Grand Corruption Reklamasi
Mohamad Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pekan lalu. Setelah itu Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyatakan kasus yang menjerat Sanusi masuk ke dalam grand corruption, seraya menegaskan ini adalah bentuk pengaruh korporasi dalam kebijakan publik.
“Bayangkan, bagaimana kalau semua kebijakan publik dibuat bukan berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tapi hanya untuk mengakomodasikan kepentingan orang tertentu atau korporasi tertentu,” kata Syarif seperti dikutip kompas.com (1/4).
Grand corruption dalam penjelasan Syarif, yang banyak dikutip media massa beberapa hari kemudian, terutama ditandai dengan banyaknya pihak yang terlibat. Dari data yang dihimpun Koran Tempo (4/4), untuk melakukan reklamasi 17 pulau yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah 121/2012 tentang Penataan Ruang Reklamasi Kawasan Pantai Utara Jakarta, 9 perusahaan plus Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terlibat. Revisi atas perda itulah yang diwarnai suap kepada Sanusi, dan mungkin akan segera terbongkar yang lainnya.
Para pakar lingkungan hidup sudah kerap menyatakan praktik reklamasi sendiri melanggar berbagai regulasi, terutama Undang Undang Lingkungan Hidup, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Perikanan. Dampak lingkungan negatif dari reklamasi sendiri di level global sudah banyak diketahui, sehingga Korea Selatan telah menyatakan moratorium atasnya.
Jepang juga menghentikannya dan tengah melakukan tindakan-tindakan rehabilitatif. Di Indonesia, banyak pula pakar dan aktivis yang menyerukan kekhawatiran dan keprihatinan atas dampak negatif itu. Namun, seluruhnya berlalu bersama angin.
Mengapa demikian? Pengaruh perusahaan itulah yang menyebabkannya. Aktivitas politik perusahaan (corporate political activity) adalah upaya perusahaan guna mendapatkan akses kepada para pengambil keputusan, untuk mempengaruhi kebijakan publik, yang diwujudkan melalui beragam cara. Tentu ada cara-cara yang bisa dibenarkan, dan ada pula cara-cara yang diharamkan. Apa yang kemudian mengemuka dalam kasus Sanusi adalah yang belakangan disebut.
Ketika kasus ini mencuat, ada beberapa pihak yang menuduh bahwa sebetulnya bukan cuma Sanusi atau DPRD yang bermain. Eksekutif pun dituduh sedang bersekongkol untuk memuluskan jalan korporasi. ‘Bukti’—lebih tepatnya indikasi—yang mereka ajukan adalah aliran ‘dana CSR’ kepada Pemprov DKI Jakarta dari perusahaan-perusahaan pengembang yang namanya tercatat dalam projek reklamasi itu. Bahkan sudah ada saran kepada KPK untuk menelusuri aliran ‘dana CSR’ agar pihak-pihak yang terlibat bisa terkuak.
Donasi sebagai Aktivitas Politik Perusahaan
Apakah tuduhan atau saran tersebut berdasar? Secara teoretis bisa jadi demikian. Namun, sebelum sampai kepada inti permasalahannya, perlu kita klarifikasi istilah terlebih dahulu. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), sebagaimana dipahami Pemprov Jakarta dan para penuduhnya, sebetulnya diartikan sangat sempit. Seluruh pakar CSR sepakat bahwa pengertian yang tepat adalah kontribusi perusahaan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Caranya? Dengan meminimumkan seluruh dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Apa yang disebut sebagai “dana CSR” oleh Pemprov DKI maupun para penuduhnya sebetulnya adalah donasi perusahaan. Dan hubungan antara donasi perusahaan dengan CSR sesungguhnya problematik. Dua di antara komponen terpenting CSR, menurut standar internasional ISO 26000, adalah tata kelola perusahaan (corporate governance) dan praktik operasi yang adil (fair operating practices). Keduanya mengharamkan segala bentuk korupsi, termasuk suap, sehingga menyebut “dana CSR” sebagai bentuk korupsi adalah tidak tepat.
Yang tepat, donasi perusahaan memang mungkin—bahkan kerap—dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan tata kelola perusahaan dan praktik operasi yang adil itu. Kalau suap jelas tak bisa dinyatakan sebagai donasi—walau dalam patgulipat akuntansi kerap disembunyikan di situ—bentuk yang lebih halus tetap mungkin dipergunakan untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Studi ekstensif dari Hadani dan Coombes (2016) menyatakan bahwa donasi dan aktivitas politik perusahaan memang bersifat komplementer. Logikanya terjalin melalui tiga kesimpulan. Pertama, memberikan donasi kepada para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, memang membuat perusahaan mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi dari pemangku kepentingan itu, dan memberikan sinyal bahwa perusahaan itu memiliki legitimasi sekaligus bersedia mendengarkan masukan pemangku kepentingan.
Kedua, dengan legitimasi yang menguat, perusahaan akan menikmati akses politik yang lebih besar dibandingkan dengan kompetitornya, lantaran legitimasi berfungsi sebagai pelicin dalam berhubungan dengan pemangku kepentingan politik.
Ketiga, modal relasional yang terbangun dari legitimasi itulah yang menjadi sumber daya (ter)penting dalam mempengaruhi kebijakan publik.
Sampai di situ tampaknya tak ada masalah dalam donasi perusahaan. Tapi, penelisikan lebih jauh akan membuat kita sadar betapa donasi itu memang problematik. Kita mungkin bisa percaya kepada figur-figur tertentu bahwa donasi yang diterima pemerintah tidak akan membuat kebijakan publik tercederai, tidak akan menjadikannya lebih lunak atau malahan memfasilitasi kepentingan perusahaan pemberi donasi. Tapi, figur tentu tak memadai sebagai benteng pertahanan publik terhadap intervensi korporasi. Publik kemudian perlu untuk mengenali kemungkinan-kemungkinan buruk dari donasi perusahaan ini.
Kebijakan publik sudah sangat lama mengidap penyakit ketertutupan yang akut. Transparansi dan akuntabilitas sudah diteriakkan sejak lama, reformasi politik dan birokrasi juga bukan wacana kemarin sore. Kenyataannya transparansi kerap terasa hampir nihil.
Kita sudah sering disuguhi regulasi yang nongol tanpa pernah kita ketahui prosesnya, atau prosesnya bisa dilihat namun hasil akhirnya mengejutkan. Indikasi korupsi legislasi terbesar mungkin adalah hilangnya ayat nikotin sebagai zat adiktif dari Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Namun, ketika itu, kesimpulannya—yang sangat terasa dipaksakan di tengah gunungan bukti intervensi korporasi—hanyalah kesalahan administratif belaka.
Tindakan Konkret
Kalau KPK ingin serius melacak korupsi legislasi ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan terkait dengan donasi perusahaan ini. Pertama, melacak dengan saksama akuntansi donasi, yang kerap dipergunakan untuk menyembunyikan suap kepada para pengambil keputusan. Sangat jamak di Indonesia perusahaan-perusahaan (terutama yang berskala raksasa) untuk meningkatkan jumlah donasinya ketika ada kepentingan perizinan dan legislasi yang menyangkut bisnisnya. Ini bisa menjadi pertanda awal.
Kedua, dunia CSR mengenal musuh besarnya yang bernama CSI (corporate social irresponsibility). Ini bukan saja merujuk kepada apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ilegal, tapi juga perusahaan legal yang terutama berada di sektor-sektor kontroversial. Industri rokok, minuman keras, pornografi, dan senjata adalah di antara yang masuk ke dalamnya.
Studi-studi dalam skala luas membuktikan bahwa korporasi di dalam sektor tersebut memang cenderung untuk lebih banyak melakukan donasi, untuk kepentingan mempertahankan dan meningkatkan legitimasi dan akses politiknya. Perkembangan mutakhir—terkait perubahan iklim—menyebabkan banyak pakar memasukkan industri batubara, minyak, dan semen ke dalam kategori kontroversial ini.
Ketiga, KPK juga perlu memfokuskan perhatiannya kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki skor yang rendah dalam tata kelola dan praktik operasi yang adil. Perusahaan-perusahaan besar namun tak “berminat” memperbaiki tata kelolanya biasanya memang berpotensi atau sudah terlibat dalam praktik-praktik suap yang langsung maupun yang dibungkus dengan donasi perusahaan. Perusahaan yang kerap cedera janji kepada para kontraktornya dan sering melanggar regulasi juga cenderung memanfaatkan cara-cara haram untuk mendapatkan pengaruh dalam kebijakan publik.
Keempat, perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan dan sosial rendah namun kerap mengiklankan donasinya secara disproporsional juga penting untuk diselidiki. Suap dan donasi sangat kerap dipergunakan untuk menutupi buruknya dampak perusahaan. Dan iklan donasi yang mencolok—termasuk melalui yayasan perusahaan atau pihak lainnya—biasanya merupakan pertanda bahwa ada yang salah atau tak beres di situ.
Perusahaan-perusahaan yang melakukan hal ini cenderung tidak memperbaiki kondisi lingkungan dan sosial yang berantakan lantaran dampak produksi maupun produknya. Padahal, tugas pertama dalam CSR adalah meminimumkan dampak negatif, sebelum memaksimumkan dampak positif. Membandingkan kinerja keberlanjutan—misalnya yang bisa didekati melalui skor PROPER KLHK—versus anggaran donasi bisa membantu KPK mencari siapakah perusahaan yang cenderung menutup-nutupi kinerja buruknya.
Para petinggi KPK sepenuhnya benar ketika menyatakan bahwa kini saatnyalah Indonesia berbenah dalam kebijakan publik. Sudah terlampau lama kebijakan publik diintervensi secara negatif oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di sektor-sektor kontroversial, serta yang berkinerja tata kelola, sosial, dan lingkungan yang buruk.
Sanusi, bisa dipastikan, hanyalah puncak kecil gunung es korupsi legislasi. Hanya dengan membongkar seluruh pelaku intervensi negatif itu sajalah kebijakan publik akan benar-benar memihak kepada publik. Dan seluruh pemangku kepentingan yang menginginkan perbaikan kebijakan publik harus bersatu padu membantu KPK.