Kamis, April 25, 2024

Manuel Gituloh, Romansa, dan Rasisme [Analisis Studi Postkolonial]

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
bule-ayam
Manuel Gituloh, bule asal Belanda, yang mengaku berpacaran dengan seekor ayam (Foto: www.facebook.com/manuelgituloh/

Dua hari lalu, pacar saya, peneliti Indonesianis kulit putih berkewarganegaraan Jerman, mengadu kepada saya bahwa komentarnya di kelompok feminis Indonesia di-block dengan tuduhan mansplaining. Alasannya, dia merespons sebuah video satire yang dirilis oleh Manuel Gituloh tentang seorang kulit putih asli Belanda yang berpacaran dengan Ayam.

Pacar saya menyatakan dia menyukai cara bule itu menggunakan humor untuk menyampaikan kritik streotip-streotip terhadap perempuan Indonesia yang mempunyai hubungan interasial. Tapi karena dia seorang lelaki kulit putih juga, maka alasan apa dan mengapa dia setuju dengan jokes itu membuat dia kehilangan hak untuk bersuara di kerumunan dalam dunia virtual tersebut.

Saya pribadi terkaget-kaget dan merasa tersinggung melihat video tersebut. Sebagai orang yang berada dalam hubungan interasial, saya tentu saja menolak segala streotip tersebut dan saya yakin banyak pasangan interasial lainnya juga tidak setuju dengan streotip tersebut.

Tidak mudah untuk membuat analisis mengapa kelompok feminis tidak setuju dengan video satir tersebut; mulai dari penggunaan bahasa, hiperseksualitas hingga tuduhan matre kepada perempuan lokal yang berpacaran dengan pria kulit putih. Tapi tulisan ini dibuat untuk memaparkan bagaimana gagasan tentang ras dan gender mempengaruhi kita sekarang dan justru membawa kita mundur jauh ke belakang.

Keberatan Feminis Indonesia
Berkat feminisme dan teknologi, kita tidak hanya hidup di dimensi yang membuat tubuh sosial kita bertemu, dunia virtual yang menjadi faktor yang tidak bisa dilepaskan untuk studi ilmu sosial pada masa sekarang. Sebab, beberapa pandangan dan bagaimana manusia dan masyarakat melihat dirinya dilakukan juga di dunia virtual di mana tubuh berinteraksi tetapi tidak secara langsung.

Kini mulai bermunculan studi-studi yang membahas interaksi dan mempelajari pola manusia berperilaku dalam era digital. Karena tubuh mampu dibelenggu tapi tidak dengan pikiran. Pikiran bisa jauh mengembara dan melalui media sosial mempertemukan kita pada kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ide-ide yang sama dengan kita.

Hal ini terjadi pada kelompok orang-orang, tidak terbatas pada jenis kelamin, orientasi seksual ataupun kewarganegaraan untuk berkumpul karena memiliki ide-ide tentang kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di dunia maya bernama Indonesia Feminis.

Grup yang memilih facebook sebagai sarana untuk mempertemukan ide-ide dan gagasannya ini memberikan berbagai informasi dan isu-isu yang baik untuk siapa pun yang ingin mengetahui tentang pandangan feminis Indonesia terhadap pemberitaan ataupun kepedulian terhadap gender non-maskulin seperti perempuan dan trans.

Grup ini bukan satu-satunya kelompok feminis di dunia maya dan juga bukan satu-satunya wajah feminisme di Indonesia. Feminisme beragam karena setiap perempuan mengalami bentuk penindasan berbeda-beda.

Video satire tersebut menyakiti kelompok feminis ini, termasuk saya. Karena penggunaan bahasa seperti perempuan Indonesia yang berkulit gelap dan mirip pembantu dan matre. Kita bisa tidak setuju dengan konten yang diungkapkan dalam video tersebut. Bahasa menjadi bermasalah karena bahasa-bahasa memperkuat identitas perempuan Indonesia.

Penyederhanaan perempuan Indonesia berkulit hitam dan mirip pembantu adalah penggambaran bahwa perempuan berkulit gelap tidak cantik dan mengemukakan inferioritasnya. Ditambah “ayam” dan matre tentu saja memperlihatkan bahwa seakan-akan perempuan Indonesia memang bergantung kepada laki-laki dalam memenuhi kebutuhan ekonominya.

Tapi bagaimana kalau keberatan yang diajukan, dan metode “membungkam” yang dilakukan oleh saya dan teman-teman feminis terhadap laki-laki kulit putih adalah reproduksi berpikir saya yang sama dengan para kolonialis abad ke-17?

Stereotip ini hanya terjadi pada perempuan Indonesia yang punya hubungan romansa dengan lelaki kulit putih. Bagaimana dengan pria Indonesia yang berpacaran dengan perempuan kulit putih? Adakah streotip tentang itu? Dan mengapa yang “agung” hanya laki-laki kulit putih dan tidak diangkat bagaimana pengalaman perempuan Indonesia yang punya hubungan romansa interasial yang bukan perempuan Indonesia-kulit putih? Bagaimana pula hubungan perempuan Indonesia dengan pria kulit kuning seperti Taiwan atau mungkin kulit hitam?

Untuk itu, konstruksi tentang hirarki berdasarkan warna kulit perlu dipertanyakan kembali.

Pemikiran Rasisme dan Pemisahan Timur dan Barat
Perkembangan pemikiran pascamodernisme juga mendorong serta kritik terhadap berbagai ilmu sosial, khususnya yang bercorak positivis. Studi Orientalisme dikritik habis dengan mengkritik tonggak utama analisisnya, dikotomi Timur dan Barat. Edward Said sebagai salah satu punggawanya menyatakan, “Orientalisme atau ‘studi’ tentang Timur pada akhirnya merupakan suatu visi politis tentang realitas yang strukturnya mengemukakan suatu perlawanan biner antara yang dikenal (Eropa, Barat, kita) dan dengan yang asing (Orient, Timur, mereka).”

Studi pascakolonial membantu kita untuk mengetahui bahwa presepsi kita tentang Timur dan Barat justru dikonstruksi oleh pengetahuan Barat tentang Timur sendiri.

Pandangan ini revolusioner dan saya langsung melakukan refleksi pada hidup saya sendiri. Bagaimana saya perempuan memiliki imajinasi tentang pangeran berkuda putih yang akan menyelamatkan saya dari hidup yang nestapa melalui pernikahan serba putih adalah pengetahuan yang saya dapatkan dari film-film Disney Princess yang saya tonton sewaktu saya kecil.

Sebagai keturunan Tionghoa dan memiliki kulit terang saya ketakutan jika kulit saya menggelap. Maka, saya menggunakan jaket jika harus berhadapan dengan sinar matahari langsung dan hampir seluruh produk lotion di Indonesia mempromosikan produknya mampu membuat kulit pengguna menjadi lebih putih-cerah.

Obsesi menjadi putih tidak hanya terjadi pada kita, bangsa Indonesia, tetapi juga Jepang dan Korea Selatan yang mempopulerkan “cantik” yang berkulit porselen, rambut yang berwarna coklat-blonde, mata yang besar. Nyata-nyatanya kita semua mengambil konstruksi kecantikan kulit putih.

Tapi kita tidak bisa memungkiri juga hiperseksualisasi yang dilakukan Barat terhadap perempuan kulit berwarna. Akhir-akhir ini, aliran feminis kulit berwarna mengkritik tren laki-laki kulit putih menikahi perempuan Asia karena dipopulerkan oleh bos Facebook, Mark Zuckerberg, yang menikahi Priscilla Chan.

Perempuan Asia digambarkan misterius, eksotis, dan selalu patuh. Dan tentu saja, ini hanya streotip. Dan streotip berfungsi untuk melestarikan suatu rasa perbedaan diri dengan pihak lain. Streotip adalah alat untuk membedakan “kami” dan “kalian”.

Tapi adakah “kami” dan “kalian” kalau kita saling mengkonstruksi pandangan kita masing-masing terhadap warna kulit dan hirarki? Bagaimana kita melihat orang Papua yang dilekatkan segala streotip buruk seperti “pemabuk” dan “pembuat onar” yang dilakukan etnis Jawa.

Streotip yang digunakan etnis Jawa terhadap orang Papua dilihat pada kacamata rasisme dan bukan sebagai separatis NKRI. Yang saya lihat dalam kasus kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta adalah bagaimana sistem imperialisme-kapitalisme dan kolonialisme dilanggengkan jalannya melalui rasisme.

Melampaui Dikotomi dan Warna Kulit
Manusia tidak bisa hidup lebih dari 100 tahun, bahkan angka hidup orang Indonesia pada tahun 2013 hanya 72,7 tahun. Sedangkan pria sedikit di bawahnya, yaitu 68,4 tahun. Manusia tak bisa hidup selamanya, tapi pikiran bisa. Dan pikiran bisa menjadi sebuah budaya yang terus direproduksi beratus tahun, bahkan ribuan tahun setelahnya.

Gagasan-gagasan pemisahan melalui warna kulit dan pembungkaman subaltern kita temui pada abad ke-17 atau bahkan sebelumnya dan terus direproduksi hingga sekarang abad ke-21. Kita menyadari bahwa telah berada dalam penindasan dan perendahan yang dikonstruksi melalui ilmu pengetahuan kolonial.

Sejarawan UI Rahardian Rundjan mengatakan pada saya bahwa hal yang terpenting dalam mempelajari sejarah adalah mempelajari sistem kolonial, bukan membenci kulit putih dan mengagung-agungkan narasi tentang pribumi. Karena imajinasi kita tentang kolonial kulit putih amat terbatas.

Dalam studi yang dilakukan sejarawan Andi Achdian tentang sejarah kota Surabaya, misalnya, menemukan bahwa kolonial tidaklah satu wajah, kulit putih tidak selalu pegawai pemerintahan. Mereka bisa jadi partikelir (pegawai swasta dan pengusaha) dan kadang justru berseberangan kehendak dengan pegawai pemerintahan Belanda, walau sama-sama kulit putih dan berasal dari negara yang sama.

Namun, pengetahuan kita tentang kulit putih penjajah direproduksi melalui budaya populer, misalnya lewat pementasan yang mengungkapkan bahwa penjajah dan tentara NICA selalu berkulit putih (padahal kebanyakan tentara NICA justru berasal dari India).

Kita berada dalam kondisi informasi serba cepat dan gagasan-gagasan menyebar tanpa batas waktu dan ruang lagi. Cara berpikir kita harus dirombak ulang. Kita perlu merefleksikan kembali bagaimana kita menerima dan mempersepsikan identitas. Karena, nyatanya pikiran kita selama ini hanya bisa berimajinasi secara sederhana dan biner.

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.