Kata boikot akhir-akhir ini adalah sebuah ungkapan yang selalu digunakan oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Alumni 212 ketika mereka tidak suka terhadap sebuah kelompok, komunitas, institusi ataupun orang yang tidak mendukung atas sikap dan tindakan yang mereka lakukan. Tindakan boikot itu bukan sekadar sikap, melainkan sebuah perlawanan.
Perlawanan ini tercermin saat Novel Bamukmin, anggota Dewan Syuro FPI DKI Jakarta, menyerukan tindakan untuk boikot media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter karena telah mematikan akun-akun FPI, dan kemudian beralih untuk menggantikan akun-akun tersebut dengan yang ramah dan pro terhadap gerakan mereka.
Di sini, rasa takjub saya semakin bertambah. Alih-alih membikin media sosial tandingan yang berpihak kepada gerakan yang mereka lakukan, Novel Bamukmin kemudian merekomendasikan sejumlah platform media sosial yang bisa mendukung gerakan mereka. Di antara media sosial tersebut adalah Redaksitimes.com, Geevv.com, dan Callind.com.
Ketakjuban saya ini dikarenakan satu hal, yaitu jumlah pengguna Facebook di dunia dan Indonesia. Dibandingkan dengan platform media sosial lainnya, Facebook memiliki jumlah pengguna media sosial terbanyak di dunia. Menurut catatan Statistica Portal (2017), Facebook menempati urutan pertama dengan pengguna terbanyak, dengan jumlah pengguna aktif sebesar 2.06 milliar orang setiap bulannya.
Tempat kedua disusul oleh Youtube sebesar 1.5 miliar pengguna aktif. WhatsApp di urutan ketiga dengan jumlah pengguna 1,3 miliar orang. Sementara itu, pengguna Instagram berjumlah 700 juta orang (urutan ketujuh), sementara penguna Twitter berjumlah 328 juta pengguna, di urutan kesebelas.
Di Indonesia, jumlah pengguna akun Facebook menempati urutan keempat terbesar dunia, yaitu 111 juta pengguna orang. Urutan pertama diduduki oleh Amerika Serikat, disusul kemudian secara berurutan India dan Brasil. Secara spesifik, dalam level kota, Jakarta menempati urutan ketiga terbesar di Indonesia dengan jumlah 22 juta orang, urutan pertama dan kedua ditempati oleh Bangkok dan Dhaka (www.tekno.liputan6.com, 21 April 2017).
Bagaimana dengan tiga media sosial tersebut yang diusulkan FPI? Saya mencoba mencarinya dalam telusur Statistica Portal, tapi tidak menemukan satu pun. Namun, di tengah raksasa media sosial dengan jumlah pengguna aktif begitu banyak, pernyataan Novel dalam melakukan pemboikotan tersebut merupakan keberanian luar biasa. Ia tidak hanya menantang ombak, tetapi berusaha menjebol dinding raksasa korporasi besar nan kuat.
Apalagi seruan pemboikotan itu ternyata berdampak signifikan terhadap penambahan pengguna baru sebanyak 13 ribu dalam akun media sosial Redaksitimes.com. Hal serupa juga dialami oleh Geevv.com, jumlah penggunanya naik menjadi 1.200 orang per detik yang mengaksesnya. Meskipun karena server itu tidak kuat menampung, akhirnya langsung jebol pada Senin 25 Desember 2017 (www.tirto.id, 26 Desember 2017).
Alih-alih kembali menyerukan pemboikotan, FPI kemudian melakukan aksi demonstrasi bertepatan dengan nomor cantik pada Jum’at, yaitu 121 (12 Januari 2018). Usai salat Jumat di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, massa FPI kemudian melakukan konvoi menuju kantor Facebook. Selain menunjukkan sikap protes, mereka ingin meminta klarifikasi dari Facebook terkait dengan penutupan akun-akun FPI. Sayangnya, kantor Facebook meliburkan semua pegawai kantornya, yang membuat FPI tak bisa melakukan sikap protes dan klarifikasi langsung.
Bagi Ketua Presidium Alumni 212, Slamet Maarif, mereka masih membutuhkan keberadaan Facebook. Lebih jauh, platform media sosial tersebut memberikan andil besar dalam dakwah mereka. Lalu, bagaimana menempatkan ungkapan pemboikotan yang sebelumnya diucapkan dan diserukan dengan lantang oleh Novel Bamukmin? Ia berdalih pemboikotan itu bukan dilakukan FPI, melainkan oleh pihak Muslim Cyber Army (www.cnnindonesia.com, 12 Januari 2018).
Pernyataan Facebook sebagai ladang dakwah ini memunculkan dua pertanyaan besar bagi saya: Apa yang dimaksud dengan ladang dakwah? Bagaimana respons Facebook sendiri? Sebenarnya, banyak akun media sosial di Indonesia dijadikan ladang dakwah, baik yang dikelola oleh ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU, ataupun akun-akun sukarela untuk memunculkan figur Islam yang merepresentasikan wajah Islam yang ramah dan damai.
Bahkan, secara sukarela kelompok-kelompok Islam menggunakan akun media sosial itu dalam menyebarkan dakwah Islam. Saya melihat tak ada keluhan bahwa akun mereka dimatikan. Dengan demikian, metode dakwah semacam apa yang sebenarnya digunakan FPI? Catatan Kathleen Azali (2017) menarik disimak. Menurutnya, sebagai bagian dari Ahok Effect, setidaknya dari Januari-Juni 2017, ada 59 tindakan persekusi yang dilakukan FPI kepada anggota masyarakat ataupun kelompok yang mencoba mengkritik FPI dan keislaman yang dipraktikkannya.
Di sini, Facebook berperan penting melakukan upaya memobilisasi dalam melakukan persekusi. Seorang ibu berusia 40 tahunan yang berprofesi sebagai dokter di Sumatra Barat dan bocah Cina berusia 15 tahun di Jakarta adalah contoh gamblang bagaimana Facebook menjadi alat untuk mendeteksi mereka yang mengkritik FPI dengan persekusi sebagai jawaban.
Pihak Facebook sendiri telah mendapatkan kritik terkait dengan algoritma yang digunakan sehingga membuat orang cenderung mendapatkan informasi yang sesuai dengan yang ingin dicari dan yang terkait dengan informasi yang selama ini didapatkan. Pola pencarian informasi dan kecenderungan kesukaan terhadap isu tertentu tidak hanya mengekelompokkan orang kepada kubu tertentu secara tajam, melainkan juga membentuk semacam solidaritas untuk membela karena terus menerus mendapatkan informasi tersebut.
Apalagi Facebook kemudian tidak memiliki semacam saringan untuk memproteksi berita-berita yang dibagi oleh penggunanya terkait dengan keakuratan informasi yang dimiliki. Di sini, ia kemudian dianggap sebagai pihak yang memperkeruh dan menciptakan konflik bagi para penggunanya di tengah politik elektoral yang terjadi di pelbagai negara. Yang paling kuat terlihat adalah saat Pemilihan Presiden Amerika Serikat yang lalu antara Trump dan Clinton. Saat itu reproduksi berita palsu dalam menjatuhkan kedua kubu telah mengakibatkan polarisasi yang tajam di dalam masyarakat Amerika Sendiri (Heller, 2016).
Hal yang sama juga terjadi dan semakin tajam dalam politik elektoral di Pilkada Jakarta, sebagai kelanjutan dalam Pilpres 2014 sebelumnya. Selain melalui akun Twitter dengan tagar sebagai bentuk sikap politik, akun Facebook dijadikan sebagai medium penyebar berita oleh kedua kubu, baik pro-Ahok ataupun anti-Ahok.
Merlyna Lim (2017) mengklasifikasi, ada 16 situs berita yang mendukung Ahok dan ada 15 situs yang Anti-Ahok. Meskipun demikian, hal ini belum termasuk informasi yang muncul dalam tulisan-tulisan yang beredar di Whatsapp. Dalam pemberitaan tersebut, meski memiliki keberpihakan secara total kepada masing-masing dukungannya, agitasi anti-Ahok selama proses kampanye pilkada justru jauh lebih menguat.
Selain menggunakan sentimen keagamaan dan etnik, mereka menggunakan isu SARA dan intimidasi kepada masyarakat dengan sejumlah aktivitas offline, baik acara dan mobilisasi massa ataupun ceramah-ceramah di masjid saat melaksanakan salat Jum’at di wilayah Jakarta ataupun luar ibu kota.
Melihat kondisi tersebut, Mark Zuckerberg menjadikan tahun 2018 sebagai titik awal pembersihan Facebook dan perbaikan diri dari berita bohong, ujaran kebencian, dan penyalahgunaan situs yang dibagi melalui akun tersebut. Hal ini dilakukan untuk meredam ketakutan yang selama ini terjadi dan meminimalisasi polarisasi yang sudah muncul. Hal ini dikatakan sendiri dalam catatannya di akun Facebook miliknya pada 4 Januari 2018. Ini penggalannya:
“Tantangan personal saya pada tahun 2018 adalah memfokuskan diri membenahi pelbagai isu-isu penting. Kami tidak dapat mencegah semua kesalahan ataupun penyalahgunaan tetapi baru-baru ini kami telah membuat begitu banyak kerusakan yang memaksakan kebijakan-kebijakan kami dan pencegahaan dari penyalahgunaan alat/sistem yang kami miliki. Jika kami sukses tahun ini kami akan mengakhiri tahun 2018 dengan lintasan pengalaman yang baik”.
Pernyataan Mark ini juga menjadi kebijakan seluruh kantor Facebook di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Karena itu, saat massa FPI meminta Facebook untuk menghidupkan kembali akun-akun mereka yang dimatikan, Facebook kantor cabang Jakarta mengatakan melalui rilis medianya ke publik bahwa “Kami ingin agar semua orang yang menggunakan Facebook merasa aman dan nyaman saat mereka berbagi cerita maupun berhubungan dengan teman dan keluarganya”.
Lebih jauh, pihak Facebook Jakarta mengungkapkan, “Namun kami akan menghapus konten yang melanggar Standar Komunitas yang telah ditetapkan. Standar Komunitas kami dibuat untuk mencegah adanya organisasi atau individu yang menyerukan ujaran kebencian atau kekerasan terhadap pihak lain yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka” (www.news.detik.com, 12 Januari 2018).
Sikap yang dilakukan Facebook ini sangat tepat di tengah Tahun Politik (2018-2019) yang memungkinkan terjadinya polarisasi, ketegangan, dan keresahan di masyarakat Indonesia, khususnya kehadiran pilkada serentak di pelbagai daerah dan Pilpres 2019. Meskipun harus diakui, sikap Facebook ini akan menggerus secara tajam pemasukan ekonomi orang-orang yang hidup dalam beternak kebencian di media sosial.
Dengan demikian, jika ingin terus menjadikan media sosial sebagai ladang dakwah, FPI sebenarnya bisa membuat kembali akun-akun mereka dengan menyebarkan Islam yang simpatik dan damai kepada publik Indonesia. Hal itu sejalan dengan misi yang saat ini sedang diemban oleh Mark Zuckerberg, yaitu membuat perdamaian kepada dunia dan menjadikannya sebagai rumah (home), di mana orang bisa saling menyapa dengan sentuhan kebaikan dengan ikatan kekeluargaan.
Kolom terkait:
Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?
Khutbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian
Dakwah itu Merangkul, Bukan Memukul
Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an