Selasa, Oktober 8, 2024

Masihkah Madinah Dianggap Kota Suci? [Catatan untuk Iqbal Kholidi]

Husni Mubarok
Husni Mubarok
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Graduate Student Center for Religious and cross-Cultural Studies (CRCS), UGM. Beberapa hasil risetnya terbit dalam "Kontroversi Gereja di Jakarta" (2011) dan "Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia" (2014).
bom-madinah
Foto lokasi sebuah ledakan diduga bom bunuh diri mengguncang Kota Madinah, Arab Saudi, Senin 4 Juli 2016 (SkyNews)

Membaca analisis Iqbal Kholidi, Mengapa ISIS Mengebom Kota Suci di Bulan Suci?, tentang serangan teror mutakhir di Madinah, terasa ada yang kurang. Pertanyaan yang ia ajukan dalam tulisan itu merupakan pertanyaan bersama umat Islam di seluruh dunia. Kenapa teroris ISIS berani menyerang tiga kota di Saudi Arabia, dan satu di antaranya Madinah.

Tak terbayangkan sebelumnya teroris yang mengklaim ingin menegakkan khilafah Islam malah menyerang kota paling suci bagi kaum Musim. Kenapa mereka berani mengebom kota suci di bulan suci?

Iqbal menjawab pertanyaannya itu berdasarkan keyakinan anggota ISIS yang terungkap pada literatur yang selama ini mereka terbitkan. Menurutnya, ada dua argumen penjelasan kenapa kota suci dan bulan suci.

Pertama, Ramadhan bagi mereka adalah bulan di mana penaklukan demi penaklukan terjadi pada masa Nabi. Mereka yakin Ramadhan adalah bulan yang tepat untuk menaklukkan, termasuk membebaskan Madinah. Kedua, membebaskan Mekkah dan Madinah dari pemerintahan Saudi merupakan prioritas mereka ketimbang Israel, misalnya, setelah Irak dan Suriah.

Sepintas kedua argumen ini masuk akal mengingat ideologi ISIS sangat literalis. Namun, argumen ini tidak cukup kuat. Pertanyaannya, kenapa baru Ramadhan ini mereka menyerang kota suci, bukan Ramadhan sebelumnya?

Jika menaklukkan Madinah dan Mekkah adalah prioritas, kenapa baru kali ini mereka mewujudkannya? Dan, pertanyaan berikutnya, jika mau menaklukkan, kenapa serangan bom bunuh diri yang dipakai sebagai metode, bukan serangan massif?

Analisis Robert Pape, direktur University of Chicago Project on Security and Terrorism, patut kita pertimbangkan untuk menjelaskan serangan bom di Madinah. Ia menulis dua buku paling lengkap mengenai kasus-kasus bom bunuh diri: Daying to Win (2005) dan Cutting the Fuse (2010). Berdasarkan riset kedua buku ini, Pape kini menjadi ahli yang sering dirujuk media-media ternama di dunia terkait serangan bom bunuh diri.

Pada buku pertama, Pape menguji argumen yang mengaitkan aksi bom bunuh diri dengan fundamentalisme Islam. Berdasarkan penelitiannya terhadap seluruh aksi bom bunuh diri sejak tahun 1980-2003, mayoritas aksi bom bunuh diri tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam. Mayoritas aksi bom bunuh diri dilakukan dalam rangka mengontrol wilayah yang mereka kuasai, yang mulai diokupasi militer. Entah organisasi Islam maupun organisasi lainnya, seperti Macan Tamil di Sri Lanka, melakukan bom bunuh diri untuk merebut wilayah kekuasaannya.

Di buku kedua, Pape mengajukan argumen serupa buku sebelumnya. Bedanya, kasus-kasus bom bunuh diri pada buku ini lintas negara. Ia, bersama koleganya, James K Feldman, menemukan 98 persen dari 1.833 kasus bom bunuh diri di berbagai belahan dunia dalam enam tahun terakhir (2004-2009) terjadi sebagai respons terhadap okupasi militer asing di wilayahnya.

Keduanya menunjukkan pada delapan kasus terbesar (Irak, Afghanistan, Pakistan, al-Qaidah, Libanon, Israel dan Palestina, Checnya, dan Sri Lanka).

Apa hubungannya dengan serangan ISIS yang belakangan semakin marak di berbagai negara? Menurut Pape, kasus-kasus mutakhir, seperti serangan di Prancis dan Orlando, merupakan respons terhadap serangan militer asing terhadap wilayah kekuasaannya di Irak dan Suriah.

ISIS semakin terdesak. Mereka kehilangan kontrol atas beberapa wilayah yang selama ini mereka kuasai. Terakhir, mereka kehilangan kontrol atas kota Fellujah. Pemerintah Irak berhasil mengambil alih wilayah Fellujah, salah satu kota terpenting kekuatan ISIS. Kekuatan ISIS sempat berusaha merebut kembali Fellujah, tapi gagal.

Kehilangan kontrol atas wilayah kekuasannya membuat mereka terpojok. Mereka kirim sinyal ke negara-negara yang selama ini turut serta menyerang bersama koalisi Amerika dengan bom bunuh diri. Prancis di antaranya. Mereka lakukan serangan bom dan penembakan di beberapa titik di Paris. Kehilangan wilayah Fellujah juga besar kemungkinan menjadi pemicu serangan bom bunuh diri di Baghdad yang menewaskan lebih dari 200 korban jiwa. Lalu, kenapa Madinah (Arab Saudi)?

Akhir tahun lalu, Arab Saudi mendeklarasikan diri sebagai pemimpin koalisi bersama 34 negara Muslim lainnya untuk menaklukkan ISIS. Dari 34 negara Islam itu, Indonesia salah satunya. Namun, koalisi ini tidak begitu jelas. Indonesia, sebagai contoh, menyatakan tidak bergabung dalam koalisi ini, meski sebelumnya sudah masuk dalam daftar.

amriks-csBelakangan, Arab Saudi menyatakan diri sebagai satu di antara lima negara yang berada di belakang serangan udara koalisi pimpinan Amerika Serikat ke wilayah yang dikuasai ISIS (perhatikan gambar di atas). Saudi sangat penting bagi Amerika agar serangan udara mereka tidak lagi dipersepsi sebagai benturan Barat dan Timur. Saudi dan empat negara Timur Tengah lainnya menetralisir bahwa ini bukan serangan terhadap Islam, melainkan teroris.

Serangan ke Arab Saudi, dengan demikian, menjadi semacam peringatan kepada Pemerintah Saudi untuk mundur dari serangan udara bersama Amerika. Jika tidak, Saudi harus siap menghadapi serangan-serangan teror di kota-kota lainnya.

Berdasarkan logika ini, ISIS tidak peduli Madinah kota suci atau tidak. Bagi mereka, Saudi adalah musuh nyata. Saudi adalah thagut yang harus diserang untuk mengembalikan kontrol terhadap wilayah di Suriah dan Irak yang kini semakin berkurang. Di mana serangan bom bisa dilakukan, di sana bom akan mereka ledakkan. Jeddah dan Qatif adalah dua wilayah lainnya yang sama pentingnya bagi ISIS untuk serangan teror.

Mengapa teror? Pasca serangan udara Amerika dan koalisinya, ISIS semakin melemah. Kini, mereka hanya mengandalkan aksi bom bunuh diri sebagai senjata sebagai serangan balik kepada negara koalisi Amerika. Hampir semua serangan di berbagai negara dalam setahun terakhir menggunakan bom bunuh diri.

Mereka menggunakan teror untuk mengguncang negara sasaran. Serangan teror yang menewaskan ratusan orang diharapkan akan mengganggu dan menggoyahkan legitimasi rakyat terhadap pemimpinnya. Dengan demikian, mereka berharap rakyat menuntut negaranya untuk menghentikan serangan ke Irak dan Suriah. Mereka berharap serangan udara ke wilaya ISIS menurun.

Untuk menghentikan serangan teror anggota dan simpatisan ISIS tidak mudah. Pilihan-pilihan yang tersedia memiliki ongkos yang tidak sedikit. Setidaknya ada dua pilihan.

Pertama, negara-negara koalisi menghentikan serangan udara ke Irak dan Suriah yang ISIS kuasai. Ongkosnya, ISIS akan semakin melebarkan sayap kekuasaannya ke berbagai negara di sekitar Irak dan Suriah. Semakin lebar kekuasaan ISIS, semakin mengancam berbagai pemerintahan di negara-negara Timur Tengah. Akibatnya, kemungkinan besar kerja sama internasional terganggu.

Kedua, tempur semua kekuatan ISIS sampai habis, meski belum tentu akan habis. Mereka akan kocar-kacir, pergi meninggalkan wilayah Irak dan Suriah. Mereka pergi ke berbagai wilayah di dunia. Di sana, mereka akan meningkatkan serangan teror bom bunuh diri. Teror di berbagai negara, apalagi atas nama Islam, semakin memperburuk situasi di berbagai negara di mana imigram Muslim berkumpul. Ultra konservatif berkuasa. Kekerasan meningkat. Stabilitas dan kerja sama internasional dengan sendirinya ikut rusak.

Kedua pilihan di atas bersifat strategis. Demi mencapai tujuan, segala macam taktik dan strategi dipakai. Akibatnya, apa yang kita persepsi suci, pada situasi perang dianggap tak lagi bertuah. Demikianlah kota Madinah dalam pandangan para pengantin bom. Siapa saja yang berada di wilayah musuh, bagi mereka, kotor dan harus diperangi. Tak ada lagi kesucian di dalamnya, termasuk Madinah.

Husni Mubarok
Husni Mubarok
Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Graduate Student Center for Religious and cross-Cultural Studies (CRCS), UGM. Beberapa hasil risetnya terbit dalam "Kontroversi Gereja di Jakarta" (2011) dan "Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia" (2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.