Sejak tahun 1999, koleksi museum ini adalah koleksi pribadi yang saya kumpulkan. Latar belakang mengapa mengoleksi buku-buku tentang Etnis Peranakan Tionghoa ini karena terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kala itu, saudara kita dari etnis Tionghoa mengalami tindakan yang diluar prikemanusiaan, juga berbagai tindakan yang tak akan dapat kita tolerir dengan dalih apapun.
Satu identifikasi saya, untuk menjawab mengapa peristiwa itu terjadi, adalah akibat dari minimnya informasi perihal peran dan jasa etnis Tionghoa di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Minimnya informasi, ditambah lagi fitnah kejam terhadap etnis Tionghoa, bahwa mereka adalah kaum yang bersama Belanda ikut menikmati era penjajahan, sangat menggiring opini masyarakat luas bahwa orang-orang Tionghoa bukanlah bagian dari bangsa Indonesia.
Begitu pula setelah kemerdekaan. Dengan data-data statistik yang menyesatkan mengatakan mereka sebagai penguasa ekonomi Indonesia adalah upaya pecah belah yang memang disengaja, bahkan terstruktur dan masif.
Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, selama 32 tahun, berhasil meluluh lantakkan peran dan jasa etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa di era orde baru, menjadi terasing dan diasingkan dari saudara kandungnya, sesama bangsa Indonesia. Segala hal dilarang dan dibatasi, mulai aktifitas keagamaan sampai budaya. Orang Tionghoa harus tiarap merapat ketanah serendah-rendahnya.
Jika ingin menjadi Indonesia, mereka harus melepaskan identitas ketionghoaannya, mereka di antaranya harus merubah nama, bahkan agama. Dengan terlepasnya segala atribut ketionghoaannya, barulah mereka dianggap Indonesia, itupun dengan catatan, tetap mendapatkan diskriminasi disegala hal.
Soeharto dengan Orde Barunya, di ujung kekuasaannya, berupaya mempertahankan diri dengan mencoba menuai hasil kerja selama 32 tahun mendiskriminasikan orang Tionghoa.
Tragedi 13 dan 14 Mei 1998 adalah hasil kerja orde baru, mereka menuai, merayakan kekejaman dengan memprovokasi rakyat untuk menghabisi saudara kandungya sendiri, etnis Tionghoa.
Tetapi itu adalah kekejaman yang justru membuka gerbang kepada hancurnya kekuasaan Soeharto, dia harus tumbang dengan disertai darah dan jerit tangis bangsanya sendiri.
32 tahun, adalah masa yang cukup lama untuk menanamkan segala bentuk kebencian bagi etnis Tionghoa, segala informasi peran dan jasa orang Tionghoa menguap dari ingatan kolektif bangsa Indonesia.
Kisah-kisah kepahlawanan dan heroik dari orang-orang Tionghoa nyaris lenyap dari ingatan. Bahkan generasi muda Tionghoa pun tak menyadari lagi bahwa leluhur mereka adalah para pejuang tangguh dalam merebut dan mengisi kemerdekaan RI bersama-sama dengan etnis lainnya di Indonesia. Kenapa ini terjadi?
Ya, penyebabnya adalah informasi yang disumbat, dibatasi bahkan dipelintir!
Berangkat dari kegelisahan tersebut, saya memaksa diri utk membaca segala hal, dengan segala keterbatasan diri, tentang sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia.
Ketika membaca, ada kekaguman yang luar biasa dari dalam diri saya, saya tergetar dengan begitu melimpahnya kisah-kisah hebat orang Tionghoa di segala aspek kehidupan berbangsa.
Sebagai orang Aceh, selama ini saya akrab dengan nama-nama Cut Nyak Dien, Datu Beru, dan Laksamana Keumalahayati dll, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya cukup dengan baik mengenal Dewi Sartika, Rasuna Said, Kartini dll.
Tapi, saya terkejut dengan nama-nama yang nyaris tak pernah melintas dan terdengar, seperti Kapiten Sepanjang, Tjou Bou San, John Lie, Kwee Kek Beng, Yap Tjwan Bing, Lim Koen Hian, Phoa Keng Hek dll.
Kenapa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, nama-nama itu tak pernah tersebutkan?
Kenapa guru-guru sejarah, sejak SD sampai SMA, tak pernah menyinggung nama-nama besar tersebut?
Berangkat dari cerita di atas, tahun 2011 saya mulai membuka akses informasi kepada masyarakat luas, tentang peran dan jasa etnis Tionghoa di Indonesia.
Sebetulnya, saya menargetkan saudara-saudara sebangsa dari bukan etnis Tionghoa sebagai pengunjung museum. Namun dalam perjalanannya, justru kalangan Tionghoa pun banyak berdatangan. Semua anak bangsa ini, ternyata sama-sama minim informasi tentang peran dan jasa etnis Tionghoa.
Pertamakali didirikan, saya berusaha menjemput pengunjung, dengan menyewa tempat disamping sebuah lembaga kursus ternama di Indonesia. Sembari menunggu waktu kursus, anak maupun orang tuanya, masuk kedalam museum, yang saya tulis “masuk gratis”
Langkah penting di masa awal dibukanya museum adalah kami memboyong beberapa koleksi untuk ikut serta ke Kuala Lumpur International Book Fair, 2012 di Malaysia.
Kami sekeluarga menunggui stan yang disewa, kami memamerkan (tidak untuk dijual) koleksi, di antara para peserta pameran dari bermacam negara lain yang fokus berdagang.
Apa yang kami pamerkan, ramai mendapat apresiasi dari pengunjung pameran berskala besar di Asia ini, banyak pengunjung yang terkagum-kagum, mereka baru mengetahui jika ternyata Indonesia, menjadi tempat bagi lahirnya karya-karya tersebut.
Pulang ke tanah air, kami menyimpulkan bahwa apa yang coba kami kumpulkan karena kami anggap penting selama ini, ternyata adalah harta karun bangsa Indonesia. Dan ini semakin memantapkan langkah.
Setahun di tempat semula, karena melihat antusias pengunjung, saya dan istri memberanikan diri untuk membeli sebuah tempat tak jauh dari lokasi semula, hanya sekitar 200 meteran.
Kenapa saya mengatakan memberanikan diri? Karena terus terang, kami memiliki keterbatasan dalam menyiapkan tagihan kredit setiap bulannya, banyak keperluan lain yang masih terasa berat bagi kami.
Sejak didirikan 2011 sampai saat ini, saya sengaja menolak segala bantuan keuangan dari siapapun dengan dalih apapun. Saya dan istri bersepakat ingin memberi bukan malah diberi, ini filosofi yang masih coba kami pertahankan.
Kini museum telah dikunjungi oleh beragam latar belakang, baik dalam maupun luar negeri. Oh iya saya hampir lupa, kami juga dengan komunitas museum pustaka peranakan Tionghoa mengadakan kunjungan-kunjungan ke tempat dan lokasi bersejarah yang berkaitan dengan jejak-jejak orang Tionghoa di Indonesia. Barangkali anda berminat gabung?
Mari bersama, mengabarkan peran dan jasa etnis Tionghoa di bumi pertiwi. Kita Sebangsa, Setanah Air dan Setara. Merdeka!