Sabtu, Oktober 12, 2024

Komentar Bebal Denny Siregar Soal Papua

Muhamad Heychael
Muhamad Heychael
Dosen Kajian Media Universitas Multimedia Nusantara

Saya termasuk orang yang menyesalkan keputusan pemerintah mematikan akses internet di Papua.  Saya tidak sendiri, ribuan orang ingin internet dinyalakan lagi di Papua. Meski begitu, selain didasari oleh alasan yang sama dengan kebanyakan orang, hak warga atas informasi, saya punya alasan lain yang agak khusus.

Kala situasi konflik semacam ini, saya ingin mendengar perspektif Orang Asli Papua (OAP) mengenai apa yang terjadi di sana. Sialnya, ini sulit dilakukan ketika internet dibredel. Sebaliknya, di saat bersamaan kita kesulitan mendapatkan informasi mengenai Papua dari orang yang berada di sana, kita disuguhi bualan orang-orang seperti Denny Siregar lewat artikelnya di Geotimes ini (Kalau boleh usul, jangan dibuka, nanti Geotimes kesenangan menuai klik dari artikel “aduhai”).

Di sana ia mengingau soal operasi intelejen asing di Papua. Informasi langsung dari mereka yang mengalami konflik absen, sementara ruang publik malah dibuat keruh oleh disinformasi macam yang ditulis Denny. Sudah jatuh tertimpa tangga, bagaimana tidak tambah sebal sama Kominfo? Untung Pak Rudi sudah memulihkan internet di sana.

Di antara banyak bualannya soal Papua, dalam tulisan tersebut, Denny menyuguhkan kita lagu lama aransemen baru. Ia menyoroti “kadal gurun” yang dinilainya tengah memanfaatkan konflik di Papua sebagai alat menyerang Jokowi. Bicara provokator di tiap konflik atau demonstrasi bukan hal baru, tindakan semacam ini adalah respons pertama pada setiap demonstrasi atau konflik, yang baru dari Denny hanya subjeknya: Papua. Basi memang, tapi siapa bilang barang basi tidak laku? Tanya penjual yoghurt kalau tidak percaya.

Jujur saja, saya bosan mendengar bualan Deny Siregar soal peristiwa politik di negeri ini yang ujung-ujungnya dikaitkan dengan pilpres. Layaknya kaset kusut, pesannya selalu sama, setiap kekacauan, konflik, pertikaian poltik, dibuat atau dimanfaatkan oleh musuh politik Jokowi guna menjatuhkan “rezim yang sangat baik ini”.

Jikalah pemerintah adalah penyanyi, maka Denny adalah pengeras suaranya. Artikelnya mengenai Papua adalah satu saja contohnya. Silakan googling atau, kalau Anda kurang kerjaan, lakukan analisis isi atas apa-apa yang disampaikan Denny dan bandingkan dengan apa yang disampaikan oleh juru bicara pemerintah.

Saya yakin, jika Denny main tinder dan ketemu dengan Wiranto dijamin match. Bedanya, mereka yang ada dalam struktur pemerintahan akan berhati-hati dalam bicara, ciri pesannya normatif, sementara orang seperti Denny bisa berbual seenak perut. Namun bila Anda perhatikan dengan seksama, poin-poin yang disampaikan sama, nyaris tak ada isi.

Terkait operasi intelejen asing di Papua, lihat apa yang dikatakan oleh Wiranto atau Tito Karnavian. Sama, bukan? Narasi utamanya adalah ada “pihak” yang merancang konflik di Papua. Saya tidak tahu apa yang ada dalam kepala Denny, apakah ia berpikir bahwa konflik itu bekerja seperti rubik yang bisa disusun seenaknya selama kita ahli. 

Jika demikian adanya, saya putus asa. Sepertinya tak ada cara lain, kecuali Denny berhenti sejenak menulis dan mulai membaca. Bahkan saya punya usul bacaan yang mungkin bisa membantunya. Mas Denny coba deh baca soal social conflict theory, itu pun kalau dia bisa membaca dengan benar.

Dalam setiap konflik memang selalu ada aktor. Sangat mungkin konflik dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Namun, konflik tidak bisa terjadi tanpa sebab yang sedikit banyak struktural. Misalnya ketimpang ekonomi, diskriminasi, kolonialisme, dan lainnya. Hanya kaum bumi datar dan orang-orang seperti Denny Siregar yang percaya bahwa konflik bisa dibuat dari kondisi nol. Lepas apakah ada pihak-pihak yang memanfaatkan konflik Papua, konfliknya sendiri nyata.

Ada rumah dibakar dan juga ada warga yang meninggal. Orang tidak turun ke jalan dengan risiko terbunuh hanya demi nasi bungkus.

Apa yang paling saya sesalkan dari artikel Denny bukan soal ketidakmampuannya mengurai atau menjelaskan konflik. Setidaknya, ketidakmampuan semacam itu tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah paradigma yang melatarbelakangi artikelnya. Dengan mengatakan bahwa konflik Papua adalah skenario asing atau siapa pun itu, diam-diam ia tengah mengatakan bahwa OAP tidak berdaya mewakili dirinya sendiri.

Seolah OAP terlalu bodoh untuk memahami apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga ungkapan protes atas ketidakadilan yang dirasakan oleh mereka mestilah hasil bisikan orang-orang yang tidak senang pada Jokowi atau oleh alien (asing). Di mata Denny, bangsa Papua hanyalah alat.   

Pandangan semacam ini berbahaya karena dapat melegitimasi kekerasan terhadap warga atas nama “makar”. Kita sudah melihat gejala ini kala 8 orang aktivis yang menyuarakan keadilan bagi bangsa Papua dikriminalisasi oleh polisi. Tinggal tunggu waktu kita mengatakan bahwa cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat keamanan menangani demonstrasi di sana sebagai tindakan yang wajar dilakukan guna menghalau intelijen asing. Bukankah ini berarti kita tengah melepaskan aparat dari tanggung jawabnya untuk melindungi hak azasi warga?

Dengan mengaburkan realitas yang terjadi di Papua, Denny berpotensi menghilangkan kemampuan kita mencari solusi untuk menyelesaikan konflik. Jika masalahnya adalah intelijen asing, solusinya adalah menangkap atau menghalau operasi intelijen. Jika masalahnya ketidakadilan, solusinya adalah memikirkan cara untuk menghadirkan keadilan di Papua. Mana dari dua pilihan ini yang jadi akar masalah?

Dalam hal ini jelas saya lebih percaya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ketimbang kumur-kumur Deny Siregar. Riset LIPI menunjukkan akar masalahnya adalah proses integrasi yang manipulatif, marjinalisasi, dan kegagalan pembangunan.

Jadi, jelas bukan, ke mana artikel Denny membawa percakapan tentang Papua? Yang pasti bukan ke isu-isu penting yang didedahkan LIPI. Di dalam artikelnya, Denny mengatakan banyak hal, mulai dari operasi intelijen asing sampai  membingkai konflik di Papua sebagai kelanjutan pertarungan elite Jakarta pasca pilpres. Uniknya, dalam artikelnya yang ia beri judul Kenapa Kadal Gurun Senang Papua Rusuh?,  satu-satunya yang tidak ia bicarakan adalah Papua itu sendiri.

Baca juga

Tentang Papua, 02, dan Anti Asing

Apa Yang Terjadi Selama 7 Hari Internet Papua Digelapkan?

Andaikan Saya Orang Papua

Tentang Papua Jokowi Harus Belajar Pada Gus Dur

Selamat Hari Ibu, Mama-Mama Papua

Muhamad Heychael
Muhamad Heychael
Dosen Kajian Media Universitas Multimedia Nusantara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.