Jumat, April 26, 2024

Masih Adakah Tepo Seliro?

Arif Nurul Imam
Arif Nurul Imam
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting

Tepo seliro atau tenggang rasa merupakan nasehat bijak yang berasal dari kearifan lokal Jawa. Dalam khazanah budaya Jawa, tepo saliro didefinisikan sebagai sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. Wujud tepo saliro adalah sikap menjaga hubungan baik dalam kehidupan sehari-hari tanpa melihat latar belakang atau identitasnya untuk saling menghormati dan tolong-menolong.

Meski berasal dari bahasa Jawa, namun ungkapan tepo seliro beberapa waktu lalu sempat mencuat secara massif serta menasional, terutama di media sosial pasca insiden Kauman, Yogyakarta.

Sikap tepo seliro sejatinya bukan hanya monopoli suku Jawa. Ini karena sesungguhnya menjadi sikap sebagian besar suku-suku lain, bahkan juga merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Itu sebabnya, ajaran adiluhung ini mesti dirawat dan di tumbuhkembangkan di tengah kehidupan yang makin minim empati, tuna solidaritas dan maraknya superioritas dalam segala bentuk.

Menjunjung tinggi sikap tepo seliro tidak saja penting, melainkan mutlak diperlukan dalam menciptakan kehidupan yang harmoni, saling tolong menolong dan guyup-rukun, termasuk dalam dunia politik praktis. Hal tersebut lantaran tepo seliro selain berguna untuk memupuk solidaritas dan persatuan juga bermanfaat untuk mengurangi derajat polarisasi politik secara ekstrem.

Politik Nir Tepo Seliro

Di lanskap politik sikap tepo seliro sesungguhnya sangat penting dan dibutuhkan. Hal ini karena sikap tenggang rasa, tidak saja akan membangun kultur politik sehat, tapi juga berguna bagi stabilitas politik sehingga roda pembangunan bisa terus bekerja tanpa dibayang-bayangi oleh momok instabilitas politik.

Merebaknya politik  Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan merupakan salah satu pangkal mengapa para politisi cenderung mengabaikan tepo seliro. Jika semua itu demi kursi kekuasaan, apa pun juga akan dilakukan termasuk menabrak azaz tepo seliro. Akibatnya, jagat politik kita kehilangan ruh dan marwah perjuangan karena sekadar untuk mendapatkan kekuasaan dan saat yang bersamaan meminggirkan sikap adiluhung tersebut.

Sikap anti-tepo seliro dalam politik marak dalam beragam jenis yang kadang publik jarang memahami. Misalnya, melakukan  stigmatisasi pada pihak lain karena beda dukungan  politik atau beda kubu dengan label-label peyoratif, seperti tidak nasionalis, antek asing, tidak relegius, dan stigma-stigma yang mendiskreditkan lainnya. Ini sekadar contoh kecil yang sesungguhnya bentuk lain hilangnya tepo seliro dalam dunia politik belakangan ini.

Dalam Pilpres kemarin misalnya, pendukung Jokowi menuduh pendukung Prabowo sebagai pendukung yang keblinger karena Prabowo dianggap bagian Orde Baru, tidak merakyat dan memiliki sejarah kelam. Sebaliknya pendukung Prabowo, menuduh pendukung Jokowi sebagai orang yang tak relegius karena Jokowi dipersepsikan sebagai antek asing, petugas partai, dan tidak taat beragama.

Sementara yang golput ideologis di stigma pendukung Jokowi dengan tuduhan cuci tangan di tengah negara bangsa yang dalam kondisi darurat. Padahal semua itu, hanya sekadar untuk kepentingan elektoral belaka, tak lebih.

Stigma-stigma yang dibangun semacam ini sejatinya juga merupakan bentuk sikap anti tepo seliro. Dikatakan demikian karena kita tahu, pertarungan politik pada Pilpres kemarin akhirnya hanya berujung bersatunya kedua paslon dalam satu kubu pemerintah. Lantas dimana stigma-stigma tadi? Tak lebih sebagai propaganda serta alat mendiskreditkan secara politik belaka untuk kepentingan elektoral capres-cawapres yang didukung.

Beda pilihan dalam demokrasi sesuatu yang lumrah dan wajar tanpa harus bersikap mendiskreditkan secara politik yang mengabaikan aspek tepo seliro. Toleransi politik ketika berbeda dukungan atau berbeda kubu politik tentu sebuah sikap kedewasaan berpolitik. Bertepo seliro akan perbedaan pilihan politik adalah keharusan jika hendak menuju bangsa maju dan besar. Padahal jika kesadaran dan kedewasaan politik tinggi dalam menghargai pilihan orang lain merupakan pilar penting dalam membangun kualitas demokrasi.

Meski nasehat Jawa kuno, namun tepo seliro hingga kini masih relevan diperlukan dalam membangun tatanan sosial politik yang harmoni, guyup-rukun, dan saling tolong menolong. Tanpa sikap ini, kita akan terperosok dalam lubang jarum menjadi bangsa yang egois, individualis dan tak bisa menghargai yang lain.

Dalam dunia politik pun, sikap tepo seliro juga mutlak diperlukan karena dengan sikap demikian maka kualitas demokrasi juga akan kian meningkat. Perebutan kekuasaan yang mengabaikan azaz tepo seliro hanya berdampak pada disharmoni sosial, polarisasi politik ekstrem dan kerapuhan bangsa dan negara.

Arif Nurul Imam
Arif Nurul Imam
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.