Pada Februari 1992 ada dua peristiwa yang berandil besar mengubah sepakbola Inggris untuk selama-lamanya, membelahnya menjadi sebelum dan sesudahnya. Yang pertama adalah disepakatinya bentuk English Premier League (EPL) menggantikan sistem First Division (Divisi Utama). Yang kedua adalah debut yang dilakukan Eric Cantona di persepakbolaan Inggris, setelah mendapat sanksi dari federasi sepakbola Prancis dan sempat menyatakan berhenti dari sepakbola.
EPL dan duit hak siar televisi yang dihasilkannya secara gradual membuat liga Inggris menggeliat dari kepariaannya, terutama setelah terisolasi dari sepakbola Eropa pasca-Tragedi Heysel pada 1985. Duit itu juga yang kemudian menyadarkan sepakbola Inggris bahwa mereka sudah terlalu lama keras kepala dengan gaya sepakbola mereka, dan mulai membuka diri terhadap bakat-bakat dari luar, terutama dari Eropa daratan. Dimulai dari Cantona, sepakbola Inggris kemudian kedatangan pemain-pemain dengan persona dan kemampuan yang tak dijumpai di era sebelumnya: Dennis Bergkamp, David Ginola, Ruud Gullit, Gianfranco Zola, Thierry Henry, dst. Nama-nama itu, juga para penerusnya, meninggalkan jejak sangat dalam dalam sejarah dan perkembangan sepakbola Inggris saat memasuki milenium ketiga.
Cantona sendiri adalah nama tengah kesuksesan Manchester United di era Premier League. Ia memberikan gelar liga pertama bagi United setelah 26 tahun, dengan total empat gelar liga dari lima tahun masa baktinya. Dan tak diragukan, ia adalah katalis terpenting bagi tumbuh-kembangnya tim terbaik dalam sejarah sepakbola Inggris, Angkatan ’92, yang memberikan puluhan gelar bagi MU, baik bersamanya maupun setelahnya.
Hingga musim 1991-1992, pendukung Liverpool terbiasa menyanyikan ejekan kepada United: “Kalian tak akan pernah lagi juara!” Cantona datang dan membaliknya.
Cantona mendefinisikan kejayaan United di era Premier League, itu jelas. Dan ironisnya, tentu saja, juga nasib Liverpool. Yang agak jarang disebut, ia jelas-jelas juga menandai sebuah era bagi United yang lain: Leeds, klub pertamanya di Inggris.
***
Setelah lepas dari era Don Revie (1961-1974), yang memberikan dua gelar liga, satu Piala FA, satu Piala Liga, dan dua final kejuaraan Eropa (Piala Winners dan Piala Eropa), Leeds terlunta-lunta dalam kemediokeran selama nyaris dua sekade. Ketika Howard ‘Wilko’ Wilkinson mengambil alih kepelatihan tim ini dari Billy Bremner pada 1988, Leeds sedang di dasar klasemen divisi dua. Wilkinson kemudian membawa Leeds naik ke Divisi Utama setahun berikutnya.
Ketika Leeds tengah bersaing dengan MU di puncak klasemen di pertengahan musim 1991-1992, Cantona sedang menjalani trial bersama Sheffield Wednesday, klub tetangga Leeds. Ketika Sheffield terlalu pikir-pikir untuk merekrut Cantona, sementara Cantona enggan menjalani proses tes, Wilkinson datang ke hotel tempat Cantona menginap. Mengabaikan semua kontroversi yang melingkupi Cantona di Prancis, Wilkinson mengontrak Cantona tanpa pernah melihatnya bermain secara langsung. Ia hanya mengandalkan rekomendasi dari Gerard Houlier, yang saat itu menjadi asisten pelatih di timnas Prancis dan kelak menjadi manajer Liverpool.
“Tutup matamu dan ambil dia, kau akan mendapatkan pemain hebat,” begitu kata Houllier kepada Wilkinson sebagaimana dicatat Philippe Auclair, penulis biografi Cantona.
Wilko mendapatkan apa yang dikatakan Houllier, tapi itu tak membuat Cantona diistimewakan. Punya reputasi mentereng di negeri asalnya, dengan dua gelar liga bersama Marseille dan dianggap sebagai pemain terbaik Prancis setelah era Platini usai, Cantona adalah tambahan penting bagi Leeds, tapi bukan yang terpenting. Ia hanya tampil 15 kali, 9 kali di antaranya sebagai pemain cadangan, dengan sumbangan tiga gol, ketika Leeds United memenangi gelar Liga musim 1991-1992—gelar terakhir untuk mereka hingga hari ini.
Meski demikian, itu tak menghalangi kisah “cinta yang aneh”—seperti digambarkan Auclair—antara Cantona dan pendukung Leeds. Lagu “Ooh-ah Cantona” sudah dinyanyikan di tribun Elland Road hanya dua minggu setelah kedatangannya, dan kemudian mendominasi perayaan juara. Dan Cantona membalasnya. “Kenapa aku mencintai kalian?” tanya Cantona kepada 150 ribu fans Leeds, di balkon kota, saat perayaan juara. “Aku tidak tahu kenapa, tapi aku mencintai kalian.”
Arti penting Cantona bagi Leeds menjadi jelas justru setelah ia pindah ke MU pada November 1992. Wilko mengganggap Cantona “mengganggu kekompakan tim”, demikian klaim Anthony Clavane, penulis memoar tentang Leeds United, Promised Land. Perpindahan itu terjadi hanya beberapa minggu setelah Cantona mencetak dua hat-trik untuk Leeds, masing-masing saat melawan Liverpool di Community Shield dan Spurs di Liga. Sementara MU—dengan Cantona di dalamnya—memulai masa-masa keemasannya, Leeds menjalani format baru Liga Inggris dengan gagap, dan di akhir musim terdampar di peringkat ke-17 klasemen.
Manajer David O’Leary, dengan anggaran besar dan deretan pemain muda penuh harapan seperti Rio Ferdinand, Jonathan Woodgate, Lee Bowyer, Alan Smith, Mark Viduka, dan Harry Kewell, sempat mencoba mengupayakan kejayaan Leeds kembali. Antara 1998-2001, mereka selalu beredar di level atas Premier League, dengan puncaknya adalah semifinal Liga Champions musim 2000-2001. Lalu hutang dan perselisihan kepemilikan menghancurkan mereka. Pada 2004 Leeds terdegradasi, dan tak kunjung kembali.
Empat belas tahun kemudian, seorang Argentina gila mencoba membangkitkan mereka.
***
Hanya berbilang pekan dari perayaan juara Leeds di musim panas 1992, Newell’s Old Boys, sebuah klub semenjana di Argentina, yang lebih dikenal karena pemain-pemain yang diekspornya ke Eropa dibanding prestasinya, juga tengah merayakan gelar domestiknya. Itu adalah gelar kedua beruntun mereka dalam tiga musim di bawah asuhan Marcelo Bielsa. Masih 37 tahun kala itu, tak punya karier yang meyakinkan sebagai pemain, berlatar belakang keluarga politisi dan intelektual terpandang (dua saudaranya pernah jadi menteri luar negeri dan wakil gubernur), Bielsa dianggap membawa jalan ketiga bagi sepakbola Argentina, setelah berakhirnya era Cesar Menotti dan Carlos Bilardo.
Orang Argentina menyebutnya El Loco (si gila), dan itu bukannya tanpa alasan. Menurut penulis sepakbola Jonathan Wilson, Bielsa tumbuh di antara ribuan buku di perpustakaan pribadi kakeknya di Rosario, berlangganan lebih dari 40 jurnal olahraga, dan mengoleksi ribuan video rekaman pertandingan sepakbola. Untuk membentuk sebuah kesebelasan universitas, saat ia memulai karier kepelatihannya di usia 25, ia menyeleksi tiga ribu pemain. Ketika mulai bekerja untuk tim muda Newell’s, ia berkeliling Argentina, menyetir lebih dari lima ribu mil, untuk mendapatkan pemain yang diinginkannya.
Ia membawa kamus ke tempat latihan, dan para pemain diharuskan membaca makalah yang dibuatnya tentang tim yang akan mereka hadapi; dan bahkan PR, jika mengacu kepada kisah tentang Mauricio Pochettino. Ia bisa menghabiskan waktu menonton rekaman pertandingan hingga 14 jam sehari. Jika diperlukan, Bielsa mampu menonton dua pertandingan sekaligus.
Jika diukur dari isi lemari trofinya, Bielsa terlihat seperti pelatih semenjana. Selain dua gelar domestik bersama Newell’s, dan satu gelar domestik lain bersama Velez Sarsfield, capaian tertingginya adalah medali emas sepakbola bersama Argentina di Olimpiade 2004 Athena. Ia membawa Newell’s ke final Copa Libertadores dan Athletic Bilbao ke final Europa Cup dan Copa del Rey, tapi semuanya berujung kekalahan. Tim nasional Argentina yang dipegangnya selama empat tahun juga nirgelar, bahkan pernah mengalami titik terendahnya ketika gagal lolos dari babak grup di Piala Dunia 2002. Tapi Bielsa dipuja dengan cara yang sedikit berbeda.
Ia dianggap sebagai bapak sepakbola modern Chile, tempat ia begitu dicintai dan dianggap sebagai pahlawan nasional. Ia mengubah mentalitas dan cara bermain tim nasional negara itu untuk selama-lamanya, membuat Chile menyeruak di antara dominasi trio Brazil, Argentina, dan Uruguay di Amerika Latin. Inovasi taktik dan metode kepelatihannya dianggap sebagai sebuah penemuan baru, dan karena itu banyak ditiru. Muncul dan merebaknya para pelatih baru Argentina di kawasan Amerika Latin maupun di klub-klub besar di Eropa dianggap tak lepas dari sentuhannya, di level klub maupun tim nasional. Tata Martino, Diego Simeone, dan Mauricio Pochettino adalah nama yang paling menonjol di antaranya. Ia juga dianggap guru oleh para pelatih lebih muda yang tak bersentuhan secara profesional dengannya, seperti Jorge Sampaoli dan Pep Guardiola.
Pochettino dan Guardiola, tanpa keraguan, punya kalimat yang sama soal Bielsa: “Ia adalah pelatih terbaik di dunia.”
***
Bielsa punya persamaan dengan Cantona untuk satu hal: tidak menyukai kompromi. Dan karena karakter tersebut, kekacauan, dengan jenis dan level yang berbeda, adalah bagian tak terpisahkan dari CV keduanya. Dan dengan CV macam itulah, di waktu yang berbeda, keduanya memasuki Elland Road.
Menonjok kawan, menendang lawan, mengkungfu penonton, memaki pelatih, menyerang wasit, bahkan membodoh-bodohkan Komisi Disiplin di persidangan adalah kisah yang selalu diulang-ulang soal Cantona.
Bielsa, dengan metodologi latihan yang sangat rigit dan disiplin, dan cara bermain timnya yang frontal menyerang, membuat para pemainnya sangat terkuras, baik secara fisik maupun mental. Maka, sangat gampang ditengarai bahwa tim-tim yang diasuh Bielsa akan menggila di musim pertamanya sebelum ambruk di musim berikutnya. Hal inilah yang terjadi dengan Athletic Bilbao. Atau lebih singkat lagi, seperti yang terjadi di Marseille, yang dibuat Bielsa merajalela di paruh pertama musim sebelum amburadul saat kompetisi berakhir.
Atau yang lebih singkat lagi, seperti yang terjadi Lille musim lalu. Dipecat setelah hanya menang tiga kali dari 14 pertandingan yang dijalaninya, Bielsa meninggalkan Lille, sebuah klub dengan reputasi besar di Liga Prancis, terdampar di dasar klasemen dan mesti berjuang sepanjang sisa musim untuk menghindari degradasi.
Atau lebih singkat lagi, seperti dua hari aneh yang dijalaninya di Lazio pada musim 2016.
Mungkin karena itu, wawancara pertamanya sebagai pelatih Leeds disampaikannya dalam nada merendah. Ia menyebut bahwa menjadi pelatih Leeds adalah pekerjaan yang jauh lebih besar dari yang seharusnya ia dapat.
Namun, reputasi yang dibangunnya, mitos-mitos yang menyelimutinya, anekdot-anekdot aneh yang memenuhi artikel tentangnya, pemujaan-pemujaan orang-orang hebat di sepakbola Inggris kepadanya, membuatnya menjadi pesona tersendiri di awal musim Liga, menyeruak di antara pembelian-pembelian besar Liverpool dan keluhan-keluhan Jose Mourinho. “Berita terbesar di sepakbola Inggris saat ini,” begitu tulis Paul McInnes dari The Guardian.
Dan berita itu terus membesar ketika hingga pekan keenam Leeds United memimpin klasemen Championship, dengan kemenangan-kemenangan besar, dan permainan menyerang yang memukau.
Orang-orang yang tahu reputasi Marcelo Bielsa tentu saja tak sabar melihat apa yang akan terjadi dengan Leeds di ujung kompetisi. Namun, para pendukung Leeds tak perlu menunggu terlalu lama untuk memujanya. Mereka sudah menyanyikan nama Bielsa di pertandingan kedua, seperti dulu mereka menyanyikan nama Cantona.