Rabu, Oktober 9, 2024

Konflik Timur Tengah di Pusaran Pandemi Covid 19

Mulawarman Hannase
Mulawarman Hannase
Dosen Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Penyebaran Pandemi Covid 19 sudah menyapu bersih seluruh wilayah di dunia ini.

Negara-negara Asia, Eropa, Afrika dan Amerika semuanya berjibaku melawan wabah global ini. Tak terkecuali Timur Tengah yang merupakan kawasan negara-negara kaya minyak pun digempur ganasnya wabah Covid 19.

Menurut data dari website worldometers.info, semua negara yang ada di Timur Tengah sudah terjangkit dengan virus Covid 19. Mulai dari Arab Saudi sebagai negara Arab terbesar sampai Bahrain yang merupakan negara terkecil di kawasan, warganya sudah banyak yang terinveksi virus Covid 19.

Dari data itu juga didapatkan bahwa Iran merupakan negara di kawasan yang paling parah dan paling banyak penduduknya menjadi korban Pandemi Covid 19 dimana Jumlahnya sudah melampui 70.000 orang.

Kota-kota yang terdapat situs suci di kawasan tidak luput terdampak Pandemi mematikan ini. Kota suci Mekah dan Madinah (al-Haramain) dengan kebijakan Arab Saudi sudah mulai ditutup sejak akhir februari 2020. Kedua situs suci yang setiap hari dipadati oleh jutaan jamaah mendadak sepi dan menyisakan kesedihan bagi para jamaah yang sudah merencanakan ziarah ke Baitullah dan Maqam Nabi.

Begitu pula di Palestina dan Jerusalem. Beberapa situs suci yang terdapat di dalamya seperti Dome of Rock, Masjid Al-Aqsa, Museum Menara Daud serta Gereja Makam Suci, juga sudah ditutup oleh otoritas Israel sejak merebaknya Covid 19. Fakta ini menunjukkan betapa besar dampak Pandemi ini terhadap kondisi kehidupan di Timur Tengah saat ini. Lalu bagaimana pengaruh merebaknya Covid 19 terhadap berbagai konflik yang masih berkecamuk di Timur Tengah sampai hari ini?

Yaman-Libya semakin Runyam

Kita coba mulai dari konflik Yaman. Sebuah keputusan dikeluarkan oleh koalisi Arab Saudi yang menghentikan semua bentuk serangan dan kontak senjata di Yaman dengan alasan Negaranya ingin Fokus dalam menghadapi Pandemi Covid 19.

Dalam surat kabar online Al-Arabiyyah (9 April 2020)disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan, “Keputusan koalisi pendukung Pemerintahan Sah di Yaman untuk melakukan gencatan senjata total selama dua minggu diambil untuk mendukung upaya delegasi Sekjen PBB untuk mengakhiri konflik di Yaman dan sekaligus menghindari aktivitas militer dan memfokuskan segenap upaya untuk melawan Pandemi Covid 19”.

Dari perspektif ekonomi politik, tentunya tidak mudah bagi Arab Saudi dan koalisinya mengambil keputusan tersebut. Dalam melakukan intervensi militer di Yaman untuk memerangi kelompok Hauti, betapa besar dana yang dibutuhkan.

Dalam kondisi normal pun, Arab Saudi sebetulnya terseok-seok karena harus menggelontorkan anggaran besa dalam mendanai konflik Yaman. Hanya karena gengsi politik dan persaingan dominasi yang cukup sengit dengan Iran, mau-mau tidak mau jalan terjal ini harus tetap ditempuh.

Namun, dengan merebaknya Pandemi Covid 19 di kawasan Jazirah Arabiah, Arab Saudi harus mengucurkan anggaran penanggulangan bencana sebesar 25 juta Dolar Amerika Serikat. Ini tentunya merupakan jumlah yang cukup besar. Sehingga dalam kondisi seperti ini, Arab Saudi untuk sementara, mau tidak mau harus menghentikan interversi militer politiknya di Yaman.

Selain Yaman, konflik Libya termasuk yang paling buruk di wilayah Timur Tengah saat ini. Konflik internal yang terjadi sejak tahun 2011 (pasca tumbangnya Qaddafi) telah mengoyak-ngoyak hampir semua lini kehidupan di negara tersebut baik politik, militer dan sosial. Akibat konflik yang berkecamuk, Libya terpolarisasi ke dalam dua kubu pemerintahan.

Pertama, kubu pemerintahan yang berpusat di kota Tobruk di wilayah timur Libya dekat dengan perbatasan Mesir, dipimpin Khalifah Haftar dari barisan kelompok nasionalis yang sebagian tokoh-tokohnya beraliran liberal.  Kubu kedua adalah kelompok yang beroreintasi Islamis dan menguasai sebagian besar wilayah barat, termasuk ibukota Libya Tripoli.

Sebagai konsekuensi dari adanya dua kubu pemerintahan, dalam menghadapi krisis Pandemi, sudah bisa dipastikan tidak ada kekompakan.  Konflik Libya di tengah-tengah merebaknya virus Covid 19 masih terus berkecamuk. Belum ada kesepakatan ataupun upaya menahan diri meskipun negaranya dalam kondisi krisis Pandemi.

Menurut Edward B Joseph, seorang pengamat dari Universitas John Hopkins, terus berlanjutnya perang saudara di Libya meskipun dalam kondisi merebaknya Covid 19 disebabkan oleh keyakinan masing-masing kelompok bahwa dia sudah di ambang kemenangan. Oleh karena itu, ketika perang dihentikan, maka malah memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk membangun kekuatan baru baik konsolidasi milisi maupun pencarian amunisi baru.

Dalam konteks Pandemi Covid 19 yang menyebar di negara yang sedang berkonflik tersebut, kedua belah pihak mencoba meresponnya dengan mengambil kebijakan pembatasan mobilitas di wilayah-wilayah yang dikuasai kedua kubu.

Prosedur tersebut meliputi larangan keluar rumah, larangan perkumpulan orang, penutupan sekolah dan penutupan berbatasan baik darat, udara maupun mapun laut. Pada 18-21 Maret, kedua kubu telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama. Akibat provokasi kedua kubu, pertempuran kembali terjadi antara keduanya di wilayah Tripoli dan wilayah-wilayah lainnya.

Ancaman Resiko Ganda

Kenyataan yang terjadi di negara-negara konflik yang semakin runyam merupakan pertaruhan kewarasan bagi aktor-aktor yang berkepentingan dalam konflik tersebut. Konflik pastinya akan mengakibatkan kerugian besar terutama kerugian nyawa manusia.

Tidakkah aktor-aktor itu membuka mata-matanya lebar-lebar untuk melihat semua negara saat ini sedang berjibaku menghadapi krisis Pandemi yang semakin akut dari hari ke hari. Ekonomi, politik, pendidikan ataupun budaya bukanlah menjadi kerisauan utama dalam menghadapi krisis itu.

Namun, yang paling meresahkan adalah terus bertambahnya korban jiwa yang tidak memandang status sosial masyarakat. Dengan demikian, kalau konflik terus dilanggengkan di tengah krisis covid 19, maka aktor-aktor tersebut dipastikan sudah hilang rasa kewarasannya. Masyarakat di negara konflik dipaksa harus menghadapi resiko kematian ganda. Pertama, nyawa mereka terancam oleh serangan bom, martir, peluru dan kelaparan. Kedua, jiwa mereka pun terancam oleh ganasnya virus Covid yang tidak mengenal usia.

Di saat seluruh penduduk bumi terketuk rasa kemanusiaannya karena banyaknya korban yang terus berjatuhan oleh serangan virus, bisa dipastikan kelompok-kelompok yang terus berkonflik di tengah wabah telah hilang rasa kemanusiaannya. Di saat para pemuka agama menyerukan untuk mengosongkan semua tempat Ibadah, sambutan itu pun disambut baik oleh para penganut agama. Kita lihat saat ini, Mesjid, Gereja, Wihara dan Pura hanya diisi oleh penjaga yang hanya segelintir.

Di Indonesia misalnya, sudah diumukan oleh kementerian agama bahwa setidaknya dalam dua bulan ke depan, ritual agama seperti buka puasa, taraweh dan idul fitri dilakukan secara mandiri. Lalu kenapa sekutu Arab Saudi hanya mengumunkan gencatan sencata hanya dua minggu, atau Libya yang tidak ada sama sekali melakukan gencatan senjata. Dimana rasa kemanusiaan itu.

Mulawarman Hannase
Mulawarman Hannase
Dosen Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.