Food and Agriculture Organization/FAO atau Badan Pangan dan Pertanian PBB memperingatkan potensi krisis pangan sebagai dampak dari pandemi Corona. Pasalnya, banyak negara menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah, termasuk pembatasan sosial berskala besar seperti yang diterapkan di Indonesia.
Oleh karena itu, FAO meminta setiap negara yang sedang mengatasi penyebaran virus corona juga menjaga kelancaran rantai pasokan makanan agar tidak terjadi kelangkaan bahan pokok makanan di satu sisi dan kenaikan harga yang berlebihan di sisi lain.
Rantai pasokan makanan melibatkan interaksi yang kompleks, seperti di sektor pertanian yang melibatkan petani, benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, pengecer dan lainnya. Jaringan yang kompleks juga terdapat pada sektor peternakan dan perikanan.
Nah, akibat penyebaran Virus Corona, rantai pasok tersebut mulai mengalami kendala yang menurut FAO sudah mulai terlihat pada bulan April dan akan terus berlanjut sampai Bulan Mei. Hal tersebut terlihat dari Data FAO tentang Industri pelayaran yang membawa logistik bahan pokok. Angka mobilitasnya menunjukan perlambatan akibat banyak Pelabuhan yang ditutup sementara. Indikasi tersebut dapat memicu masalah logistik yang tentu dapat mengganggu rantai pasokan dalam beberapa minggu, bahkan beberapa bulan, ke depan.
Dalam konteks makanan (pangan), rantai pasok terkait dengan dua kategori, yakni rantai pasok komoditas pokok seperti beras, gandum, jagung, kedelai dan rantai pasok komoditas bernilai tinggi seperti buah dan sayur-sayuran.
Menurut FAO, produksi komoditas bahan pokok yang bersifat padat modal belum terlalu terpengaruh oleh masalah kekurangan tenaga kerja selama masa pandemic, tapi cukup terganggu dari sisi mobilitas. Namun sebaliknya komoditas sayuran dan buah-buahan justru sedang membutuhkan banyak tenaga kerja yang produksinya terhambat saat pekerja atau petani sakit atau terbatas ruang geraknya.
Berbeda dengan krisis pangan global tahun 2007-2008, sejak pandemi awal tahun ini, pasokan komoditas pangan terhambat karena kendala logistik atau distribusi. Contohnya, ekspor produk bahan pokok dari Argentina yang menghasilkan kedelai dan dari Brasil yang menghasilkan pakan ternak dunia, mengalami hambatan karena pemerintah pusat di negara-negara tersebut memblokir jalan menuju pelabuhan dengan alasan pencegahan corona. Mislanya, secara internasional, jika pelabuhan utama seperti Santos di Brasil atau Rosario di Argentina ditutup, hampir pasti akan menimbulkan bencana bagi perdagangan global
Jadi dalam konteks domestik Indonesia, selain melindungi pasokan dalam negeri, penting pula digalakan kerja sama lintas negara untuk mengamankan pasokan pangan. Diharapkan bahwa tiap negara tidak membuat pembatasan jalur perdagangan secara membabi buta.
Sejauh ini, membatasi perdagangan secara total nampaknya belum terlalu perlu, karena bisa merugikan produsen dan konsumen, bahkan berpeluang membuat panik pasar. Logikanya, jika satu negara mulai melakukan pembatasan ekspor, semua negara lain berpeluang mengikutinya dan itu akan menjadi penyebab malapetaka bagi pasar, terutama pasar makanan pokok.
Tarif impor dan hambatan perdagangan nontarif pun disarankan diminimalkan. Bahkan khusus untuk komoditas makanan pokok, tarif impor yang lebih rendah akan memfasilitasi impor pangan dan karenanya bisa membantu mengatasi kekhawatiran pasokan atau kenaikan harga di suatu negara, termasuk Indonesia.
Jadi pemerintah tak ada salahnya mengurangi PPN sementara untuk komoditas pangan yang memang belum bisa dipenuhi di dalam negeri di satu sisi, tapi di sisi lain sangat disarankan untuk memberikan insentif semaksimum mungkin pada pelaku rantai pasok dalam negeri, terutama petani dan distributor bahan pokok.
Masalah lainya berada di tingkat produksi, seperti berkurangnya jumlah buruh tani. Sejak Corona merebak, beberapa negara Eropa mengalami kesulitan mendapatkan buruh tani untuk menghadapi musim panen bulan ini. Begitu pula dengan Spanyol yang tak bisa mendatangkan buruh tani migran dari Maroko karena terkendala larangan bepergian dari pemerintahnya yang menetapkan kebijakan lockdown selama 20 hari.
Dalam masa normal, menurut laporan World Economic Forum, semestinya lebih kurang 16 ribu buruh tani musiman dari Maroko bekerja di Spanyol. Padahal, sebagaimana diberitakan Reuters, negara tersebut sedang menjalani masa panen blueberry sampai pertengahan Mei nanti dan membutuhkan banyak tenaga panen. Pelajaran untuk kita adalah bahwa Indonesia sangat perlu menjaga sustainability aktifitas pertanian bahan pokok, perkebunan holtikultura, pertenakan, dan perikanan, terutama yang terkait dengan komoditas beras, gula, garam, sayur-sayuran, dan lauk-pauk.
Masalah selanjutnya adalah pembengkakan biaya distribusi. Menurut penelitian FAO, masalah peningkatan biaya mengakibatkan negara-negara miskin susah mengakses makanan. Kemampuan daya belinya tertekan sedemikian rupa. Ditambah lagi inflasi mata uang karena tersuruknya kondisi perekonomian dunia.
Jadi, negara yang tak memiliki lahan tanam dan mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok akan terdampak secara langsung. Tentu akan semakin buruk situasinya jika Corona membuat rantai pasok bahan makanan menjadi terkunci (locked down), yang juga berarti mengunci jalur makanan pokok ke negara-negara pengimpor. Menurut FAO, kondisi seperti ini akan berlangsung sampai Mei, bahkan Juni.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam kondisi normal, Indonesia masih tergolong negara dengan masalah kelaparan serius. Menurut data Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius.
Poin ini bahkan mengalami penurunan dari tahun 2010 (24,9) dan 2005 (26,8). Indonesia juga masih mengimpor beberapa jenis makanan pokok dari luar negeri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2019 menyatakan, impor beras Indonesia periode Januari-November 2018 mencapai 2,2 juta ton. Melonjak dibandingkan periode Januari-Desember 2017 yang hanya mencapai 305,75 ribu ton. Nilai impor beras dalam periode yang sama juga mengalami peningkatan menjadi US$ 1,02 miliar dibanding sepanjang 2017 yang hanya sebesar US$ 143,65 juta.
Volume impor jagung nasional pada 2018 juga mengalami peningkatan sebesar 42,46% menjadi 737,2 ribu ton dari 517,5 ribu ton pada 2017. Berdasar data BPS pada 2018, Indonesia paling banyak mengimpor jagung dari Argentina yakni sebanyak 238,06 ribu ton atau senilai US$ 51,56 juta.
Cilakanya, di sisi lain nilai tukar rupiah terhadap dolar mengalami pelemahan signifikan, bahkan sempat menyentuh level Rp 16.450/US$. Risikonya, jumlah beras dan jagung yang bisa diimpor untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional tentu akan berkurang. Terlebih lagi, sebaimana dikatakan data FAO, tiga negara eksportir beras dunia (India, Vietnam dan Thailand) justru telah terlebih dahulu menaikkan biaya ekspor mereka.
Jadi dalam konteks persoalan ini, imbauan presiden kepada BUMN untuk mencetak sawah atau lahan pertanian dan sejenisnya, jauh dari cukup untuk menuju Indonesia yang mandiri secara pangan karena imbauan bukanlah instrumen yang dibutuhkan.