Minggu, November 24, 2024

Pak Jokowi, KPK Menjelang Ajal

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
- Advertisement -

dom-1454499915Ketua KPK Agus Rahardjo (kiri) didampingi Wakil Ketua Laode M Syarif memberikan keterangan pers tentang revisi UU KPK di Jakarta, Rabu (3/2). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Serangan badai dan pelemahan terhadap Komisi Pemberantsan Korupsi sepertinya belum akan berhenti, paling tidak hingga setahun ke depan. Kini, skenario pelemahan itu secara perlahan bergulir dari Istana ke Parlemen.

Identifikasi pelemahan itu lebih mudah diendus setalah mengamati draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) yang dinisiasi oleh pemerintah. Padahal, masih hangat perdebatan di tengah khalayak soal komposisi pimpinan KPK yang belum lama ini dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Ketika itu ada perdebatan tentang perlu tidaknya komisioner yang berlatar belakang jaksa atau polisi.

Isu yang juga terus menggelinding adalah mengenai nasib penyidik KPK Novel Baswedan yang akan segera disidangkan di pengadilan atas dugaan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian. Meskipun tidak dapat dinafikan bahwa kasus Novel adalah bagian dari kriminalisasi yang dirancang oleh orang-orang tertentu yang sasarannya jelas mengamputasi KPK.

Harus diakui, problem-problem tersebut sedikit-banyak jelas mempengaruhi performa KPK dalam memberantas korupsi. Belum lagi jika melihat secara komprehensif episode pelemahan terhadap KPK dilakukan oleh sekelompok orang (baca: mafia) yang berusaha memojokkan dan mereduksi KPK baik secara institusional maupun personal.

Aroma pelemahan terhadap KPK akan semakin kental terasa ketika kita mencermati draf revisi UU KPK yang saat ini hangat diberitakan media. Bergulirnya RUU tersebut ikut memetakan pola relasi kuasa di internal parlemen. Mayoritas fraksi hampir menyepakati draf RUU KPK, kecuali Fraksi Gerindra yang tegas menolak.

Jika ditelisik, paling tidak ada empat hal krusial yang akan menggerogoti nasib KPK dalam draf RUU KPK tersebut. Bukan mustahil ini tanda-tanda kiamat bagi KPK.

Pertama, perihal Dewan Pengawas KPK. Poin ini dalam draf RUU KPK diatur pada Pasal 37A-37F. Hal yang menarik adalah logika yuridis pembentuk undang-undang yang mengintegrasikan ketentuan ini dalam RUU KPK. Bisa dibayangkan tanpa raison de’etre yang jelas tiba-tiba Dewan Pengawas akan dibentuk, yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi kinerja pimpinan KPK.

Hal ini bisa menjadi blunder bagi KPK. Sebab, secara internal KPK telah memiliki Komite Etik yang ditugaskan menegakkan kode etik di internal KPK. Keberadaan Dewan Pengawas akan tumpang tindih dengan Komite Etik. Tidak hanya itu, Dewan Pengawas justru akan menjadi duri dalam daging bagi KPK ketika melakukan pemberantasan korupsi.

Keanehan yang lain adalah Dewan Pengawas yang akan dibentuk pada KPK justru tidak ditemukan pada lembaga penegak hukum yang lain, seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Meskipun di Kepolisian ada organ yang bernama Profesi dan Pengamanan (Propam), hakikatnya adalah sebagai penegak kode etik.

- Advertisement -

Pendeknya, penyusun draf RUU KPK membangun logika terbalik. Selama KPK berdiri belum ada satu bukti kuat yang menunjukkan bahwa ada tindak pidana yang dilakukan oleh pimpinan KPK dan pegawainya, kecuali aksi kriminalisasi yang menimpa mantan pimpinan KPK seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, dan terakhir Novel Baswedan, penyidik KPK.

Bandingkan dengan oknum-oknum di instansi Kepolisian dan Kejaksaan yang ditangkap karena melakukan kejahatan. Artinya, urgensi pembentukan Dewan Pengawas bukan di KPK tetapi di penegak hukum yang lain.

Kedua, perihal penyadapan yang dalam draf RUU KPK diatur pada Pasal 12A-12F. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengungkapan kasus korupsi lebih mengandalkan penyadapan, karena sifat dan karakter kejahatan korupsi yang sistematis dan menggunakan modus operandi yang sulit. Karena itu, penanganan kasus korupsi membutuhkan extra ordinary measures.

Jika kewenangan penyadapan itu harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas, ini menunjukkan ada upaya untuk menyabotase kewenangan penyidik melalui Dewan ini.  Apalagi tidak ada jaminan bahwa Dewan Pengawas adalah lembaga yang steril. Sebab, Pasal 37D draf RUU KPK menyebutkan bahwa Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden. Artinya, keberadaan Dewan Pengawas membawa misi terselubung yang rawan disusupi oleh kepentingan tertentu.

Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah terkait dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Izin penyadapan melalui Dewan Pengawas tidak pernah dikenal, baik dalam KUHAP maupun dalam hukum pidana formil yang lain. Jadi, draf RUU KPK ini kelak berpotensi menciptakan disharmoni penegakan hukum karena tidak bersesuaian dengan peraturan yang lain.

Ketiga, ihwal surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diatur pada Pasal 40 draf RUU KPK. Rupanya pembentuk draf RUU KPK lupa bahwa KPK berada pada level yang berbeda dalam menangani kasus korupsi bila dibandingkan dengan aparat penegah hukum lain. Logika yuridisnya adalah jika KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3, itu berarti merontokkan keseriusan dan kematangan KPK pada saat menyidik perkara korupsi.

Selama ini sudah terbukti tak satu pun perkara korupsi yang dituntut KPK di mana terdakwa divonis bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum di meja hijau. Jadi, jika kewenangan SP3 diberikan kepada KPK, itu artinya KPK tidak lebih dari Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi. Padahal, tidak dapat dinafikan bahwa KPK lahir di tengah suasana kebatinan memberantas korupsi.

Keempat, larangan merekrut penyidik independen yang diatur pada Pasal 43 draft RUU KPK. Mencermati rumusan RUU ini, kita patut mengernyitkan dahi sebab KPK tak boleh lagi mengangkat penyidik independen sebagaimana dilakukan selama ini. Secara tersirat ini akan menempatkan KPK dalam posisi yang lemah dan sulit, sebab ia akan bergantung pada Polri.

Jika KPK menangani kasus korupsi yang ditengarai melibatkan orang dalam Polri, tentu hal ini akan mempengaruhi kinerja penyidik di internal KPK. Apalagi mekanisme pemberhentian penyidik KPK harus atas usul Polri itu sendiri. Intinya, draf RUU ini justru berpotensi menempatkan KPK dan Polri untuk head to head alias duel bukan duet bareng memberantas korupsi.

Jadi, mustahil membayangkan KPK berlari mengejar koruptor dengan tenaga kuda tetapi pemerintah menyuntikkan KPK dengan tenaga ayam. Walhasil, KPK di ambang ajal.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.