Jumat, Maret 29, 2024

Akankah Kita Melanggengkan Kultur Kekerasan Islam terhadap Perempuan?

Kalis Mardiasih
Kalis Mardiasih
Periset dan anggota tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian.

Dokumenter To Kill A Sparrow: Afghan Women Jailed for Love (2014) mengisahkan nasib kurang baik Suheila dalam asmara. Ia adalah seorang perempuan Afghanistan yang sejak usia lima tahun telah dipilihkan jodoh oleh ayahnya. Ketika Suheila beranjak remaja, ia mengetahui kabar itu, tetapi ia sama sekali tak tertarik dengan anak kawan ayahnya itu. Suheila kabur dari rumah.

Di tengah pelariannya, ia bertemu seorang laki-laki yang kemudian dicintainya. Mereka menikah dan Suheila melahirkan seorang anak laki-laki dan hidup amat bahagia. Tiga tahun kemudian, ayah Suheila menemukan mereka. Sang ayah marah besar lalu memasukkan Suheila ke penjara perempuan.

Kisah Suheila adalah salah satu penyebab saya mulai berpikir tentang bagaimana pengetahuan tentang perempuan serta teks yang menerangkan kewajiban perempuan direproduksi. Saya cukup kaget ketika melihat ayah Suheila berkata bahwa setiap anak perempuan harus patuh apa saja yang dimau oleh ayahnya. Dan akibat perbuatan Suheila yang melanggar salah satu hal yang dianggap sebagai kewajiban mutlak anak perempuan, ayah dan kakak laki-laki Suheila berkata bahwa Suheila boleh dibunuh agar langsung masuk neraka karena perbuatannya. Ayah dan kakak laki-laki Suheila yakin bahwa mereka benar, dan kebenaran yang mereka yakini itu bersumber dari teks-teks Islam.

Doktrin Islam yang diyakini mampu membuat ayah mengirim anak perempuan dengan balitanya ke penjara, memisahkannya dari laki-laki baik yang ia cintai. Meski dalam hati, saya tak benar-benar yakin bahwa teks Islam itu yang menggerakkan semua keputusan, melainkan naluri kuno perihal kedigdayaan laki-laki yang tak boleh dicederai oleh sebentuk perlawanan.

Sebetulnya, hukum negara Afghanistan memperbolehkan perempuan yang telah berusia 16 tahun untuk memilih jodoh mereka sendiri. Namun, tradisi hukum Islam yang didominasi oleh tafsir laki-laki masih begitu kuat, sehingga seringkali pemerintah memilih mengalah. Apa dan bagaimana itu terjadi? Bolehkan tafsir yang telah disakralkan berabad-abad seolah adalah hukum Allah itu digugat?

Saya selalu bertanya-tanya mengapa pernah ada sebuah masa ketika lahirnya seorang anak perempuan dianggap merusak kehormatan keluarga sehingga bayi perempuan itu lalu dikubur hidup-hidup untuk menutupi malu. Mengapa pernah ada sebuah zaman ketika perempuan menjadi jaminan hutang, hadiah, mahar dan waris layaknya benda mati yang dipindahtangankan dari satu tuan ke tuan lainnya.

Alquran datang dengan semangat tauhid, melekati laki-laki maupun perempuan dengan status sebagai hamba Tuhan yang keduanya adalah khalifah fil ardh. Teks Islam menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang beriman saling menjadi auliya’ alias penjaga satu sama lain dengan setara, bahu membahu memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan.

Ada masa ketika satu orang laki-laki dapat mengawini hingga ratusan perempuan, memajangnya, menggilirnya, menganggap hal menjijikkan semacam itu sebagai sebuah prestasi yang menambah kelaki-lakiannya sebab pola hidup berperang antarsuku yang demikian bebal itu. Ayat Alquran langsung meringkus jumlah yang biadab itu menjadi empat saja dengan prasyarat keadilan, lalu menutup ayat dengan penegasian dan penegasan “maka satu saja” dengan pengingat bahwa berbuat adil adalah hal yang sangat sulit.

Dalam bayangan saya, betapa Islam datang dengan kegilaan yang luar biasa untuk mengubah sebuah peradaban laki-laki yang membenci perempuan. Islam turun dengan semangat relasi keadilan laki-laki dan perempuan yang cenderung brutal. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan, menjadi layak dipikirkan. Sesuatu yang tak mungkin, menjadi mungkin.

Saya tidak paham mengapa semangat semulia itu kemudian justru dimaknai sebagai anjuran berpoligami. Ada sekumpulan laki-laki yang pada tubuhnya melekat simbol-simbol agama seperti jenggot, peci, surban, dengan bibir yang penuh taburan ayat-ayat Alquran, menggelar kursus poligami dengan biaya tak murah, mengajarkan para pria kiat mudah mendapat istri empat. Bahkan, mereka menjanjikan para perempuan yang siap dinikahi di dalam forum. Mereka begitu percaya bahwa hal tersebut adalah sunah rasul.

Beberapa hal memang kadang-kadang sulit tercerna oleh logika.

Maka, ketika beredar foto sebuah panggung ironi yang membuat ngilu perasaan dan sekujur tubuh di Banda Aceh, saya telah menyiapkan diri untuk gagasan-gagasan menyakitkan yang akan berseliweran di linimasa.

Pada Jumat (20/4), lima perempuan dan tiga laki-laki yang terlibat kasus prostitusi online dihukum cambuk di halaman Masjid Jami’ Leung Bata Banda Aceh. Dari foto-foto yang beredar di berbagai media, tampak peristiwa eksekusi itu disaksikan oleh ribuan manusia termasuk anak-anak. Para pengunjung memotret dan mendokumentasikan kejadian lewat video dengan bebas bagaikan sedang berwisata. Bolehkah kita bertanya di mana kemanusiaan bersembunyi?

“Hukuman ini adalah cara memuliakan wanita pak sehingga wanita mendapat pelajaran yang baik.”

“Tak usah mengasihani orang yang bersalah. Kita harus menjalankan syariat Islam.”

“Kita harus mendukung syariat Islam yang berhasil diterapkan di Aceh. Kalau tak suka tak usah tinggal di Aceh.”

“Hormatilah tradisi Aceh. Sejak dulu beginilah budaya Aceh.”

Saya tidak tahu mengapa membaca komentar-komentar semacam itu bukan hanya sakit di perasaan, melainkan direspons langsung oleh tubuh dengan nyeri tepat di ulu hati. Di luar sana, laki-laki yang memakai jasa pekerja seks yang tengah dicambuk itu melenggang bebas. Pertama, sebab relasi kuasa yang tidak setara. Laki-laki pengguna jasa itu mungkin para pejabat nakal atau orang-orang kaya. Kedua, membuktikan perempuan bersalah dalam transaksi seks seperti prostitusi tentu saja lebih mudah daripada membuktikan laki-laki yang bersalah. Dalam delik perkosaan, perempuan korban yang penuh trauma bahkan harus mampu menghadirkan saksi-saksi, sedangkan laki-laki dapat mengajukan tuduhan balik pencemaran nama baik jika saksi-saksi itu tidak terpenuhi.

“Bukan begini cara memuliakan wanita. Mereka ingin mulia dengan merdeka memiliki pilihan.”

“Islam yang kukenal sejak kelahirannya adalah semangat menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Bukan semangat menghukum dan mempermalukan kedirian.”

“Manusia terus belajar. Kita telah sampai pada zaman di mana terdapat sebuah metodologi untuk mengukur sebab-sebab terjadinya sesuatu. Jika mau berpikir lebih panjang, kita akan sampai kepada persoalan kemiskinan struktural, kultur kekerasan pada perempuan, bisnis perdagangan manusia, akses pendidikan yang tak setara…”

“Kultur kekerasan di muka umum bukan sebuah tradisi yang harus dilanggengkan sepanjang peradaban. Jika itu betul-betul tradisi. Dan jika tidak, maka ia adalah halusinasi sebagian kelompok yang tak mau belajar maju ke masa depan yang lebih baik.”

Suara-suara para kaum pembenci perempuan yang lebih menyakitkan terus bergema.

“Ia lonte. Ia penggoda. Ia tak layak dibela. Ia dibenci agama!”

Dan suara-suara itu datang lebih keras justru dari para perempuan sendiri ….

Kalis Mardiasih
Kalis Mardiasih
Periset dan anggota tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.