Lady Chatterley’s Lover (1928) berpusat pada Connie Chatterley, seorang wanita yang menaruh simpati mendalam pada Lawrence. Penulis, D.H. Lawrence, dengan cekatan menempatkan narasi utama melalui sudut pandang orang ketiga mahatahu, sesekali menyelami relung jiwa karakter lain. Dilema Connie begitu pelik: ia terperangkap dalam pernikahan hambar, tanpa cinta dan tanpa anak, dengan Chatterley yang lumpuh dan telah kehilangan kejantanannya akibat Perang Dunia Pertama.
Hidupnya terasa hampa, terisolasi secara sosial dan geografis di sebuah perkebunan tak menarik di English Midlands. Chatterley, suaminya, memang bergantung secara fisik, namun di sisi lain ia posesif dan sangat menuntut kekuasaan. Lawrence dengan tajam menguliti setiap sifat buruk Chatterley dan menelusuri bagaimana upaya Connie menjadi istri yang baik perlahan terkikis, bahkan setelah ia bertemu dan terpikat pada penjaga perkebunan, Mellors. Mellors sendiri, dengan caranya yang halus, juga telah diubah oleh pahitnya pengalaman perang.
Seperti Chatterley, Mellors kini memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang apa yang ia inginkan dari hidup. Bukan sekadar perselingkuhan dengan Connie yang ia cari pada awalnya, melainkan kebebasan dari kungkungan masyarakat kelas atas Inggris. Mellors adalah representasi dari tipe baru pekerja kelas bawah Inggris: ia berwawasan luas, percaya diri, dan tak lagi sudi menerima status quo-nya.
Karena itulah, ia menjadi karakter yang pantas mendampingi judul novel Lawrence. Namun, hanya melalui interaksi dengan Connie lah pembaca diizinkan merasakan kedalaman emosi yang sesungguhnya, baik itu rasa intim maupun ketidaknyamanan yang mendalam.
Novel terakhir Lawrence ini dianggap yang paling skandal. Bahkan setelah penulis mengawasi langsung proses pencetakannya di sebuah toko cetak di Italia, seorang teman berseloroh bahwa jika saja pencetak tidak bisa berkonsentrasi, kita mungkin tidak akan sepenuhnya menghargai bagaimana Lawrence berani menantang pembacanya hanya melalui seks. Memang, ada adegan-adegan seksual dalam novel ini.
Adegan-adegan tersebut digambarkan secara eksplisit, namun tidak vulgar atau pornografi, dan tidak bertujuan untuk merangsang. Sebaliknya, cara Connie dan Mellors bercinta berfungsi sebagai alat untuk mengungkap karakter mereka yang sesungguhnya. Kedua tokoh ini memiliki riwayat seksual yang menarik, dan interaksi fisik mereka mengubah cara mereka memandang diri sendiri serta dunia di sekitar mereka.
Lawrence secara berani dan jujur menampilkan berbagai jenis hubungan subversif dalam novel ini—suatu elemen yang paling menonjol. Meskipun Chatterley digambarkan lumpuh karena perang, Lawrence tidak memberikan keringanan kepadanya; ia justru digambarkan sebagai sosok yang dingin, egois, hipersensitif, sombong, dan lemah. Ironisnya, kualitas-kualitas negatif inilah yang memungkinkan Chatterley bertransformasi menjadi seorang industrialis Inggris.
Lawrence juga menganalisis secara mendalam apa yang ia anggap sebagai kelemahan fundamental Inggris, seperti sistem kelas dan karakter esensial masyarakatnya. Pada satu titik, ketika Chatterley berusaha menjadi penulis dan berhasil, Lawrence menggambarkan karyanya sebagai hampa dan tidak bernilai—kesuksesannya di Inggris justru menjadi simbol kekosongan itu sendiri.
Bagi pembaca modern, terutama kaum wanita, karakter Connie menghadirkan sebuah dilema yang menarik. Lawrence, sang penulis, menunjukkan simpati yang jauh lebih besar kepadanya, begitu pula kepada karakter wanita lain seperti Ny. Bolton dan saudara perempuan Connie. Salah satu hal yang patut dicatat adalah Lawrence tidak pernah memaksa karakter wanita-wanita ini untuk saling mengkhianati, sebuah tuntutan yang seringkali dipaksakan oleh banyak penulis lain.
Dilema Connie begitu kompleks: ia tidak hanya terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta dan tanpa anak dengan Chatterley, yang lumpuh dan kehilangan kejantanannya akibat Perang Dunia Pertama, tetapi ia juga merasakan kesepian yang mendalam, terisolasi oleh status kelas dan lokasi geografis di sebuah perkebunan yang suram di English Midlands. Meskipun Connie sangat bergantung pada cinta Mellors, ia tetap menunjukkan kesetiaan dan simpati yang meyakinkan.
Namun, Lawrence juga menggambarkan pertemuan intim pertama Mellors dengan Connie sebagai sesuatu yang mendekati pemerkosaan, karena Connie tampaknya tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi dan tidak memberikan persetujuan eksplisit. Ada dua cara untuk menafsirkan adegan ini.
Di satu sisi, tindakan Mellors yang “mengambil” Connie membuatnya tampak bodoh dan sedikit brutal. Namun, di sisi lain, meskipun Connie—layaknya banyak pahlawan wanita Inggris—tidak kehilangan simpati pembaca dengan bertindak semaunya, Lawrence memberinya kedua sisi mata uang: Connie menikmati hubungan fisik dengannya, namun ia tidak sepenuhnya memahami implikasinya.
Mellors digambarkan sebagai pria yang tangguh namun ramah, dengan pencerahan spiritual yang khas. Ia memiliki kebutuhan seksual yang spesifik dan terus mencari seorang wanita yang dapat memenuhinya hingga ia menemukan Connie. Daya tarik maskulinnya terletak pada keterusterangannya mengenai selera makannya, meskipun pandangannya seringkali bertentangan dengan apa yang mudah diterima. Dalam beberapa aspek, ia lebih menyerupai reinkarnasi koboi Amerika daripada tipikal pria Inggris (sebuah kiasan yang mungkin terinspirasi dari pengalaman Lawrence tinggal di American West).
Namun, Mellors bukanlah sosok pemimpi yang naif. Tidak ada indikasi di akhir novel—berbeda dengan karakter seperti Mr. Darcy di Pride and Prejudice—bahwa ia bersedia mengesampingkan kebanggaan atau prasangkanya, atau bahwa Connie dan Mellors ditakdirkan untuk hidup bahagia selamanya. Meskipun pernikahan mereka akan membentuk ikatan seksual yang kuat, tampaknya mereka hanya akan membuat konsesi dan menemukan cara untuk bergaul.
Halaman-halaman terakhir novel justru mengungkapkan sisi praktis dari hubungan mereka: Connie dan Mellors akan segera berpisah untuk memungkinkan Connie mendapatkan perceraian. Mereka berencana mencari sebuah pertanian, dengan warisan Connie sebagai modal (di mana cinta dan uang kembali bersatu). Ketidakpuasan Lawrence terhadap Inggris begitu mendalam, sehingga ia tidak dapat membayangkan akhir yang bahagia terjadi di sana, hanya kerja keras yang tiada henti.
Yang sangat saya hargai dari Lady Chatterley’s Lover adalah bagaimana Lawrence, di tengah semua gagasan yang begitu inovatif—dan pada masanya, dianggap radikal—berhasil merangkai sebuah novel yang tetap mempertahankan struktur penulisan tradisional yang solid. Karakter-karakternya sangat memikat dan kompleks, adegan-adegannya digambarkan dengan jelas dan hidup. Berbagai tema, mulai dari seksualitas, antagonisme kelas, hingga motif pertentangan antara alam dan industri, dikembangkan dengan cermat sehingga mudah dipahami.
Lawrence dengan mahir memanfaatkan perangkat realisme klasik, bukan untuk merusak bentuk novel, melainkan justru untuk memperluas cakrawala diskusi tentang ide-ide mendasar yang terkandung dalam karya tersebut. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan provokatif: Bagaimana seharusnya perempuan menegosiasikan identitas ganda mereka sebagai individu yang memiliki agensi sekaligus sebagai objek kepemilikan? Bagaimana mereka menavigasi pencarian cinta yang otentik? Dan bagaimana dunia pastoral dapat bersanding dengan dunia industri, atau bagaimana uang dan pekerjaan bisa selaras?
Lawrence mungkin tidak memberikan semua jawaban, seperti yang tersirat di akhir cerita, namun kejeniusannya terletak pada kemampuannya merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang begitu brilian dan menggugah pemikiran.