Sabtu, Desember 7, 2024

Masuk Akalkah Dana Desa 5 Miliar Ala Anies Baswedan dan Gus Imin?

Felia Primaresti
Felia Primaresti
Peneliti di The Indonesian Institute The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
- Advertisement -

Tak bisa kita pungkiri, tahun politik adalah tahun yang seringkali menjadi pintu masuk menuju biner antara gagasan dan janji manis politisi. Ini juga terjadi pada Muhaimin Iskandar, selaku bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) sebagai pasangan dari bakal calon presiden Anies Baswedan. Mengutip dari CNN (09/09/2023), Muhaimin Iskandar menyampaikan bahwa salah satu target yang ingin ia perjuangkan dalam pemerintah baru adalah dana desa. Rencananya, ia akan naikkan anggarannya dari 1.5 miliar ke angka 5 miliar setiap tahun.

Menanggapi pernyataan calon wakilnya, Anies Baswedan di DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jakarta Pusat pada hari Senin, 11 September 2023 lalu menyebut bahwa janji itu akan disinkronisasi lebih lanjut. Sebagai pasangan yang baik, tentu Anies juga menyampaikan bahwa dirinya dan Gus Imin jelas memiliki komitmen yang sama terkait dengan kesetaraan. Lebih lanjut, menurutnya rencana PKB dalam rangka memajukan desa merupakan rencana yang baik.

Berangkat dari hal ini, rasanya perlu untuk kemudian melihat gagasan dan janji politik tidak sesederhana itu. Mari sejenak kita melihat hasil survei yang dilakukan oleh Voxpol Center Research and Consulting. Bahwa ternyata, preferensi pemilih dalam Pemilihan Presiden 2024 cenderung lebih menyukai calon presiden yang memiliki gagasan perbaikan dan program yang berkelanjutan. Data Voxpol menunjukkan bahwa sebanyak 40,8% responden memilih jawaban tersebut.

Data Voxpol secara sedehana mengatakan bahwa pemilih dewasa ini sudah kritis. Bahwa kebijakan populis menjadi sangat laku di Indonesia adalah sebuah keniscayaan, namun tetap perlu diingat, menyampaikan gagasan dan janji politik menjadi satu hal yang krusial sehingga tidak dapat dilakukan secara serampangan. Terlebih dalam konteks Dana Desa, edukasi politik yang berbobot menjadi esensial kerena ini adalah satu isu kebijakan yang serius. Mengapa demikian?

Tingginya Tingkat Korupsi Dana Desa

Diterapkannya Undang-Undang Desa memberikan kewenangan mandiri kepada pemerintah desa berkaitan dengan bagaimana dana tersebut akan dikelola. Hal ini misalnya bisa dilakukan dengan cara membuat program pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya desa sehingga masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Selain itu, pemerintah desa juga dapat melakukan peningkatan ekonomi dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), merencanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), serta melakukan pembangunan infrastruktur lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi desa.

Adanya kebijakan ini tentu berimplikasi pada persiapan yang perlu dirancang oleh Kepala Desa dan perangkatnya. Hal ini utamanya berkaitan dengan bagaimana menjalankan dan menganggarkan dana tersebut agar tepat sasaran. Mengingat pengelolaan potensi dan sumber daya yang tidak baik akan menimbulkan banyak hambatan seperti masalah keuangan desa, keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur yang tidak memadai (Rahman, 2018).

Berangkat dari hal tersebut, penyaluran dana desa dalam jumlah yang signifikan yaitu berada di angka 1 hingga 1.4 miliar rupiah, menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana pemerintah desa mengelolanya? Pertanyaan ini muncul mengingat Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya ada 154 kasus korupsi di desa desa sepanjang tahun 2021 dengan total kerugian negara sebesar Rp 233 miliar. Kasus ini merupakan yang tertinggi diikuti oleh kasus korupsi di sektor pendidikan sebanyak 44 kasus dan di sektor  transportasi umum sebanyak 40 kasus.

Fenomena ini diperparah dengan fakta bahwa dari banyaknya objek keuangan desa yang dikorupsi, setidaknya 82,47% merupakan dana desa dan sekitar 17,53% adalah objek korupsi yang lain. ICW telah melakukan pemantauan pada tahun 2015 sampai dengan 2022. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat korupsi dana desa fluktuatif, namun cenderung meningkat secara signifikan.

Pada tahun 2015, kasus korupsi dana desa ditemukan ada sebanyak 17 kasus dan melonjak drastis pada tahun 2016 menjadi 41 kasus. Lonjakan drastis kembali datang pada tahun 2017 dengan 96 kasus, tahun 2018 dengan 104 kasus, tahun 2019 dengan 46 kasus, tahun 2020 dengan 44 kasus, tahun 2021 yang kembali meningkat dengan 154 kasus, dan tahun 2022 sebanyak 155 kasus. Adapun grafik peningkatan kasus korupsi dana desa tersebut dapat dilihat melalui grafik berikut.

Sumber data: Indonesia Corruption Watch (2022).

- Advertisement -

Dalam konteks ini, penting juga melihat bahwa kepala desa merupakan aktor yang menjadi dominan dan sering disorot karena terjerat kasus. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya menunjukkan sudah ada sekitar 686 kepala desa dan perangkatnya terjerat kasus ini dari tahun 2012 sampai dengan 2021.

Tentunya, perbuatan mereka akan berdampak signifikan terhadap kerugian negara. Tercatat pada tahun 2015, negara rugi sekitar 9,12 miliar rupiah akibat korupsi dana desa, pada tahun 2016 sebesar 8,33 miliar rupiah dan angkanya melonjak pada tahun 2017 sebesar 30,11 miliar rupiah. Hal ini terus meningkat hingga data terakhir yang diketahui pada tahun 2021 lalu, jumlah kerugian negara akibat korupsi dana desa sebesar 233 miliar rupiah. Apabila di total, kerugian negara sudah mencapai angka 280 miliar rupiah atau bahkan lebih. Angka ini setara dengan memberikan dana desa ke sekitar 180 desa yang ada di seluruh Indonesia.

Bagaimana Kita Melakukan Refleksi?

Apabila kita kembali lagi ke pertanyaan awal mengenai apakah dana desa 5 miliar ala Anies Baswedan dan Gus Imin masuk akal? dengan berkaca pada tingginya kasus korupsi, maka menurut penulis, tentu saja jawabannya tidak. Tingginya tingkat korupsi dana desa setidaknya memunculkan beberapa asumsi bahwa pertama, kompetensi kepala desa dan perangkatnya buruk.

Kedua, tidak adanya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi dan yang ketiga adalah kebiasaan untuk menormalisasi perilaku serupa. Asumsi ini juga kemudian dikonfirmasi melalui Fraud Hexagon Theory, di mana menurut Donald R. Cressey setidaknya ada enam penyebab mengapa seseorang melakukan korupsi; stimulus, capability, collusion, opportunity, rationalization dan ego.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, pengelolaan dana desa sudah seharusnya dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa atau Kelurahan (LPMD/LPMK) dengan melakukan perencanaan, pelaksanaan, pelestarian dan pembangunan secara partisipatif. Artinya, LPMD dan LPMK ditempatkan tidak hanya sebagai objek kebijakan saja namun juga sebagai subjek dalam pembangunan di wilayah tersebut.

World bank juga memperkenalkan sebuah konsep yang mereka namakan dengan Community Driven Development (CDD), di mana pendekatan ini memberikan kontrol penuh atas perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan sumber daya di tingkat desa sepenuhnya kepada kelompok masyarakat. CDD merupakan sebuah konsep yang dianggap dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat karena mereka sendiri yang akan mengidentifikasi kebutuhannya sendiri dan mempersiapkan segala sesuatunya sendiri dengan dana yang sudah diberikan.

Dengan melihat permasalahan di atas, rasanya terdengar terlalu naif apabila meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dipandang sesederhana dengan menambah anggaran dana yang diberikan. Sebelum menambah alokasi dana, akan terasa lebih masuk akal apabila program yang ditawarkan juga bisa meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat desa sebagai orang yang berpartisipasi langsung dalam pengelolaan dana. Ini menjadi penting, mengingat lagi-lagi kesejahteraan masyarakat tidak serta merta hanya dinilai dari seberapa banyak dana yang dikucurkan kepada mereka, namun juga dari bagaimana dana tersebut dikelola.

Dengan hadirnya masyarakat yang berkapasitas, proses perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan bisa berjalan dengan lebih baik. Masyarakat bisa mengidentifikasi program prioritas yang akan mereka rancang, bagaimana cara melakukan pengadaan yang baik, bagaimana mengidentifikasi potensi kecurangan, bagaimana implementasi hingga melakukan evaluasi program yang baik. Dengan demikian, poinnya bukan terletak pada seberapa banyak dana yang diberikan, tapi seberapa banyak dana tersebut terserap secara efektif untuk kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, perlu rasanya untuk calon presiden memperhitungkan hasil survei atau riset tertentu sebelum menyampaikan gagasannya. Misalnya dalam hal ini mengenai preferensi apa yang digunakan pemilih dalam menentukan pilihannya. Berkaca pada data Voxpol Center Research and Consulting yang sudah disebutkan di awal, dapat disimpulkan bahwa potensi dukungan akan lebih besar apabila calon presiden bersangkutan, dalam hal ini tidak hanya Anies Baswedan dan koalisinya saja, dapat membuat program yang menjanjikan keberlanjutan dan perbaikan program di dalamnya.

Dalam konteks menambah anggaran dana desa, juga menjadi krusial untuk melihat seberapa banyak masyarakat kita yang saat ini masih tinggal di desa. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 sebanyak 56,7% masyarakat Indonesia sudah tinggal di perkotaan. Ini diprediksi akan terus meningkat sampai angka 70% di tahun 2045.

Data itu menjadi relevan mengingat berdasarkan voters behaviour theory, masyarakat perkotaan cenderung memiliki karakteristik yang modern karena pendidikan dan lingkungan mereka lebih beragam. Sehingga dalam memilih presiden, mereka akan cenderung menggunakan pendekatan yang rasional. Dengan demikian, diprediksi program-program populis berbau “gratis” tidak akan dianggap menarik di mata masyarakat perkotaan.

Berbeda dengan masyarakat kota, masyarakat di desa akan menggunakan pendekatan sosiologis dan psikologis dalam menentukan pilihan. Ini misalnya ditunjukkan dari kedekatan hubungan personal, kesamaan suku, agama dan ras, nilai-nilai tradisional atau dari seberapa menarik penampilan si calon di mata mereka. Bisa jadi iming-iming penambahan alokasi dana desa ke masyarakat akan terdengar menarik di kalangan tertentu.

Namun, yang perlu dipertanyakan kembali adalah, apakah kemudian hal ini masih relevan? Mengingat tingginya kasus korupsi, sumber daya yang belum mumpuni, ditambah sebagian besar masyarakat sudah tinggal di perkotaan, bahkan diprediksi akan terus meningkat penambahannya.

Felia Primaresti
Felia Primaresti
Peneliti di The Indonesian Institute The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.