Bagaimana semestinya sebuah undang-undang melindungi warganya?
Fadhli Rahim, seorang PNS asal kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, divonis delapan bulan penjara. Ia terjerat pidana karena ucapannya di grup LINE dianggap melanggar UU ITE. Fadhli menuduh bahwa Bupati Gowa tidak inovatif dan memungut fee dari investor. Ucapan itu diteruskan seseorang ke sang bupati dan membuat Fadhli terseret ke pengadilan. Atas kasus ini Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Sungguminasa menuntut Fadhli dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Pasal yang digunakan jaksa adalah pasal 27 ayat 3 UU ITE. Fadhli lantas divonis hukuman 8 bulan penjara karena dianggap mencemarkan nama baik Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Fadhli pun sudah terbukti sengaja mentransmisikan dan mendistribusikan pernyataan itu ke grup LINE sehingga dapat dibaca dan diakses oleh penghuni grup lainnya.
Ganjaran yang diatur dalam pasal ini tidak main-main. Pelanggar akan dikenakan sanksi penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Bagaimana sebenarnya undang undang diperlakukan? Apakah ia melindungi atau menindas masyarakatnya? Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik selama beberapa tahun terakhir tercatat telah menjerat sebanyak 74 orang. ITE lebih menjadi alat pembungkam kritik daripada melindungi masyarakat, terlebih apabila undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk membungkam masyarakat yang mengkritisi kebijakan publik yang dibuat olehnya.
Lantas apakah UU ITE harus seluruhnya dicabut untuk memberi ruang kebebasan berekspresi? Tentu tidak, ITE Bisa berguna untuk banyak hal. Misalnya untuk menertibkan berbagai situs-situs yang menyerukan kebencian, usaha makar, pelacuran on line, perdagangan manusia, dan transaksi narkotik. Jika memang negara ingin agar undang-undang ini dapat melindungi masyarakatnya, ia harus berkembang dan bisa beradaptasi dengan kondisi masyarakatnya.
Dalam artikelnya Safevoicenet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), sebuah organisasi nirlaba yang fokus mengamati kebebasan berekspresi di internet, sejak diberlakukan tahun 2008, UU ITE memang seakan menjadi momok bagi pengguna internet. Hal ini karena kebanyakan yang terjerat undang-undang ini adalah mereka yang mengkritisi kebijakan, sikap, atau aturan pemerintah.
Kasus Rudy Lombok adalah satu contoh paling baru di mana seseorang diperkarakan terkait kritik terhadap kinerja pejabat. Rudy, yang bernama asli Furqan Ermansyah, mengkritisi kinerja pengurus BPPD NTB di Dubai, Uni Emirat Arab. Rudi mengkritisi mengapa justru BPPD memamerkan video jalan-jalan pengurus BPPD yang dikemas dalam studi banding. Kritik yang lain tentang oknum BPPD yang menjual paket wisata di website BPPD (iklan). Menurut Rudi, situs BPPD tidak sepantasnya mencari keuntungan.
Salah satu kasus yang paling dikenal publik terkait Pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah Prita Mulyasari dan RS Omni Internasional. Prita digugat karena curhatannya terkait pelayanan rumah sakit tersebut dianggap melakukan pencemaran nama baik. Masyarakat lantas merespons kasus ini dan melakukan perlawanan dengan gerakan Koin untuk Prita. Namun gerakan temporer semacam ini berhenti pada tataran peduli, namun belum sampai pada usaha untuk melakukan peninjauan kembali atas undang-undang yang bermasalah ini.
Damar Juniarto, seorang penulis dan pegiat literasi, pernah diancam akan dilaporkan ke polisi karena menulis kritik untuk Andrea Hirata. Damar mempersoalkan pernyataan Andrea Hirata yang berkata bahwa dalam 100 tahun terakhir tidak ada sastrawan Indonesia yang berpengaruh di dunia. Melalui tulisan yang ia buat, Damar lantas membantah penyataan Andrea tersebut. Damar kemudian dianggap mencemarkan nama baik Andrea Hirata, namun ancaman ini tidak berkembang ke ranah hukum karena usaha damai dari Yusril Ihza Mahendra yang menjadi penengah.
UU ITE Memang kerap melahirkan kasus-kasus unik, namun tragis. Misalnya Wisni Yetty, seorang ibu rumah tangga, juga tersandung kasus UU ITE atas laporan mantan suaminya sendiri. Ia diduga berselingkuh melalui chat Facebook. Menariknya, bukti yang disertakan mantan suaminya adalah cetak (print out) percakapan Ibu Wisni dengan teman Facebook-nya. Jjika memang mematuhi UU ITE, seharusnya yang bisa mengakses Facebook tersebut adalah Ibu Wisni sendiri.
Maka, sebenarnya perlu ada kesadaran tentang skala prioritas dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan UU ITE. Jangan sampai kasus pemblokiran breast feeding terjadi lagi, karena kata kunci seperti breast termasuk dalam yang dianggap memuat pornografi. Juga kasus ketika Vimeo yang diblokir karena dianggap memiliki muatan film porno. Penguasaan atas konten, asas kebermanfaatan, dan juga fungsi semestinya menjadi pertimbangan sebuah situs diblokir atau tidak.
Sensor selamanya akan menghambat kemajuan. George Orwell menggambarkan dengan sempurna negara dengan sensor dalam 1984. Ia menunjukan sebuah negara yang dikontrol oleh satu entitas besar tunggal. Masyarakat homogen yang disatukan kendali totaliter dan despotik. Dalam 1984 kejahatan terbesar adalah pemikiran kritis dan sikap independen. Bung Besar lantas menciptakan Ministry of Truth, yang bertugas membuat propaganda dan revisi sejarah agar masyarakat dapat dikendalikan.
1984 bukanlah ketakutan yang berlebihan. Jika melihat bagaimana Korea Utara hari ini berdiri, ia sebenarnya perwujudan dari masyarakat yang dikendalikan oleh sensor. Indonesia pada zaman Orde Baru mengalami ini. Melalui Kementerian Penerangan, pemerintah bisa menentukan mana berita yang harus muncul dan tidak. Sensor bukan berarti represi, ia bisa saja dalam bentuk rayuan, sogokan, dan juga tawaran iklan.
Jika UU ITE tidak segera direvisi, bukan tidak mungkin Indonesia akan jatuh sebagai negara yang mengadopsi sensor seperti 1984. Masyarakat akan merasa takut mengemukakan kritik terhadap kebijakan publik karena ancaman UU ITE. Kebebasan berpendapat adalah satu hal yang membuat manusia menjadi manusia. Jika ini direnggut melalui ancaman penjara, apa gunanya kita berpikir?