Tidak berselang lama setelah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla mencanangkan “9 Agenda Prioritas” yang dikemas dalam program “Nawacita”. Poin keempat Nawacita tersebut adalah “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.”
Sebagai komitmen moral-politik Jokowi-JK, publik menyambut baik semangat Nawacita tersebut guna mendorong pemerintahan yang bebas korupsi. Apalagi jika dikaitkan dengan realita negara yang belum keluar dari jerat korupsi pasca hampir dua dekade reformasi politik pada tahun 1998.
Indeks persepsi korupsi (IPK) selama 2 tahun terakhir juga tidak menunjukan perubahan signifikan. Tahun 2014 skor IPK Indonesia sebesar 34 dan menempati urutan 107 dari 175 negara yang diukur (TII: 2014). Tahun sebelumnya, 2013, Indonesia berada di urutan 114 dengan poin 32 (TII: 2013). Indonesia masih jauh berada di bawah Singapura (86), Hongkong (75), Taiwan (61), Korea Selatan (55), dan China (40). Di ASEAN, skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60) dan Malaysia (50). Indonesia sedikit di bawah Filipina (36) dan Thailand (35).
Sembilan tahun lalu, Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Ratifikasi ini mengikat Indonesia secara moral dan hukum untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagai bagian dari hukum internasional, UNCAC memberikan kewajiban kepada negara (state obligation) untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. Peletakan prinsip state obligation tentu saja bertalian pula dengan tanggung jawab negara (state responsibility).
Sebagai pihak yang turut meratifikasi perjanjian UNCAC, Indonesia terikat pada beberapa hal. Pertama, tak ada janji tanpa kewajiban. Seluruh deklarasi dan perjanjian internasional selalu mengandung prinsip kewajiban negara. Kedua, dasar kewajiban negara diletakkan karena subyek hukum dalam perjanjian internasional adalah negara, sama sekali bukan individu atau badan lainnya. Kewajiban ini tidaklah diajukan kepada perorangan, karena setiap orang bukanlah subyek hukum dalam perjanjian yang dimaksud.
Ketiga, tak ada kewajiban tanpa tanggung jawab. Peletakan prinsip state obligation tentu bertalian pula dengan tanggung jawab negara (state responsibility). Konsistensi dari seluruh rangkaian disepakatinya perjanjian dan pelaksanaan kewajiban selalu menuntut tanggung jawab sebagai pasangan yang logisnya. Jika negara gagal atau lalai menunaikan janji dan kewajibannya, maka kepada negara pulalah dituntut tanggung jawabnya.
Keempat, sebagai pihak yang berjanji, negara bukan saja selalu berpotensi, tetapi secara faktual mengingkari atau melanggar janjinya sendiri. Atas pengingkaran atau pelanggaran ini pula, negara-negara dituntut tanggung jawabnya.
Disorientasi
Akan tetapi, Nawacita tersebut nampaknya sekadar seruan moral tanpa diikuti langkah konkrit dalam mendorong pemberantasan korupsi. Ada beberapa faktor yang bisa diukur, salah satunya melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandang sebagai barometer dalam pemberantasan korupsi. KPK tampak dilemahkan secara sistematis dan terencana.
Agenda pelemahan KPK tampak dalam sejumlah pasal dalam revisi Undang-Undang KPK yang tidak menunjukkan penguatan, malah pelemahan secara sistematis dan massif. Pasal pengaturan penyadapan, pembatasan nilai kerugian negara dari Rp 1 miliar menjadi Rp 50 miliar, pembatasan usia KPK 12 tahun, serta beberapa pasal selundupan lain merupakan agenda terselubung untuk melemahkan kerja-kerja KPK.
Sikap pemerintah dalam RUU KUHAP-KUHP juga tidak menunjukkan penguatan pemberantasan korupsi, malah melemahkan. RUU KUHP memasukkan kembali kejahatan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya ke dalam Buku II RUU KUHP. Akibatnya delik korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa dan disamakan dengan kejahatan umum lainnya seperti pencurian, sehingga tidak berlaku asas lex specialis derogat legi generali.
RUU KUHAP-KUHP tampak senafas dengan RUU KPK yang memuat pasal pelemahan. Beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP dipandang akan menyulitkan upaya penegak hukum dan menegasikan kewenangan penuntutan KPK, antara lain dihapusnya kewenangan penyelidikan, penyadapan, penyitaan, upaya banding, kasasi, dan lain-lain. Jika kedua RUU ini disahkan, eksistensi dan kewenangan beberapa lembaga, antara lain KPK, pengadilan Tipikor, kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menjadi hilang, dengan alasan adanya ketentuan peralihan dalam Pasal 757, 761, dan 763 RUU KUHP.
Pemberantasan korupsi sepanjang 2015 juga dibayangi kriminalisasi terhadap sejumlah pimpinan lembaga negara, akademisi, dan aktivis antikorupsi. Dua pimpinan KPK, Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW), serta penyidik KPK Novel Baswedan (NB) dikriminalisasi saat menjalankan tugas negara di KPK. Dua Komisioner KY juga dikriminalisasi ketika melakukan tugas pemantauan kinerja hakim. Dua aktivis ICW dikriminalisasi saat menyoroti isu calon pimpinan KPK. Kriminalisasi ini mengancam kebebasan berpendapat ketika konteksnya berhubungan dengan calon pimpinan KPK yang ideal.
Kriminalisasi terhadap mereka jelas merupakan bagian dari skenario pelemahan pemberantasan korupsi, mengingat terjadi di tengah gencarnya upaya KPK memberantas kasus korupsi, khususnya kategori megaskandal seperti BLBI dan Century. Ketidaktegasan Presiden Jokowi untuk menghentikan kriminalisasi ini menandakan pemerintah tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi.
Kepemimpinan KPK pasca kriminalisasi terhadap AS dan BW juga menunjukkan sikap berseberangan dengan kerja-kerja KPK. Plt Pimpinan KPK mendukung revisi UU KPK yang secara nyata memuat pasal pelemahan. Plt Pimpinan KPK juga tidak menunjukkan langkah konkrit dalam melindungi Novel Baswedan yang dikriminalisasi, malah mendorong NB mengikuti proses hukum. Sikap kepemimpinan yang kontraproduktif dengan sikap institusi yang dipimpinnya.
Antitesis KPK
Alur pelemahan masih berlanjut. Proyeksi pimpinan KPK 2015-2019 yang dipilih DPR pada Kamis (17/12/2015) menyisakan sejumlah keraguan akan masa depan pemberantasan korupsi. Beberapa nama yang lebih jelas rekam jejak dalam pemberantasan korupsi tidak dipilih. Banyak pihak memandang proyeksi pimpinan KPK 2015-2019 adalah “antiklimaks KPK”, jika ditilik dari rekam jejak mereka selama proses seleksi.
Beberapa pimpinan KPK terpilih menunjukkan sikap bertentangan. Pada sejumlah isu, mereka menunjukkan sikap setuju terhadap revisi UU KPK yang memuat pasal pelemahan, setuju penyadapan KPK dibatasi, setuju KPK memiliki SP3, tidak setuju KPK memiliki penyidik independen (non unsur polri-jaksa) yang pada akhirnya mendorong KPK menjadi “Komisi Pencegahan Korupsi.” Jika demikian, KPK akan tampil menjadi “macan ompong”, hanya bisa mengaum, tapi tak bisa menggigit.
Padahal, semenjak dibentuk 2003 lalu, kekuatan KPK ada di penindakan. KPK bukannya tidak menjalankan fungsi pencegahan, fungsi pencegahan KPK dijalankan dalam sejumlah program: kampanye dan sosialisasi antikorupsi, membangun Sistem Integritas Nasional (SIN), serta berbagai program pencegahan lain. Namun fungsi tersebut juga mesti sejalan dengan fungsi penindakan untuk menciptakan “efek terapi” kepada penyelenggara negara agar tidak melakukan korupsi.
Dalam fungsi penindakan itu, kekuatan KPK ada di penyadapan. Namun melihat political will pemerintah dalam revisi UU KPK serta RUU KUHAP-KUHP, tampaknya nafas penindakan yang selama ini menjadi ruh KPK perlahan-lahan layu dan sirna. Menyisakan KPK sebagai “Komisi Pencegahan Korupsi.”
Trading Influence
Pemberantasan korupsi sepanjang 2015 juga ditandai dengan praktik memperdagangkan pengaruh jabatan (trading influence) yang dilakukan penyelenggara negara. Konteks memperdagangkan pengaruh ini telah diatur dalam Pasal 18 UNCAC (UU No. 7 Tahun 2006) sebagaimana disebutkan di atas. Pasal 18 UNCAC tentang Memperdagangkan Pengaruh dipandang sebagai kejahatan yang bisa dipidana.
Gencarnya pemberantasan korupsi tidak diimbangi dengan kesadaran penyelenggara negara dari perilaku menyimpang korupsi. Kasus pertemuan pimpinan DPR dengan calon presiden AS Donald Trumpt (Trumptgate), serta kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam skandal PT Freeport Indonesia yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) oleh Ketua DPR Setya Novanto merupakan rangkaian praktik trading influence yang dilakukan penyelenggara negara. Parahnya, sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) tidak menghasilkan keputusan memberikan sanksi kepada Setya Novanto.
Oleh karena itu, melihat fakta pemberantasan korupsi sepanjang 2015, jargon Nawacita hanya menjadi Dukacita. Ini adalah kejahatan dengan negara sebagai “pelakunya” (state capture corruption). Todung Mulya Lubis menyebutnya sebagai “Criminalized State” (Tempo 1/12/2013). Legitimasi kuasa negara yang diperoleh dari mandat demokrasi melalui pemilu langsung berubah menjadi tirani kuasa berselubung doktrin “penegakan hukum”.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Nilbaskara (2000), “law is a tool of crime”, perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya adalah kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi oleh hukum dan berada di dalam hukum.