Kamis, Maret 28, 2024

Mahkamah Kalkulator dan Nasib Perseteruan Jokowi-Prabowo

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Ketuk palu Ketua Majelis Hakim Konstitusi pada sidang perdana perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada Jumat, 14 Juni 2019, ini menandai awal dari endgame  alias ronde terakhir laga Joko Widodo versus Prabowo Subianto. Dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat, apa pun yang menjadi putusan MK kelak harus diterima oleh kedua belah pihak.

Kita sungguh berbahagia, sebelum sidang perdana dimulai, Prabowo telah menunjukan sikap dan mengimbau pendukungnya untuk mempercayai apa pun yang menjadi putusan MK. Perubahan sikap ini jelas merupakan angin segar agar kontestasi pilpres tak lagi dipandang sebagai wadah berseteru dua kubu. Imbauan sejuk Prabowo, meski terlambat, tetap patut mendapat apresiasi tinggi.

Terlepas adanya indikasi aroma Tim Mawar pada 21-22 Mei lalu, jika Prabowo tidak menyampaikan pernyataan awal untuk menghormati apa yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi, kemungkinan yang terjadi di perempatan Sarinah hingga Petamburan bisa saja tereplikasi di depan gedung MK. Karena simbol politik dari massa yang kecewa terhadap hasil pilpres perlu didinginkan oleh tokoh yang sedang mereka perjuangkan.

Sama halnya dengan Prabowo, Jokowi sebagai petahana sekaligus pihak terkait di persidangan Mahkamah Konstitusi nanti juga harus menunjukkan sikap yang sama mengimbau tim dan pendukungnya agar menghormati apa yang menjadi putusan MK. Sebab, jika yang dicari setelah pilpres adalah rekonsiliasi politik, maka yang ditagih pertama sekali adalah iktikad baik yang sama dari kedua belah pihak.

Melacak Kemungkinan

Kritik agar MK tidak sekadar menjadi Mahkamah Kalkulator bukanlah hal baru dalam menilai bagaimana Mahkamah Konstitusi memutus perkara perselisihan hasil pemilu. Begitu banyak contoh yang bisa dilihat, khususnya bagaimana Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara perselisihan hasil pilkada. Kritik yang menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator didasari pada seringnya mahkamah penting ini menggunakan paradigma pembuktian yang sifatnya menghitung ulang perolehan suara (kuantitatif) ketimbang konstitusionalitas penyelenggaran pemilu sehingga memunculkan hasil pemilu yang kemudian disengketakan di MK (kualitatif).

Secara singkat boleh disebut bahwa perdebatan antara Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator dengan Mahkamah Konstitusi sebagai guardian of constitution sekaligus sebagai the guardian of democracy  telah hadir sejak lama. Faktanya, seiring waktu Mahkamah Konstitusi telah banyak memutus perkara perselisihan hasil pilkada yang melampaui batasan agar tidak sekadar menjadi Mahkamah Kalkulator untuk menegakkan keadilan dalam pemilu.

Jejak ini dapat dilacak dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 41/PHPU.D-VI/2008 pada perkara perselisihan hasil pilkada Jawa Timur. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa MK tidak dapat dipasung hanya oleh bunyi undang-undang melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap berpedoman pada makna substantif undang-undang itu sendiri.  Adapun putusan ini sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penegakan hukum pemilu. Khususnya dalam hal sengketa proses yang pada masa itu dinilai tidak mampu memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak.

Meski begitu, dalam konteks sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden,MK  tidak memiliki rekam jejak mengalahkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menurut keputusan Komisi Pemilihan Umum memperoleh suara terbanyak. Ada banyak alasan yang kemudian untuk dapat memaklumi kenapa Mahkamah Konstitusi memutus demikian. Sebagaimana juga ada banyak alasan untuk tidak dapat memaklumi keberadaan presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui proses yang tidak adil dalam kadar sekecil apa pun.

Nasib Gugatan Prabowo-Sandi

Mencermati respons dari apa yang didalilkan oleh pasangan Prabowo-Sandiaga dalam gugatannya ke MK, banyak pihak yang berspekulasi bahwa permohonan tersebut akan ditolak MK. Mungkin memang benar jika sejauh ini kita membaca berkas gugatan tersebut. Meski kuat menggunakan dalil terstruktur, sistematis dan masif, akan tetapi secara bukti yang mereka cantumkan terlihat lemah apabila menarik benang merah sejauh mana kecurangan sifatnya terstruktur, sistematis dan masif tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara Prabowo-Sandiaga.

Kendati begitu, proses pembuktian pada persidangan nanti akan menguji dalil-dalil gugatan tersebut. Dengan selilisih perolehan suara lebih dari 16 juta suara, maka untuk memenangkan sengketa di MK, pihak Prabowo Sandiaga harus membuktika lebih dari 8 juta suara yang semestinya harus mereka peroleh. Hal ini tentu tidak mudah, selain jumlah yang besar, kita sulit membayangkan alat bukti apa yang akan dihadirkan di persidengan nanti untuk membuktikan jumlah suara sebesar itu.

Sesuatu yang sungguh teramat luar biasa jika jumlah suara sebesar itu dapat dibuktikan oleh kubu Prabowo-Sandiaga. Walau tidak ingin mematahkan pucuk harapan terakhir Prabowo-Sandiaga, sejak awal segala sesuatu sudah harus diperhitungkan dari hasil yang terbaik sampai yang terburuk.

Kembali ke pangkal tulisan, apa pun yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi harus dihormati oleh semua pihak. Perlu ditegaskan, kenegarawanan sering muncul dari orang-orang yang bijak dalam menyikapi kekalahan atau memilih mengalah untuk kemaslahatan yang lebih besar.

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.