Kamis, Maret 28, 2024

Kuasa Warganet Indonesia

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Berdasarkan riset Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Dengan hasil tersebut, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan yang paling rendah di Asia Tenggara. Tak pelak, warganet (netizen) Indonesia ramai menyerbu kolom komentar akun Instagram Microsoft sebagai reaksi atas hasil survey yang menyebut warganet RI termasuk yang paling tidak sopan.

Perbualan tentang warganet Indonesia memang tidak bisa dianggap sepele dan tak pernah habis-habisnya. Kekhasan warganet Indonesia bukan saja karena ditopang oleh fakta bahwa pengguna internet Indonesia adalah yang paling aktif di jagad dunia maya lewat media sosial tapi juga unsur-unsur budaya dan demografi di Tanah Air. Hari ini stasiun TV atau artis mau tidak mau memiliki banyak akun media sosial dan rajin memposting demi meraup atensi warganet.

Menjadi pertanyaan, kenapa warganet Indonesia begitu riuh rendah dan aktif sehingga menjadi incaran banyak perusahaan, artis, youtuber atau selebgram dunia maya, bukan huma di Tanah Air tapi juga di level internasional? Pada hemat saya, kuasa warganet Indonesia ini berkelindan dengan tiga hal yang krusial.

Pertama, soliditas kerumunan. Warganet Indonesia mudah bersatu untuk memberikan endorsement, mengkritik bahkan menghujat. Ketika mereka suka dengan seorang selebgram atau youtuber, dalam waktu yang tidak lama postingan mereka akan mendapakan like jutaan dengan pertumbuhan pelanggan (subscriber) atau pengikut (follower) yang juga jutaan.

Tetapi keterikatan tersebut hanya pada level kerumunan dengan ciri-ciri yang emosional, labil, dan tidak menjanjikan keterikatan jangka panjang. Kita tak tahu apakah soliditas warganet Indonesia yang menyerbu akun Microsoft karena merasa di-bully atau ikut mem-bully lahir dari pembacaan yang kritis terhadap hasil riset, apakah mereka sudah melakukan eksplorasi parameter mengapa warganet pada suatu negara dianggap sopan dan kenapa yang lain berada pada posisi bawah? Sikap yang tidak kritis dan suka ikut-ikutan mem-bully tanpa memahami duduk perkara persoalan ini sangat berbahaya.

Soliditas kerumunan ini menjadikan penghakiman merajelela atas seseorang yang diduga bersalah, salah langkah atau yang memang punya skandal tanpa penghormatan terhadap azaz praduga tak bersalah. Dalam kerumunan maya, setiap orang menjelma menjadi detektif yang menggali rahasia selebritas. Karena media sosial, hasrat para seleb untuk menikmati privasi mengalami negosiasi. Mereka tetap memposting foto-foto momen romantis mereka di Instagram demi menjaga eksistensi, meraih penggemar dan berburu like.

Kedua, nasionalisme digital. Warganet Indonesia adalah masyarakat Timur yang masih menganggap bahwa isu identitas—nasionalisme, agama, bahasa bahkan kuliner—sebagai sesuatu yang bukan saja membanggakan tapi juga sakral. Kebanggaan mereka berlipat ganda tatkala aspek-aspek identitas ini beroleh pengakuan atau penghargaan orang asing atau warga global. Inilah yang menjelaskan kenapa para youtuber Amerika, Eropa, Asia atau negara asing manapun rayang meng-cover lagu-lagu Indonesia atau memberikan reaction kepada film-film Indonesia atau hal-hal lain yang bertemakan keindonesiaan secara positif mengalami pertumbuhan jumlah subscriber yang signifikan. Sebaliknya, warganet Indonesia sangat sensitif dan lekas menunjukkan kemurkaannya manakala ke-indonesiaan-nya dilecehkan. Dayana, seorang selebgram asal Kazakhstan yang namanya menjulang berkat warganet Indonesia, harus kehilangan nyaris sejuta follower gara-gara ucapannya yang menyakiti warganet Indonesia.

Inilah nasionalisme digital: nasionalisme yang dibangun warganet di dunia maya tanpa mengenal batas-batas negara dan simbol-simbol konvensional. Pemegang kedaulatan bukan lagi pemimpin dalam pengertian konvensional, seperti presiden dengan otoritas politik, melainkan bintang-bintang media sosial yang memandu tren (trend setter) bagi para warganet. Seorang Atta Halilintar atau Raffi Ahmad lebih populer dan diikuti oleh warganet Indonesia ketimbang nama-nama menteri, anggota DPR bahkan presiden Jokowi sekalipun.

Namun nasionalisme digital ini terikat dengan hal-hal yang visual, nyata dan mutakhir. Seorang artis, youtuber atau selebgram luar negeri yang memiliki banyak konten tentang Indonesia dengan postingan yang regular dengan mudah akan diterima sebagai bagian keluarga besar warganet Indonesia. Undangan berkunjung ke Indonesia, tawaran iklan dan kolaborasi dengan youtuber Indonesia bakal muncul. Bagi warganet Tanai Air, yang penting bukan siapa Anda tapi seberapa aktif dan rajin Anda bikin konten-konten Indonesia, termasuk meluncurkan video musik dan variety show baru dengan subtitle bahasa Indonesia. Lebih keren lagi bila youtuber atau selebgram asing ini mampu berbahasa Indonesia.

Ketiga, kebalikan logika pasar. Layaknya pasar, dunia maya seharusnya diciptakan oleh tindakan informed netizen (warganet berpengetahun) yang membuat rational choice (pilihan rasional). Tapi nyatanya dunia maya di Tanah Air justru bekerja menciptakan ‘uninformed netizen’ (warganet tak berpengetahun) yang menjalankan ‘irrational choice’(pilihan irasional).

Ketika hari ini warganet setali tiga uang dengan kaum milenial, maka popularitas menjadi bahasa yang dipahami. Jangan heran jargon-jargon youtuber menjadi salam dunia maya (ashiaaap ala Atta Halilintar atau smart people-nya Deddy Corbuzier) dan masyarakat lebih mendengarkan influencer daripada ilmuwan di bidangnya. Mau tidak mau, kebijakan publik lebih banyak dipengaruhi oleh warganet daripada penelitian ilmiah. Akhirnya, para sarjana atau ilmuwan ikut-ikutan menjadi influencer dengan memanfaatkan multimedia dan menyesuaikan bahasanya sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam, termasuk warganet.

Sayangnya dunia maya di Tanah Air bukanlah milik ilmuwan yang memiliki selera ‘berat.’ Warganet Indonesia lebih menyukai youtuber, selebgram dan influencer yang menjual gaya hidup, mimpi dan kerenyahan. Semua akan dilihat dengan perspektif suka tidak suka. Bahayanya adalah ruang dialog menyempit dan jalan hoaks, ujaran kebencian dan fitnah makin panjang dan lebar. Meminjam istilah Tom Nichols, apa yang berlaku hari ini di jagad maya adalah matinya kepakaran (the death of expertise) sebab setiap orang menjadi pakar. Kepakaran bukan lagi sesuatu yang istimewa. Karena nir-pengetahun, misalnya, warganet yang mengidap obesitas tak mau diceramahi seputar diet atau mereka yang bersikeras untuk mendapatkan hak-haknya untuk hidup selamat enggan membayar pajak buat ketertiban umum dan keamanan nasional.

Perjuangan untuk mewujudkan warganet Indonesia yang rasional dan tak gampang terprovokasi hoaks membutuhkan perjalanan panjang karena membutuhkan edukasi yang serius dan melibatkan banyak pihak. Hanya dengan cara inilah kita berharap tumbuh kembangnya generasi warganet Indonesia yang menempatkan nurani, rasionalitas, independensi dan prinsip di atas ambisi pribadi.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.