7 September 2004 – 7 September 2015
IA dibunuh dengan cara seperti yang kemudian diberitakan media: diracun.
Lima bulan sebelum ia dibunuh, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum legislatif dan Partai Golkar, salah satu penopang utama pemerintahan Orde Baru, meraih jumlah kursi terbanyak. Tigabelas hari setelah ia dibunuh, sekitar 69,3 juta suara memilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden—pemilihan presiden secara langsung pertama di Indonesia.
Yudhoyono berjanji bahwa mengusut kematiannya sebagai “ujian bagi sejarah kita”, dan mengeluarkan keputusan untuk membentuk sebuah Tim Pencari Fakta, terdiri atas sejumlah individu dengan jejak mengesankan, untuk “secara aktif membantu penyidik kepolisian Indonesia melaksanakan proses penyidikan dan penyelidikan pengungkapan kasus meninggalnya Munir”.
Bukti-bukti dikumpulkan dan temuan-temuan dikembangkan oleh tim. Ia mengarah pada proses pengadilan yang hasilnya kemudian mengecewakan.
Proses keadilan dan persidangan untuk mengungkap “permufakatan jahat melakukan pembunuhan berencana” terhadap Munir itu hanya sampai pada tingkat “aktor lapangan” dan “aktor yang mempermudah atau turut serta” dalam kejahatan itu. Tetapi aktor di level tertinggi—sebagai perencana dan inisiator—gagal dijatuhi hukuman dan diselidiki lebih mendalam.
Sebagaimana rumusan akhir tim pencari fakta, ada “kemungkinan penyalahgunaan akses, jaringan, dan kekuasaan” dari Badan Intelijen Negara (BIN) oleh para pejabatnya. Sementara kepolisian, yang berwenang melakukan penyidikan, tidak bekerja “sungguh-sungguh dan efektif” serta “mengabaikan beberapa petunjuk kuat yang dapat mengungkap” kasus kematian Munir; selain BIN, sebagai lembaga negara, gagal memberikan dukungan pengungkapan kasus ini.
Dua pegawai Garuda, pesawat yang ditumpangi Munir dari Jakarta menuju Amsterdam, divonis setahun penjara karena memalsukan dokumen yang memastikan Pollycarpus Budihari Priyanto berada satu pesawat dengan Munir (GA 974). Dengan mengantungi penugasan “keamanan penerbangan”, yang ia lakukan dari Jakarta menunju Singapura, Pollycarpus diduga kuat menawarkan Munir pindah kursi ke kelas bisnis dan membubuhkan arsenik dalam dosis mematikan ke makanan Munir.
Pada Desember 2005, Pollycarpus dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena keterlibatan terencana itu. Tetapi, pada akhir November 2014, permohonan bebas bersyaratnya dikabulkan oleh Menteri Hukum dan HAM di bawah pemerintahan baru Joko Widodo. Upaya mengoreksi keputusan itu, yang diajukan oleh Imparsial, lembaga advokasi HAM yang turut didirikan Munir, ditolak oleh pengadilan pada akhir Juli 2015.
Pollycarpus adalah pilot Garuda dan agen intelijen, sebagaimana terekam dalam rangkuman kasus Munir serta dari temuan-temuan pencari fakta yang dikembangkan lewat pemberitaan media. Ia terlibat pembicaraan lewat telepon dengan wakil direktur BIN, Mayor Jenderal Muchdi Purwoprandjono, sebelum dan setelah kematian Munir. Pollycarpus juga mengontak istri Munir, Suciwati, untuk menanyakan tanggal keberangkatan Munir.
Muchdi diusut pengadilan pada Agustus 2008. Selama persidangan, para pendukung Muchdi selalu bikin keributan, memberi tekanan psikologis kepada para hakim. Para saksi mencabut tuduhan keterlibatan Muchdi dalam pembunuhan Munir. Mereka, kebanyakan mantan dan pejabat intelijen serta purnawirawan militer, mengklaim lupa atas bukti-bukti dasar yang sudah diberikan dalam keterangan kepada polisi, bersikap diam saat ditanya di persidangan, selain hakim juga gagal menghadirkan saksi-saksi kunci.
Pada 31 Desember 2008 Muchdi menerima vonis bebas dan upaya banding oleh jaksa ditolak oleh Mahkamah Agung pada Juni 2009. Sehari setelah vonis bebas itu, Suciwati dan para pegiat kemanusiaan yang terus mendorong kasus itu terungkap menggelar jumpa pers di Kontras, organisasi yang didirikan Munir, dan mereka mengecam sekaligus kecewa atas putusan pengadilan.
Sampai kini, pengadilan terhadap kasus pembunuhan Munir, pembela hak asasi manusia terkemuka sejak akhir 1980-an, terhenti pada tahun 2008 itu, dan kepolisian Indonesia belum lagi membuka penyelidikan baru untuk mengejar mereka yang bertanggungjawab atas kematiannya.
Ironisnya, kegigihan Munir dalam membela hak-hak korban dari kejahatan kemanusiaan di Indonesia, telah mendapatkan pengakuan dari negeri Belanda, dengan pemberikan sebuah jalan bernama “Munirpad” pada 14 April 2015 dari walikota Den Haag.
Suciwati sebelum meninggalkan Jakarta untuk menghadiri peresmian itu berkata, “Sangat ironis, ketika pemerintah Belanda mengakui kegigihannya, Indonesia, negara kita, terus memberi kekebalan hukum bagi para pelaku pembunuhan suami saya.”
Tidak-tuntasnya pengusutan dan pengadilan terhadap segala aktor yang terlibat pembunuhan terencana ini menjelaskan kegagalan dari “ujian sejarah” bagi pemerintahan Yudhoyono. Ia sekaligus pula menjelaskan politik hukum di bawah mantan presiden yang menjabat dua periode itu.
Kasus-kasus lain, seperti kekerasan mematikan terhadap para penganut minoritas agama yang meningkat di masanya—memang benar telah dibawa ke meja hijau dan sejumlah pelaku kekerasan ini dihukum. Tetapi vonis itu sangat ringan, sebagaimana dicontohkan dalam kasus serangan pembunuhan terhadap penganut muslim Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Nyawa manusia, seperti ungkapan Munir semasa ia hidup, gagal diindahkan dan negara luput dari kewajiban “melindungi semaksimal mungkin” hak yang melekat pada diri manusia.
Pekerjaan Munir sebagai pembela kemanusian mencakup segudang perkara hak asasi, dari pelanggaran militer dan polisi Indonesia terhadap para aktivis buruh, dari impunitas kejahatan HAM di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga kasus penculikan paksa terhadap aktivis dan mahasiswa menjelang Soeharto turun dan diskriminasi terhadap minoritas etnis Tionghoa, maupun penuntasan pembunuhan dan koersi terhadap ratusan ribu orang yang dituduh “komunis”.
Pembunuhan terhadap Munir akan terus diingat sebagai kegagalan serangkaian pemerintahan yang terus mengekalkan praktik teror dan kekerasan. Munir telah tumbuh sebagai kekuatan, di kantung-kantung perlawanan, yang menolak penindasan dan upaya-upaya infrastuktur negara melecehkan martabat manusia.
Pada 2007, sebuah band dari Jakarta membuat sebuah lagu untuk menyebarkan upaya “melawan lupa”, dan lagu itu, dengan caranya, telah mengenalkan seseorang bernama Munir ke telinga anak muda, yang mayoritas tuna sejarah bukan karena kesalahannya, tetapi sistem “pendidikan nasional” memang telah membuat gagap orang Indonesia menjelaskan dirinya sendiri kepada dunia luar.
Itu diikuti generasi muda yang lain; mereka yang bergerak searah dalam perjuangan almarhum Munir. Poster Munir juga menyebar sebesar orang yang tak ragu akan integritasnya; bermula di tembok-tembok di jalan Yogyakarta, lantas menderas di Jakarta dan di kota-kota lain, melintasi ruang maya, di dinding media sosial.
Simbolisme itu terus mengingatkan utang ujian sejarah bagi pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus kematiannya, setiap 7 September. Sebuah museum dibangun di tempat kelahirannya di Batu, Malang, untuk menjelaskan perjuangan Munir membela orang lemah, mayoritas masyarakat Indonesia yang tertindas secara struktural, dan meninggikan derajat kemanusiaan.
Tuntutan atas kematian Munir dan pelanggaran kemanusiaan, sebelum dan sesudah kematiannya, akan terus didegungkan, dan menjadi apa yang disebut sebagia Impian dan Cita-cita Munir.
Kami tidak lupa, Cak!