Kamis, April 25, 2024

Kontroversi Sertifikasi Profesi untuk Sejarawan

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
sejarah
Ilustrasi

Entah apa yang terjadi di dalam internal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tepatnya pasca reshuffle kabinet dan pergantian pucuk pimpinan instansi dari Anies Baswedan ke Muhadjir Effendy medio Juli 2016 silam. Setelah pada Agustus lalu Menteri Muhadjir menelurkan gagasan full day school yang kontroversial dan digunjingkan masyarakat secara luas, belum lama ini muncul wacana yang membuat geger para pegiat sejarah di negeri ini: niat Kementerian Pendidikan mengeluarkan sertifikasi profesi bagi sejarawan.

Hal itu disampaikan oleh Saptari Novia, Kasubdit Pembinaan Tenaga Kesejarahan Direktorat Sejarah pada Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, awal September. Menurut Saptari, sertifikasi tersebut akan memberi legitimasi bagi sejarawan Indonesia dalam forum-forum sejarah internasional, selain tentu saja mewujudkan keinginan pemerintah untuk mencetak profesi sejarawan bermutu yang kompetitif.

Namun, seperti kebijakan full day school, wacana ini pun berujung pergunjingan, terutama di kalangan pegiat sejarah. Bagi mereka, juga saya, sertifikasi hanyalah kata yang halus untuk sensor. Memang, melalui wacana sertifikasi ini, pemerintah kiranya ingin memberikan sebuah pengakuan.

Masalahnya adalah, atas dasar apakah pengakuan itu diberikan dan tersediakah jaminan kebebasan bagi para sejarawan untuk menganut dan meneliti narasi sejarah mana pun setelah disertifikasi.

Jika melihat rekam jejak pemerintah dalam memperlakukan sejarah negeri ini, rasa yang membuncah justru pesimisme daripada optimisme. Pembiaran berlarut-larut terhadap tuntutan rekonstruksi tragedi 1965 dan proses rekonsiliasi yang mengikutinya sejak masa Reformasi adalah contoh kelalaian akut pemerintah, yang belakangan ini justru mengakibatkan publik yang mengawal isu tersebut seakan menjadi musuh negara, dicap komunis, anti-Pancasila, dan lain-lain.

Peninjauan ulang bukanlah tabu dalam ilmu sejarah. Dan tuntutan sejarawan, aktivis, serta pegiat hak asasi manusia terhadap peninjauan ulang tragedi 1965 seharusnya dijawab bukan dengan sikap permusuhan.

Karenanya, sepaham dengan sejarawan Inggris, Edward Hallett Carr, saya percaya bahwa sejarah masih sebuah dialog tanpa akhir antara masa lalu dan sekarang, dengan sejarawan sebagai aktor yang terus-menerus menggali fakta-fakta baru, sehingga suatu sejarah tetap terbuka untuk diinterpretasikan ulang. Inilah kemerdekaan sejarawan, dan pemerintah harus melindunginya.

Kembali soal sertifikasi. Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi menjadi masalah dalam wacana ini.

Pertama, kecemasan terhadap sertifikasi sebagai sarana untuk memenangkan narasi-narasi sejarah tertentu. Bayangkan akan seperti apa jadinya jika tim asesor diduduki oleh sejarawan-sejarawan yang condong memihak dan mengeliminasi narasi tertentu, seperti Nugroho Notosusanto, dedengkot sejarawan Orde Baru. Dapat dipastikan bahwa sejarawan-sejarawan yang lulus sertifikasi hanyalah mereka yang mau patuh terhadap hegemoni sejarah militer dan anti kiri.

Kedua, sejauhmana sertifikasi mempengaruhi ruang gerak sejarawan. Jika sertifikasi pada akhirnya meningkatkan daya saing dan kompetensi sejarawan yang memegangnya, hal itu perlu didukung. Namun jika sertifikasi justru membunuh kreativitas dan independensi, misalnya sejarawan bersertifikat dituntut untuk mendukung narasi dan proyek-proyek menulis pemerintah yang cenderung eksklusif dan tidak terakses publik, maka sia-sialah. Padahal, tuntutan para sejarawan di masa modern ini adalah menghadirkan sejarah ke tengah-tengah masyarakat, bukan menyimpannya demi kepentingan pihak-pihak tertentu saja.

Dan yang ketiga adalah bagaimana nasib sejarawan-sejarawan yang tidak atau menolak untuk mengambil sertifikasi. Apakah mereka tidak akan diakui? Dan perlu diketahui, rasanya kini definisi sejarawan mulai meluas. Sejarawan tidak lagi melulu orang yang berkecimpung dengan dokumen-dokumen tua dan buku-buku akademis.

Ada yang disebut dengan sejarawan ranah publik, yang belum tentu dapat menghasilkan karya akademik mumpuni namun pengaruh langsung profesinya bisa jadi lebih terasa di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, JJ Rizal dari penerbit Komunitas Bambu yang setia menerbitkan buku-buku sejarah dan humaniora.

Juga Bonnie Triyana yang memadukan sejarah dan jurnalisme melalui majalah Historia, atau bahkan Asep Kambali dengan Komunitas Historia Indonesia yang mengemas pembelajaran sejarah melalui tur dan kunjungan langsung ke museum dan situs bersejarah.

Gerald W. Schlabach mengatakan bahwa sejarawan lebih mirip detektif daripada ilmuwan dilihat dari cara kerja mereka dalam mencari kebenaran dengan cara mengusut, mempertanyakan, dan menggugat catatan-catatan dari masa lalu. Sejarah memang penuh prasangka dan rekayasa, bahkan terkadang karya sejarah terbaik pun hanyalah suatu penafsiran apik dari sudut pandang sang sejarawan itu sendiri.

Jika pemerintah memang ingin memberikan pengakuan lebih kepada profesi sejarawan, mereka juga harus mampu memberi kebebasan penuh kepada para sejarawan untuk memperjuangkan tafsir-tafsirnya dalam panggung diskusi yang damai dan tentram, tanpa ancaman ini-itu.

Beruntung, isu sertifikasi ini buru-buru dijernihkan langsung oleh Hilmar Farid, sejarawan yang memangku jabatan Direktur Jendral Kebudayaan. Menurut Hilman, sertifikasi sejarawan tidak akan diberikan untuk sesuatu yang abstrak. Setidaknya dari pernyataan ini saya melihat bahwa wacana sertifikasi tidak (atau belum?) akan menyentuh hal-hal prinsipil, melainkan lebih kepada menilai dan mengembangkan keahlian dasar si sejarawan, seperti mencari arsip, membaca bahasa sumber, dan lain-lain.

Namun sekali lagi, saya melihat wacana sertifikasi ini rawan disalahgunakan. Sertifikasi, tergantung situasi politik negara di masa depan, bisa saja menjadi lisensi satu-satunya yang diakui pemerintah bagi siapa saja yang ingin menulis sejarah. Ini berbahaya.

Sejarawan sebaiknya merdeka dan pemerintah harus memastikan bahwa profesi dan keahlian mereka, bersertifikat atau tidak, terlibat aktif dalam agenda merawat nalar publik. Bukan hanya untuk memuaskan birahi intelektual dan mempeti-eskan karya-karya mereka di menara gading semata.

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.