Sabtu, April 20, 2024

Akrobat Hoaks dan Tata Kelola Informasi Publik

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Hoaks kembali mencuat ke permukaan. Hal ini terkait dengan pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 3 Januari 2018 lalu, yang menyambut baik hoaks yang membangun. Kontan pernyataan itu mendapatkan respons meluas dari publik yang berujung pada ditariknya ucapan yang kontroversial tersebut.

Kita tentu paham tidak ada hoaks yang membangun. Menurut definisi, hoax adalah berita bohong atau palsu; peristiwa yang dilebih-lebihkan atau dihilangkan di bagian tertentu; tulisan atau teks tidak sesuai dengan gambar; judul tidak sesuai dengan isi berita; peristiwa lama yang dimuat kembali untuk mendukung isu yang sedang ramai dan seolah-olah itu peristiwa saat ini; dan foto peristiwa lain diubah untuk mendukung isu yang sedang ramai (Majalah Tempo, 2017).

Berbagai motif menjadi latar belakang muncul dan derasnya hoaks, yaitu motif ekonomi dan politik, dengan memanfaatkan sentimen atau isu suku, agama, ras, dan etnis (SARA), serta rendahnya tingkat literasi media masyarakat kita.

Gencarnya peredaran hoaks di media sosial dimulai sejak Pemilihan Presiden 2014. Hoaks kembali memanas terkait dengan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Paska kasus yang menimpa Ahok, tensi hoaks menurun. Diduga kuat, hoaks akan kembali mendapatkan momentum pada pemilihan kepala daerah langsung di 171 daerah tahun ini dan Pemilihan Presiden pada 2019.

Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, angka pengguna internet Indonesia pada 2016 mencapai 132 juta orang. Dengan demikian, ada sekitar 60 persen warga yang telah memiliki akses dan memanfaatkan internet untuk berbagai tujuan dan penggunaan. Sekitar 62 persen masyarakat Indonesia mengakses informasi dari media sosial. Pelan tapi pasti media arus utama seperti televisi dan media cetak mulai ditinggalkan.

Namun, tingginya pengguna internet tersebut belum diimbangi dengan tingkat literasi internet (internet literacy) yang cukup. Internet literasi adalah kemampuan untuk memanfaatkan internet dengan mengenali konten yang membahayakan dan illegal, berkomunikasi di internet secara benar, dan mampu melindungi privasi dan melakukan langkah perlindungan yang diperlukan.  

Akibat rendahnya literasi, pengguna internet sangat rentan menjadi obyek dan komoditas peredaran hoaks yang merupakan bisnis sangat mengiurkan. Para produsen atau aktor yang membuat dan mengedarkan hoaks sadar betul  bahwa masyarakat cenderung lebih banyak melihat informasi secara sekilas, tidak membaca, memahami dan mendalaminya. Setiap informasi yang melintas, langsung di-share tanpa melakukan verifikasi atas kebenaran isinya terlebih dahulu. Pada beberapa kejadian, hoaks menjadi pemicu terjadinya perundungan dan persekusi terhadap pihak tertentu.

Lantas, bagaimana hoaks ditangani? Hoaks tidak bisa secara merta merta diberantas melalui blokir situs atau pendindakan hukum. Menurut dosen Universitas Indonesia, Rocky Gerung, kebijakan pemerintah memblokir situs/sumber informasi secara serampangan tanpa ukuran yang jelas, apakah situs itu memuat berita bohong, misinformasi, dan disinformasi, membuktikan bahwa pemerintah telah gagal dalam mengendalikan informasi.

Apa yang disampaikan oleh Rocky tersebut adalah pangkal atau hulunya, yaitu bagaimana pemerintah mengendalikan informasi. Dalam ranah hak asasi manusia, pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak atas informasi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada banyak isu dan peristiwa, pemerintah gagap atau absen dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Akhirnya, pada kondisi ketika masyarakat tidak mempunyai sumber informasi yang kredibel, dan media mainstream telah kehilangan daya kritisnya, masyarakat mencari sumber informasi lain secara mandiri dan cepat, yaitu media sosial (information gap).

Adanya gap informasi ini disambut sebagai peluang bagi media alternatif untuk menghimpun dan menyebarkan informasi ke masyarakat, baik yang bertendensi positif maupun negatif (hoax)

Pada dimensi yang lain, situs hoaks tumbuh subur karena pemerintah tidak satu suara dalam menyikapi sebuah kebijakan atau peristiwa, masing-masing kementerian/lembaga merespons sendiri-sendiri, misalnya dalam kasus reklamasi Pantai Utara dan penataan Pasar Tanah Abang.

Pihak yang memiliki otoritas atas sebuah pengetahuan dan informasi tidak aktif di tengah gencarnya dan cepatnya arus dan lalu lintas media sosial. Peluang ini dimanfaatkan sebagai bisnis yang baru dan menjanjikan karena munculnya pasar (market) informasi yang selama ini tidak didapatkan oleh masyarakat dari media arus utama atau dari pemerintah. Peluang ini juga dimanfaatkan sebagai kepentingan ekonomi dan politik untuk memobilisasi opini masyarakat, di antaranya untuk mendeligitimasi penguasa dan memenangkan pemilihan kepala daerah.

Jadi, akar persoalan tumbuhnya hoaks bukan pada hoaks itu sendiri, tetapi karena tiadanya informasi yang sahih dan kredibel.

Hal ini terkait dengan lemahnya tata kelola informasi (information governance) pemerintahan sehingga menciptakan peluang bagi pihak lain untuk menggerus kepercayaan publik justru dari informasi yang berasal dari pemerintah sendiri. Tata kelola informasi yang baik akan membuat informasi tersedia bagi siapapun yang membutuhkan, melalui manajemen informasi yang lebih efisien dan partisipatif.

Tata kelola informasi yang baik juga akan mengurangi risiko hukum yang terkait dengan informasi yang tidak terkelola (unmanaged) dan lebih gesit dalam menanggapi dinamika masyarakat.

Secara komprehensif, pemerintah harus memperbaiki tata kelola informasi publik dan meningkatkan literasi internet masyarakat, khususnya kelompok native digital secara terus menerus agar mampu memanfaatkan internet secara benar dan bertanggung jawab.

Dengan langkah-langkah tersebut, hak masyarakat atas informasi akan mampu dipenuhi sehingga akan mengikis dan menutup peluang peredaran hoaks yang akan semakin sering terjadi di tahun politik 2018 dan 2019.

Kolom terkait:

Hoaks yang Dibercandai

Hoaks dan Nalar Kita

Ketika Media Sosial Menjadi Semakin Personal

Kaleidoskop 2017: CELUP dan Kekacauan Fungsi Media Sosial

Kita dan Darurat Muamalah Medsosiah

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.