Ketakutan adalah hal yang azali. Sudah sejak lama pendekatan ketakutan jauh lebih efektif untuk menertibkan manusia. Perang, penaklukan, ancaman adalah metode kontrol yang lazim digunakan sampai kemudian pendekatan hak asasi manusia dan demokrasi datang menggantikan.
Ketakutan membuat manusia bisa melampaui batas kemampuan biologisnya, contoh sederhana dalam berlari dan melompat. Ketika dikejar seekor anjing, manusia bisa berlari lebih kencang dan melompati pagar yang lebih tinggi dibandingkan dalam keadaan normal. Bahkan harapan butuh alasan yang jauh lebih kuat untuk mengalahkan ketakutan.
Ketakutan inilah yang menjelaskan kemenangan Trump di Amerika, Brexit di Inggris, Bolsonaro di Brasil dan Anies Baswedan di Pilkada Jakarta. Hampir semua lembaga polling yang dipublikasikan seminggu sebelum hari pemungutan suara meleset melampaui margin of error.
Bagaimana Margin Ketakutan Bekerja
Metode riset kuantitatif sudah sejak lama menjadi ukuran kecenderungan perilaku dan pilihan pemilih dalam sebuah kontestasi elektoral. Tidak 100 persen tepat, karena itu selalu terdapat margin of error 1-5 persen tergantung jumlah sampel. Namun sekali lagi, riset ini hanya berlaku dalam keadaan pemilih yang tidak terkurung dalam kondisi ketakutan.
Kondisi perang atau suasana intimidatif membuat pemilih menjadi diam atau cenderung manipulatif. Itu pun oleh survey kuantitatof masih mungkin diukur melalui indikator tingkat stabilitas pilihan, swing voters, undecided voters, atau kemungkinan tidak memilih.
Dalam kasus Pilkada Jakarta, suasana mencekam, berita bohong (hoax), fitnah dan kebencian hanyalah prakondisi dari ledakan ketakutan yang sebenarnya. Ledakan sebenarnya terjadi kurang dari 36 jam menjelang hari pemungutan suara. Ada dua momentum krusial yang akhirnya mengurung pendukung Ahok memutuskan untuk tidak ke TPS menggunakan hak suara mereka.
Singapura adalah tempat dimana kejadian pertama diledakkan. Sebuah berita video tentang seorang etnis Tionghoa memaki Tuan Guru Bajang dengan sebutan “Tikko” disebarkan begitu massif melalui media mainstream dan media sosial. Hingga hari ini tidak seorang pun yang mampu melakukan verifikasi tentang kebenaran berita tersebut. Bagi etnis dan agama minoritas, ini menjadi gelombang ketakutan yang luar biasa. Drama ini menjadi semakin sempurna setelah di pagi hari sebelum pemungutan suara muncul sebuah berita video tentang seorang laki-laki yang mengamuk dan mengancam pendukung Ahok-Djarot yang menghuni salah satu apartemen di Jakarta untuk tidak ke TPS. Dua kejadian terpisah ini menjadi titik krusial yang menggulung undecided dan swing voters berpindah ke pasangan Anies-Sandi, serta sebagian pendukung Ahok-Djarot urung menggunakan hak suara dan memilih tinggal di rumah atau terbang ke luar Jakarta.
Margin Kebohongan dalam Pilpres 2019
Jokowi tentu bukan Ahok, apalagi setelah ada Kyai Maruf Amin sebagai Cawapres. Begitu juga seluruh lembaga survei merilis margin kemenangan Jokowi-Maruf hampir mencapai 8-15 persen di atas Prabowo-Sandi. Namun masih terdapat Mariin of error sekitar 2,5 -3,5 persen dalam setiap survei, dan jumlah undecided dan swing voters sekitar 14-18 persen.
Jika bergerak dengan asumsi pengalaman Pilkada Jakarta, di mana 36 jam terakhir sebelum pemungutan suara terjadi gelombang ketakutan, maka kemungkinan berubahnya peta perolehan suara akan menjadi malapetaka elektoral bagi Jokowi. Prediksi perolehan suara Jokowi akan tegerus oleh marrin of error negatif, minus 2,5-3,5 persen, ditambah undecided voters dan swing voters 14-18 serta pemilih Jokowi yang batal menggunakan hak suaranya, akan membalik angka perolehan suara dimana pasangan Prabowo – Sandi unggul.
Melawan Margin Ketakutan
Langkah antisipasi yang harus dilakukan pertama adalah tim riset pasangan Jokowi-Maruf harus bekerja sangat keras untuk mengukur kecenderungan pemilih dengan memasukkan simulasi jika gelombang ketakutan tercipta di 36 jam sebelum pemungutan suara. Berikutnya, tim kampanye darat dan media harus bekerja menciptakan kepercayaan diri pemilih Jokowi agar solid dan berani dalam segala kondisi termasuk situasi yang sangat mencekam sekalipun.
Demi terciptanya Pemilu yang bersih dan berkualitas, lembaga penyelenggara Pemilu dan Aparat keamanan harus bisa menjamin situasi aman dan nyaman menjelang pelaksanaan pemungutan suara. Isu Komunisme, SARA dan intimidasi jangan dibiarkan berlarut-larut. Aparat keamanan harus tegas agar setiap warga negara bisa menggunakan hak pilih dalam situasi aman terkendali. Begitu juga dengan insan media agar tidak mudah memberitakan kejadian-kejadian yang malah menyebarkan ketakutan pada publik. Jika semua itu bisa dijaga maka yang tersisa tidak lebih hanya keributan di media sosial tanpa pernah mampu merusak kualitas Pemilu 2019 yang akan datang.