Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengusulkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengkriminalisasi pelaku seks di luar nikah. Ada beberapa revisi yang mereka usulkan. Pasal 284 untuk diperluas terkait perzinahan di luar pernikahan. Pasal 285 untuk memperluas definisi pemerkosaan terhadap sesama jenis, juga penghilangan batas umur pencabulan anak pada Pasal 292.
Yang menarik, sepanjang persidangan di Mahkamah Konstitusi, perwakilan AILA umumnya membahas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dengan begitu, ini memberi kesan kuat bahwa sasaran utama mereka memang kepada komunitas LGBT. Namun, jika pemberitaan dan usulan AILA diperhatikan dengan cermat, mereka yang heteroseksual atau straight jelas akan terkena dampaknya jika usulan ini disetujui.
Di sini sebenarnya ada perbedaan epistemologis antara penyusun KUHP di era kolonial dan AILA. Penyusun KUHP percaya hubungan seks adalah consensual atau tanggung jawab pribadi, sementara AILA percaya hubungan seks harus diatur sampai sedetail mungkin seperti yang dilakukan di Timur Tengah. Melihat perbedaan paradimatik itu, tentu semua harus dikembalikan kepada dasar konstitusional dan ideologis negara kita yang mengakomodasi keanekaragaman.
Di Barat, walaupun hubungan seks adalah consensual atau tanggung jawab pribadi, mereka juga memiliki persyaratan yang mengatur hal tersebut. Asumsi sebagian pihak bahwa mereka menerapkan “liberalisme dan feminisme”, yang berarti boleh berbuat semaunya, adalah keyakinan yang salah kaprah.
Di Amerika Serikat, ada batasan umur yang mengatur secara tegas usia minimal untuk berhubungan seks. Jika di bawah batasan tersebut, akan ada sanksi pidana seperti tuduhan pemerkosaan. Kemudian tidak semua negara Eropa menyetujui pernikahan sesama jenis. Di Jerman, misalnya, hubungan sesama jenis baru diakui dalam bentuk domestic partnership yang disahkan negara, di mana ikatan hukumnya belum sekuat pernikahan.
Di negara-negara Barat, pornografi anak akan dikriminalisasi dan diberi hukuman berat. Di Jerman, pelaku hubungan seks di fasilitas publik akan diamankan aparat karena mengganggu ketertiban umum. Red light district seperti yang ada di Hamburg diberikan tembok pembatas dengan area lain, dan diberikan peringatan keras bahwa usia 18 tahun ke bawah dilarang keras memasuki area tersebut. Beroperasi di luar red light district punya konsekuensi akan ditertibkan oleh aparat.
Bagi yang percaya bahwa liberalisme Barat adalah “bebas berbuat semaunya” mungkin ada baiknya untuk studi banding secara komprehensif ke negara-negara tersebut, baru kemudian menyimpulkan sesuatu. Yang disebut sebagai pengikut “liberalisme dan feminisme Barat” justru adalah aktivis HAM yang memperjuangkan hak-hak kaum muslimin untuk beribadah dan berpakaian sesuai keyakinannya.
Tanpa keberadaan mereka yang tergabung dalam kelompok kiri ini, kelompok fasis dan ultranasionalis Barat tentu tidak akan sungkan-sungkan meminggirkan kaum Muslim di Barat, seperti diusulkan Donald Trump, Marine Le Pen, dan Geert Wilders. Perlu dijelaskan bahwa sebenarnya antara kelompok kiri dan kaum muslimin di Barat punya musuh bersama, yaitu fasisme dan ultranasionalis itu sendiri. Melemahkan mereka sama saja melemahkan kaum muslimin di Barat dan memperkuat kelompok fasis anti-Islam.
Kriminalisasi pelaku seks di luar nikah dikhawatirkan akan melahirkan premanisme gaya baru dan pernikahan siri akan merebak. Premanisme gaya baru atau main hakim sendiri adalah penggrebekan yang dilakukan oleh aparat terhadap tempat kos dan hotel kelas “melati” yang dihuni oleh pasangan tidak menikah.
Sementara itu, kita tahu di real estate elite dan apartemen mewah umumnya di negeri ini, khususnya di kota-kota besar, aparat tidak akan pernah menggrebek mereka. Jadi, aksi penggrebekan ini jelas bernuansa “tajam ke bawah” dan “tumpul ke atas”. Tidak hanya aparat, massa dikhawatirkan juga akan terlibat penggrebekan itu. Maka, akan terjadi situasi vigilante atau pengadilan jalanan. Di sudut lain, aparat keamanan kita sudah direpotkan oleh kejahatan luar biasa seperti narkotika dan terorisme.
Kriminalisasi pelaku seks di luar nikah akan menambah beban kerja aparat dan merepotkan mereka dengan potensi pengadilan jalanan yang meningkat. Kemungkinan chaos terjadi di negara kita akan sangat tinggi jika vigilante tak dapat dikontrol.
Satu hal yang patut dicermati, AILA tidak memisahkan antara menikah secara resmi di kantor urusan agama (KUA) dan menikah siri. Hal ini membuat seluruh inisiatif mereka menjadi sangat rancu, karena di mata hukum negara kedua hal tersebut sangat berbeda. Negara hanya mengakui nikah di KUA, sementara nikah siri tidak demikian. Sementara itu, Dirjen Bimas Islam Machasin menyatakan, walau sah secara agama, nikah siri secara sosial jelas sangat bermasalah.
Machasin melanjutkan, jika tidak ada masalah, mengapa harus menikah sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan negara? Menurut Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kiai Haji Ma’ruf Amin, sudah sejak lama lembaganya mengimbau menikah di KUA saja, supaya ada kekuatan hukum yang melindungi istri dan anak. Jika memaksa semua orang harus ke KUA untuk menghindari hukuman negara, hal tersebut sangat tidak realistis.
Beban Kementrian Agama akan semakin bertambah, karena mempersiapkan KUA untuk hal tersebut tak bisa segera dilakukan. Kita harus menghargai inisiatif Kementrian Agama dalam mereformasi KUA, seperti mempermudah birokrasi dan penyediaan kursus pra-nikah. Kementerian Agama juga sudah all out untuk menyelenggarakan nikah massal. Namun, memaksa semua orang yang memenuhi syarat secara agama untuk segera menikah di KUA akan menyebabkan birokrasi mereka kewalahan.
Sementara itu, menganjurkan pernikahan siri sudah jelas akan menciptakan masalah sosial yang masif, karena status hukum istri dan anak tidak dilindungi oleh negara. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indah Parawansa, 43 persen dari 86 juta anak Indonesia belum mempunyai akte kelahiran karena pernikahan orangtuanya tidak dicatat di KUA. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa anak dari pernikahan siri akan kesulitan mengklaim hukum warisan kepada ayahnya.
Untuk mencegah masalah sosial lebih jauh, Menteri Khofifah justru pernah menyarankan supaya negara mengkriminalisasi pernikahan siri seperti yang dilakukan Mesir dan Maroko. Negara kita akan kewalahan jika jumlah nikah siri meningkat signifikan dan masalah sosial turunannya akan naik secara signifikan juga.
Jika dicermati lebih seksama, antara AILA dan Islam arus utama di tanah air memiliki perbedaan perspektif metode dakwah yang sangat mendasar. AILA percaya dengan institusionalisasi dakwah oleh negara atau tekstualis seperti yang jamak di Timur Tengah.
Sebenarnya, bangsa Indonesia tentu selalu lebih nyaman dengan pendekatan kultural untuk melakukan dakwah. Kisah klasik Sunan Kalijaga yang selalu menggunakan pakaian adat Jawa dan tidak segan-segan bergaul dengan kelompok marjinal untuk kepentingan dakwah, misalnya, adalah identitas kita yang berbasis kearifan lokal sembari merangkul keragaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua agama menolak hubungan seks di luar nikah. Hanya saja, pendekatan tekstualis memilih untuk menghukum pelaku dengan bantuan instrumen hukum negara, sementara pengikut Sunan Kalijaga lebih suka melakukan dakwah secara persuasif dan kontekstual untuk menghadapi dilema etika dan moral ini.
Terbukti dakwah kultural model Sunan Kalijaga jauh lebih berhasil. Salah satunya karena institusi pesantren yang dikembangkan pengikutnya jauh lebih mewarnai perjuangan dan dialektika kebijakan politik kita sejak jauh sebelum kemerdekaan sampai sekarang.
Bukti konkritnya, sepanjang sejarah, dari Pemilu 1955 sampai sekarang, partai berbasis agama tidak pernah memenangkan perhelatan akbar tingkat nasional. Paling jauh mereka menang di tingkat daerah, dengan memanfaatkan kelengahan simpatisan nasionalis yang memilih menjadi golongan putih. Maka, pihak AILA harus mempertimbangkan bahwa jika klausul revisi KUHP mereka disetujui, bola berada di tangan pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi UU KUHP tersebut.
Pemerintahan Jokowi dan DPR sudah sangat jelas dikuasai secara mayoritas mutlak oleh partai dan relawan nasionalis yang didukung oleh ormas Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah. Melihat skenario seperti ini, kemungkinan usulan AILA akan dimentahkan juga oleh mayoritas kekuatan politik yang ada. Bisa disimpulkan bawah inisiatif AILA akan menjadi disonansi yang bersifat temporer, selama kekuatan nasionalis di DPR dan pemerintahan tetap kompak.
Alasan AILA bahwa terjadi “degradasi moral” adalah berlebihan, karena pergeseran nilai moral kita tidak sejauh seperti yang terjadi di Barat. Sistem kontrol kita terhadap media, seperti yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), jauh lebih ketat daripada yang diterapkan di Barat. Tuduhan “degradasi moral” berarti menegasikan inisiatif habis-habisan Kementerian Komunikasi, KPI, dan LSF untuk mengawasi dan membina media, meski masih ada kekurangan di sana-sini.
Selain itu, selama lembaga-lembaga pesantren yang diwarisi oleh Walisongo masih berdiri dan tetap direformasi sesuai perkembangan zaman, ideologi dari Barat dan Timur Tengah yang masuk ke tanah air sudah otomatis akan disesuaikan dengan kearifan lokal kita. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang menolak vigilante, berdakwah secara kultural, dan selalu memberi nasihat untuk memperkuat kedudukan Kesultanan Demak.
Demikian juga seyogianya kita semua melakukan hal yang sama, yaitu menjaga dan merawat basis ideologis dan konstitusional negara ini.