29 April, pukul 17.00 WIT (Waktu Indonesia Timur), 41 orang ditangkap di Jayapura hanya karena menyebarkan selebaran. Sebelumnya, dua orang ditangkap di Merauke pada 25 April saat mengantar surat pemberitahuan aksi. Itu sesudah represi aparat pada 23 April di Kaimana dan Fak-fak. Semua mereka yang mengalami teror dari pihak keamanan adalah aktivis-aktivis dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Saat itu, organisasi pimpinan Victor Yeimo ini sedang mempersiapkan aksi serentak pada 2 Mei. Rencananya, aksi damai ini akan berlangsung di beberapa kota di tanah Papua dan juga kota lain di Sulawesi dan Jawa.
Penangkapan dan teror tidak menyurutkan semangat. Sesuai rencana, pada 2 Mei 2016 KNPB kembali melakukan aksi serentak. Jayapura, Sorong, Merauke, Wamena adalah beberapa kota yang mengerahkan massa untuk terlibat. Makassar (Sulawesi) dan Semarang (Jawa) juga ikut terlibat.
Hasilnya? Hampir 1.700 orang ditangkap hanya dalam sehari. Menurut Papua Itu Kita (PIK), ada 1.449 orang yang ditangkap di Jayapura. Sementara itu, 118 lainnya ditangkap di Merauke. Di kota Sorong dan Wamena, ada masing-masing 27 dan 14 orang aktivis yang ditangkap. Sebanyak 45 orang ditangkap di Semarang dan 42 orang lain ditangkap di Makassar.
Peristiwa ini bukan kali pertama dan banyak yang sadar bahwa kejadian ini akan terus berulang. Ini anomalinya.
Mereka yang ditangkap, menurut rangkuman informasi yang saya terima dari kawan-kawan di lapangan, adalah anak-anak muda yang tergabung dalam KNPB, sebuah organisasi politik perjuangan pembebasan Papua. KNPB sejauh ini adalah organisasi yang paling sering mendapatkan represi.
Menurut data internal KNPB, sejak April 2009 hingga Juni 2012, sudah 39 orang aktivis organisasi ini yang dibunuh aparat keamanan secara ekstrajudisial (tanpa pengadilan). Sementara itu, melalui penelusuran media, saya menemukan bahwa sejak Januari 2013 hingga Januari 2016, jumlah ini kembali bertambah banyak setelah KNPB kembali kehilangan 21 orang kader mereka.
Untuk sebuah organisasi yang bahkan belum berumur satu dekade, kehilangan hingga 60 orang kader mereka adalah pukulan telak yang dapat merontokkan semangat perjuangan.
Toh, KNPB urung surut. KNPB justru semakin tampil ke depan dan dapat dikatakan sebagai salah satu organisasi massa paling berpengaruh di tanah Papua. Suara mereka bulat menuntut kemerdekaan dan secara aktif mendorong pendekatan non-kekerasan dalam aksi-aksi mereka. Anak-anak muda di KNPB menjadikan tubuh sebagai tumbal dan bersiap jika sewaktu-waktu hidup mereka direnggut dan menjadi martir.
Perjuangan politik macam ini tentu tidak hadir dari alasan-alasan sepele seperti tuduhan elite Jakarta. Bahwa ini semata hanya soal ketimpangan pendidikan dan mal-administrasi anggaran hingga ke level tapak. Semangat mereka yang membatu adalah bentukan sejarah. Diasah oleh pengalaman-pengalaman menyakitkan yang tidak dapat ditemukan bandingannya di bagian lain Indonesia. Itu mengapa, sungguh naif jika kita menggunakan kacamata Jakarta atau tempat lain untuk memandang Papua dan semangat politik pembebasannya.
Orang-orang di Papua dan sebagai kecil orang Indonesia tentu ingat ketika Jokowi berkampanye di Papua. Saat itu Gubernur DKI Jakarta non-aktif ini menampilkan diri sebagai orang yang dapat dijadikan sandaran untuk menyelesaikan banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan perampasan tanah ulayat di sana.
Imaji Jokowi tersebut setidaknya sukses membuat dirinya menangguk lebih dari 50% suara pemilih di dua provinsi di tanah Papua. Namun setelah duduk di tampuk kekuasaan selama lebih dari 18 bulan, angin perubahan tak kunjung bertiup ke Papua.
Harapan untuk menyelesaikan persoalan di Papua dengan dialog tidak pernah ditanggapi pemerintah. United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat, yang merupakan representasi berbagai faksi perjuangan politik di tanah Papua, dianggap angin lalu oleh pemerintahan Jokowi. Hampir dua tahun berkuasa, Presiden Jokowi juga belum menunjukkan bahwa ia serius untuk menangani persoalan militerisme di bumi Cendrawasih.
Pembebasan Filep Karma dan beberapa orang tahanan politik terbukti hanya menjadi silat diplomasi rezim Jokowi untuk sekadar meredam tekanan internasional yang gerah dengan penangkapan semena-mena, represi terhadap kebebasan berekspresi, dan pembatasan akses jurnalis asing ke Papua.
Kita belum menyebut bagaimana Jokowi menipu orang Malind dengan menyerahkan 1,2 juta tanah hutan sagu mereka kepada MEDCO untuk dikonversi menjadi sawah. Tentang bagaimana harapan Amungme dan Komoro yang harus dipaksa tetap bersabar menunggu kapan Freeport angkat kaki. Atau bagaimana Suku Besar Yerisiam Gua kini harus menjalani sengketa dengan PT Nabire Baru karena merampas hutan sagu untuk dijadikan perkebunan sawit. Juga soal mama-mama di Jayapura yang sudah setahun lebih menunggu kapan pembangunan pasar akan benar-benar direalisasikan.
Problem di Papua sejak dianeksasi Indonesia memang begitu kompleks.
Ia tidak berdiri sendiri, karena berkelindan erat dengan sejarah diskriminasi yang terentang panjang. Pengalaman traumatis yang diperburuk oleh operasi-operasi militer, perampasan tanah untuk kepentingan investasi, represi terhadap kebebasan berekspresi politik dan kebudayaan, membuat Papua penuh lebam, luka yang menganga, dan tidak mungkin sembuh tanpa pendekatan yang dialogis, manusiawi, dan setara.
Menanam kapsul harapan di Merauke sangat jauh dari cukup untuk dapat dibilang sebagai inisiatif yang cukup dari Jokowi untuk menyelesaikan persoalan Papua. Pembebasan tahanan politik hanya karena tekanan internasional justru membuktikan bahwa Jokowi tidak serius memandang sengkarut problem politik dan penindasan di tanah Cendrawasih.
Jika memang Jokowi serius, ia harus mau berdialog dengan perwakilan orang Papua. Bersama mencari jalan keluar agar tidak lebih banyak lagi orang asli Papua yang jadi korban. Bersamaan dengan itu, Jokowi harus berani mengendalikan militer dan polisi yang begitu liar dan brutal dalam melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para aktivis Papua.
Hanya dengan begitu, Jokowi dapat menepati janjinya ketika mengawali kampanyenya menuju kursi presiden dengan mengunjungi Papua. Sekarang orang-orang Papua menunggu Jokowi, dengan tidak sabar, agar mau duduk dan mendengar apa sebenarnya keinginan mereka. Dan untuk momen itu, orang-orang Papua telah menunjuk wakil mereka: Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP).
Kolom Terkait: