Hoax adalah berita bohong atau informasi palsu. Pada sisi yang paling buruk, hoax bisa disamakan dengan fitnah, yakni pada saat berisi kabar bohong tentang diri seseorang. Hoax dihembuskan bisa untuk kepentingan politik (mendiskreditkan lawan), bisa juga sekadar untuk bahan candaan atau hiburan.
Banyak pihak, dari para pejabat tinggi hingga warga negara biasa, mengeluh karena hoax kini berseliweran mewarnai seluruh kehidupan kita, mengotori ruang nyata dan maya. Tak hanya di arena politik yang penuh intrik, atau di panggung hiburan yang gemerlap, hoax bahkan menyelinap di ruang kerja, di rumah, di tas, dan di saku baju atau celana kita.
Ada yang bilang, hoax merajalela karena perkembangan teknologi daring dan telepon pintar. Bisa jadi. Tapi coba teliti kembali, betulkah hoax tidak berkembang saat internet belum ada? Tidak. Hoax sudah berkembang jauh sebelum teknologi internet ditemukan. Bahkan sejak zaman Nabi, hoax sudah berkembang dan banyak memakan korban. Aisyah binti Abu Bakar yang nota bene istri Nabi Muhammad SAW adalah salah satu dari korban hoax pada masanya.
Yang benar, di masa lalu, hoax beredar dari mulut ke mulut, dari telinga ke telinga, dan menjadi pasar gelap informasi dalam berinteraksi antar sesama manusia. Di era teknologi daring dan telepon pintar saat ini, hoax bisa diidentifikasi dan dibaca dengan jelas dalam baris-baris kata di linimasa, atau dalam gambar-gambar dengan tulisan jenaka (meme).
Hoax berembus bukan hanya dari penguasa atau lawan-lawan politiknya, ia bisa berasal dari mana saja. Yang pasti, hoax selalu dihembuskan karena ada kepentingan di dalamnya. Dan perlu dicatat, kepentingan yang dimaksud bukan hanya milik para politisi, tapi bisa milik siapa pun, termasuk para ulama yang menyandang gelar pewaris para Nabi.
Haruskah hoax dilawan sebagaimana diserukan banyak kalangan? Menurut saya tidak perlu, karena hoax sejatinya bukan lawan. Hoax adalah bagian dari diri kita, bahkan bagian yang tak terpisahkan dari diri kita. Bagaimana mungkin kita melawan diri kita sendiri.
Inheren dalam diri manusia dua watak, baik dan buruk. Al-Qur’an menyebutnya taqwa dan fujur. Watak baik yang membimbing manusia pada hal-hal yang positif, antara lain percaya pada kebenaran. Sebaliknya watak buruk mengarahkan manusia pada hal-hal yang negatif, antara lain menolak kebenaran. Menolak kebenaran dalam bahasa agama disebut menolak (berita) kebenaran yang dibawa para Nabi. Menolak kebenaran sama artinya dengan percaya pada kebohongan (hoax) yang dibawa musuh-musuh Nabi.
Dengan demikian, seruan melawan hoax sama dengan seruan melawan nafsu. Itulah seruan paling absurd di alam raya. Nafsu adalah entitas yang nyaris tak terhingga, tidak ada wujudnya, hanya gejolaknya yang bisa dirasakan, ia datang kapan saja tanpa memberi aba-aba, dan bisa pergi seenaknya tanpa permisi. Nafsu bisa datang karena adanya rangsangan, bisa juga datang begitu saja tanpa sebab. Nafsu tidak perlu dilawan, tapi diperlakukan (disalurkan) dengan baik, atau dikendalikan jika dirasa tidak menguntungkan.
Selain itu, hoax tak perlu dilawan karena mewujud seperti udara yang mungkin bisa saja diusir atau disaring, tapi tidak bisa dihilangkan keberadaannya kecuali kita sendiri yang berada di ruang hampa udara. Situs-situs atau akun-akun bermuatan hoax bisa saja diblokir tapi tetap tidak bisa menghilangkan hoaxnya.
Seperti kata pepatah, mati satu tumbuh seribu, satu situs/akun hoax diblokir akan tumbuh lagi ratusan atau bahkan ribuan yang lain. Jadi, untuk apa melakukan tindakan yang sia-sia.
Yang diperlukan untuk hoax adalah pengendalian dan penyaluran. Bagaimana cara mengendalikannya, seperti mengendalikan nafsu, yakni dengan berpuasa. Berpuasa membuat dan atau menyebarkan berita bohong. Jika semua: para politikus, wartawan, ustaz, netizen, atau siapa pun berpuasa membuat dan menyebarkan hoax, dengan sendirinya ia akan hilang. Tapi itu tidak mungkin. Yang paling mungkin adalah dengan memulainya dari diri kita sendiri. Minimal kita sendiri tidak membuat dan atau menyebarkan hoax!
Bagi yang punya nalar sehat dan kaya rasa bahasa, sehalus dan serapi apa pun hoax ditampilkan, pasti bisa diidentifikasi dan dirasakan. Sebaliknya, bagi para politisi ambisius, atau bagi yang hatinya diliputi kebencian, nalarnya dipenuhi kecurigaan, hoax justru dianggap kebenaran (bahkan kebenaran pun diputarbalikkan).
Karena bagi orang-orang seperti ini, hoax atau bukan tidaklah penting. Bagaimana hasrat kebenciannya bisa disalurkan, itulah yang terpenting, dengan cara membuat atau menyebarluaskan berita apa pun yang isinya mendiskreditkan lawan. Orang-orang seperti inilah yang harus berpuasa.
Cara yang lain adalah dengan menyalurkannya. Mungkin kedengarannya tidak lazim karena menyalurkan hoax sama artinya dengan mengakui adanya manfaat (yang positif) dari hoax. Tapi, bukankah memang ada “kebohongan yang bermanfaat”.
Hoax bisa dimanfaatkan biasanya oleh “orang-orang tertentu” dan untuk “kepentingan-kepentingan tertentu” seperti muslihat bagi tentara di medan perang, cerita-cerita fiksi bagi para pengarang, atau bisikan mesra di telinga para pecundang: engkaulah yang paling perkasa!