Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak soal status hukum pencalonan mantan narapidana (korupsi) dalam Pilkada. Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 itu pada intinya mengatur sebagai berikut.
Pertama, semua mantan napi (kecuali pelaku tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik) dapat diajukan sebagai calon kepala daerah setelah melewati batas waktu lima tahun terhitung sejak selesai menjalani hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, bagi mantan napi tersebut wajib secara jujur dan terbuka (melalui media cetak) mengumumkan jati dirinya sebagai mantan napi.
Secara tekstual Putusan MK atas uji materi yang diajukan Perludem dan ICW ini memang tidak menyebut secara spesifik mantan napi koruptor. Namun mantan napi koruptor tidak termasuk yang dikecualikan. Yang dikecualikan hanya tiga: pelaku tindak pidana kealpaan, tindak pidana politik, dan kejahatan berulang. Artinya mantan napi korupsi termasuk yang terkena dampak putusan MK ini. Bagi saya, Putusan ini dibacakan pada waktu yang tepat dan menjadi kata akhir dari silang sengketa politik-hukum selama ini mengenai pencalonan mantan napi korupsi.
Dikatakan tepat waktu karena Putusan MK ini dibacakan sebelum dimulai tahapan pencalonan, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada. Jadi tidak ada pihak yang dirugikan.
Coba bayangkan seandainya Putusan itu dibacakan ketika proses pencalonan telah dimulai dan kebetulan ada mantan napi korupsi yang dicalonkan di suatu daerah. Kalau sudah terlanjur diajukan ke KPU, tentu calon tersebut merasa dirugikan secara materiil maupun non-materiil dengan keluarnya Putusan ini.
Kedua, dikatakan mengakhiri silang sengketa karena sejak proses pencalegan dalam Pemilu 2019 yang lalu status mantan napi korupsi menjadi bahan perdebatan politik hukum yang tidak pernah tuntas. Ketika KPU berinisiatif untuk melarang mantan napi korupsi diajukan sebagai Caleg, banyak pihak yang memuji, meski tidak kurang banyak pula yang mencela.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil mengapresiasi KPU karena berani mengambil terobosan hukum padahal tidak ada satu pasal atau ayat pun di UU Pemilu yang melarangnya. Selain itu KPU juga tidak bersedia memenuhi desakan DPR dan pemerintah (dalam hal ini Kemendagri dan Kemenkumham) yang tidak setuju KPU mengatur larangan tersebut dalam Peraturan KPU.
Di sisi lain, ada banyak pihak yang tidak setuju dengan inisiatif KPU ini, dengan mengatakan bahwa KPU telah melampaui kewenangan. Sebab (1) UU dan MK tidak melarang mantan napi koruptor dicalonkan sebagai Caleg; (2) mantan napi korupsi juga memiliki hak politik untuk dicalonkan; dan (3) pembatasan hak politik hanya bisa dilakukan melalui UU atau Putusan Pengadilan.
Yang lebih menggelikan lagi, tidak sedikit pihak yang melihat inisiatif KPU dengan sinis. Mereka mengatakan bahwa KPU sedang bermain politik atau, lebih buruk lagi, sedang mencari sensasi. Saya berfikir, entah apa yang merasuki fikiran orang-orang seperti itu, yang selalu melihat orang lain sebagai makhluk politik dan setiap tindakan orang selalu punya motif politik.
Apakah dalam kamus hidup orang-orang seperti itu tidak ada lema “idealisme”? Pertanyaannya, apakah kita dapat mencapai demokrasi konstitusional dengan sekedar
memenuhi prosedur-prosedur demokrasi dan aturan-aturan hukum formal, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etis dan kebaikan bersama?
Untuk melarang mantan napi korupsi maju dalam pilkada sebetulnya ada banyak jalan yang bisa ditempuh. Secara regulasi, sekurangnya ada tiga pihak yang punya peluang mengambil peran.
Pertama, KPU sebagai penyelenggara teknis dapat mengaturnya melalui PKPU. Ini jalan paling mudah. Toh, KPU mau melakukannya. Tapi risikonya juga besar: dibatalkan MA. Kedua, Revisi UU Pilkada merupakan jalan paling baik. Tapi syaratnya berat: pemerintah dan DPR harus memiliki komitmen yang sama. Dan ketiga, MK dapat mengeluarkan Putusan jika ada pihak yang mengajukan permohonan uji materi. Ini jalan paling memberi kepastian hukum, karena mengikat semua pihak.
Di luar soal regulasi, tentu parpol menjadi pihak paling berotoritas untuk menentukan siapa yang akan dicalonkan atau tidak dicalonkan. Lalu masyarakat sipil punya peran untuk melakukan advokasi. Kemudian rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi untuk menentukan siapa yang akan dipilih sebagai pemimpin di suatu daerah. Dan jangan lupa, kekuatan pro-demokrasi punya tanggung jawab untuk terus mengkampanyekan isu ini sehingga menjadi kesadaran publik. Tentu bagi yang setuju untuk melarang pencalonan mantan napi koruptor. Bagi yang tidak setuju, sih, ada seribu alasan yang tersedia untuk membenarkan pecalonan mereka.
Namun ternyata, MK telah menjadi penentu akhir. Dan jalan keluar yang diberikan MK telah memberi jalan tengah paling adil. Hak konstitusional mantan napi (korupsi) untuk diajukan sebagai calon kepala daerah tidak dihapuskan sama sekali.
MK hanya mengatur jeda lima tahun, yang setara dengan lama siklus penyelenggaraan Pilkada. MK mengatur pembatasan ini dengan pertimbangan nilai-nilai dalam masyarakat demokratis, antara lain: kepantasan, kesalehan, kewajaran, kemasukakalan, dan keadilan. Sehingga MK berkesimpulan bahwa hak konstitusional publik untuk mendapatkan calon pemimpin daerah yang berkualitas harus didahulukan (hal. 61-62).
Dengan keluarnya Putusan MK ini, setidaknya kita punya tiga pelajaran penting. Pertama, kita diperlihatkan bagaimana gerakan masyarakat sipil seperti ICW dan Perludem, alih-alih institusi-institusi demokrasi formal, telah ikut mengambil tanggung jawab dalam menyelamatkan pemilu dari pelaku dan perilaku korupsi. Mereka proaktif untuk melakukan advokasi dengan cara mengajukan uji materi pasal-pasal dalam UU yang potensial menciderai integritas pemilu kita.
Kedua, dengan keluarnya Putusan ini, sekali lagi MK memperlihatkan peran pentingnya dalam menyelamatkan demokrasi konstitusional. Di saat produk legislasi tidak lagi sesuai dengan tuntutan keadilan dan kemaslahatan umum, dan pada saat yang sama para pemilik kewenangan legislasi enggan untuk merevisi produk legislasinya, maka MK merespon tuntutan publik dengan putusan yang lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ketiga, demokrasi Indonesia akan terus mengalami tantangan dari berbagai kekuatan non-demokratis. Dan sayangnya tidak semua institusi demokrasi punya visi yang sama soal nilai-nilai kebaikan bersama (common good). Dalam isu mantan napi korupsi, misalnya, ada beberapa institusi demokrasi yang berlindung di balik argumen legal-formal untuk secara sadar menghadang dan membatalkan inisiatif KPU. Ini tentu harus menjadi kewaspadaan dari semua kekuatan pro-demokrasi.
Semua pihak mungkin tahu bahwa korupsi itu buruk. Namun ternyata tidak semua menyadari bahwa korupsi telah membawa dampak sangat buruk bagi demokrasi di Indonesia, negara yang kita cintai ini.