon Coen untuk menggagas terbitan internal, namanya Memorie der Nouvelles, kira-kira tahun 1619. Terbitan itu berisi informasi ringkas mengenai kegiatan perdagangan di pos-pos dagang Belanda dan diedarkan di kalangan pegawai VOC. Bentuknya berupa kertas folio empat halaman yang isinya ditulis tangan.
Sedangkan apa yang disebut sebagai koran pertama Belanda, bahkan mungkin koran pertama di dunia, adalah Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. yang terbit di Amsterdam pada Juni 1618.
Negeri Belanda abad ke-17 adalah surga para pemikir bebas Eropa. Kebebasan berekspresi di Belanda menyebabkan industri percetakan berkembang pesat, bahkan banyak buku terlarang negara lain dapat dicetak dengan bebas di sana.
Namun, kebebasan itu tidak berlaku di koloni-koloni dagangnya. Nyaris tidak ada catatan mengenai koran-koran Belanda di Nusantara sejak munculnya Memorie der Nouvelles sampai seabad lewat setelahnya ketika Gubernur Jenderal VOC yang liberal, Gustaaf Willem Baron von Imhoff, mengizinkan dicetaknya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes pada 1745. Pemrakarsanya adalah pegawai VOC bernama Jan Erdman Jordens dan lisensi terbitnya pun diberikan untuk jangka waktu tiga tahun.
Bataviasche Nouvelles merupakan produk mesin cetak yang telah masuk ke Hindia beberapa dekade sebelumnya. Ia terbit empat halaman seminggu sekali. Selain berisikan informasi-informasi pemerintahan VOC, ia juga memuat aneka ragam berita hiburan dan iklan lelang, serta karangan-karangan singkat mengenai sejarah koloni Belanda di Hindia dan gerejanya.
Sejarawan Kasijanto Sastrodinomo dalam tulisannya, “Media dan Monopoli Dagang”, terbit di jurnal Wacana vol. 10 (2008), menulis bahwa Bataviasche Nouvelles mencoba menghindari debat politik karena relasinya yang begitu dekat dengan penguasa, dan hidup matinya terbitan tersebut sangat ditentukan oleh kemauan petinggi-petinggi VOC. Bataviasche Nouvelles begitu populer, sampai Tuan-tuan XVII, kelompok dewan direktur VOC di Amsterdam, memutuskan untuk membredelnya karena khawatir koran tersebut berpotensi membocorkan informasi rahasia perusahaan.
Pada 20 Juni 1746, Bataviasche Nouvelles berhenti cetak. Kasijanto berpendapat setidaknya VOC mensyaratkan tiga hal dari koran yang mendapatkan izin terbitnya. Pertama, harus bersih dari politik. Kedua, tidak mengganggu kepentingan pejabat. Dan ketiga, tidak menggerus arus keuntungan VOC.
Syarat-syarat tersebut sebenarnya telah dilengkapi oleh Bataviasche Nouvelles, namun entah kenapa ia dibredel. Baru pada 1776, terbit koran kedua bernama Vendu Nieuws di Batavia yang memberitakan iklan-iklan lelang dan dikenal di kalangan kaum pribumi sebagai “Soerat Lelang”. Koran tersebut diawasi ketat oleh VOC dan terbit sampai tahun 1809, di saat VOC sendiri telah kolaps pada 31 Desember 1799.
Koran Belanda baru muncul kembali pada 1828 dengan nama Javasche Courant, yang sebelumnya bernama Bataviasche Courant dan merupakan penerus dari koran-koran pemerintah di masa Daendels (Bataviasche Koloniale Courant) dan Raffles (Java Government Gazette). Javasche Courant yang terbit di Batavia menjadi corong suara resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda dan juga membuka wadah bagi siapa pun yang ingin membagikan pengetahuan mereka tentang Hindia untuk ikut berkontribusi menulis di dalamnya.
Satu hal yang menarik dari Javasche Courant adalah bahwa ia ikut mempelopori pers modern Jepang. Pada 1862, pemerintah Tokugawa mencetak Kanpan Batabia Shimbun, yang dari namanya sudah terlihat bahwa koran tersebut berkiblat pada Batavia; walau tidak berumur panjang. Dan memang koran berkala pertama Jepang tersebut menerjemahkan berita-berita dari Javasche Courant, khususnya berita-berita internasional seperti dari Inggris, Amerika Serikat, dan Rusia, untuk kalangan pembaca Jepang.
Pertengahan abad ke-19 merupakan titik tolak dinamika pers Belanda. Javasche Courant memang terbukti digdaya, ia terus terbit sampai Hindia Belanda runtuh oleh Jepang tahun 1942. Namun, kelonggaran kebijakan pers dan munculnya kelas intelektual Belanda yang berani mengambil posisi oposisi terhadap pemerintah kolonial di abad ke-19 lantas memunculkan fenomena baru: pers Belanda independen (Bersambung).
Kolom terkait:
Selamat Hari Pers Nasional, Masih Adakah Idealisme Wartawan?
Jokowi dan Fobia Jurnalis Asing